Chereads / BUANA BINAR / Chapter 3 - Buana Si Pelawak

Chapter 3 - Buana Si Pelawak

Humor ialah hal tunggal di muka bumi ini yang tulus mencintainya. Ia dipinang humor dan dijadikan kekasih sejati. Sekali-kali, kerongkongan Buana pegal dan perih, terlalu lelah tertawa. Buana ingin membisu sejenak, meneguk segelas air hangat yang membilas dahak. Namun, humornya terlampau merindui dirinya. Enggan melepas, bergegas merimba sukma Buana kembali dalam gelak tawa, sekalipun hati kecilnya sedang bermuram durja. Tangis pilu dari arwah kesedihan yang menghantui relung hati terdalamnya diredam getaran tawa yang membahana dari mulut dan gigi putih Buana.

Buana tak kuasa mengunci mulutnya dan memberhentikan tawa. Perutnya terpilin bagai dililit ular boa, tetapi dia masih terbahak-bahak.

"HAHAHA!"

Wajahnya ditonjok. Tulang hidungnya berkertak mengerikan.

"HAHAHA!"

Demi tuhan maupun dewa-dewi dari agama manapun, Buana ingin berhenti tertawa sebentar saja. Ia ingin meringis sakit.

"Bocah tai! Dari tadi nggak bisa jawab, malah ketawa-ketawa! Sinting!"

"Gila, kayak ibunya!"

Dua preman berjaket kulit yang beberapa menit lalu menerobos pintu kafe kehabisan sabar yang sejatinya tidak seberapa. Tawa Buana yang menjadi jawaban ambigu dari setiap pertanyaan yang dilontarkan telah menyulut sumbu meriam. Genangan air mata membirai pandangannya. Pengelihatannya kabur, tetapi hidung besar si preman dan kepala plontos nan licin temannya tampak begitu jelas. "Squidward dan Bah Gundul, apa kabar?" ucap Buana, menyapa asal-asalan, lalu melolongkan sejenis tawa yang tinggi, panjang, dan kebinatangan, seperti nyanyian malam serigala hutan.

Preman yang berhidung besar menekan punggung Buana ke meja. Ia membelakanginya dalam posisi mirip anjing yang hendak kawin. "Kamu tau ndak, utang bapakmu itu berapa?!" gertaknya.

Susah payah, di bawah tekanan tangan kekar si preman, Buana menggeleng. "Nggak pernah dengar, Mas Suffi. Lihat wujud uangnya saja belum pernah. Pasti Bapak bawa uangnya waktu kabur sama Marina, buat bayar hotel malam pertama." Lelucon aneh itu melecut keluar begitu saja melewati sela-sela giginya. Lagi, ia tertawa.

Rekan Suffi, si preman berkepala plontos dengan kumis hitam yang menggumpal bagai buntut sapi di bawah hidung bundarnya, menempeleng sisi kiri muka Buana. Kepala pemuda itu sampai menoleh ke samping terhempas tamparan. "Mau bapakmu kabur sama Maria Ozawa pun, saya nggak peduli! Pokoknya kamu harus lunasin utangnya ke kami!"

"Empat puluh lima juta!" tandas Suffi yang sedang menelikung kedua pergelangan tangan Buana di belakang punggung. "Paham kamu?!"

Mereka berpuas-puas menghajar Buana terlebih dahulu. Tubuh Buana diayun-ayunkan layaknya bayi mainan yang ditekan tombol tertawanya. Untuk mengakhiri pertunjukkan boneka panggung yang berdarah ini, Suffi menghantamkan kepala Buana ke konter kafe yang terbuat dari keramik keras. Gagang kacamata Buana patah dibuatnya. Sekali lagi, ia menegaskan. "Seminggu lagi, kamu harus siapkan uang itu. Kalau nggak, kamu akan menerima yang lebih parah dari ini." Telunjuk berototnya menekan pelipis Buana. Mereka beranjak pergi meninggalkan Buana yang terkulai seperti setumpuk pakaian kumal di kaki meja kafe.

Nafas Buana terengah-engah. Tawanya hilang, digantikan rintihan serak yang menyayat hati. Mata Buana kosong, menonton noktah-noktah hitam yang bertimbulan di sekeliling lampu kuning remang-remang di inti langit ruangan. Kepala Buana menggantung lemah. Hidup berjalan sebegini menggelikan semenjak kepergian Bapak. Preman-preman yang datang entah dari mana itu gemar mengejar Buana sampai ke mana saja: ujung lorong-lorong sempit terpencil di keliman Yogyakarta, toilet di sebuah gedung pabrik Madukismo yang hampir seanad diterlantarkan, kafe tempatnya bekerja. Buana menganggap dirinya adalah pilot Polycarpus yang dikuntit hukum karena pembunuhan aktivis HAM, Munir, bahkan wajahnya sekali saja tak pernah ia lihat. Buana diburu untuk segepok uang yang belum pernah ia belanjakan.

"Bun, kamu haik-baik saja?" Seseorang--Luna--yang keluar dari persembunyiannya di toilet, berlutut di kaki meja, menyejajarkan diri dengan Buana.

Punggung tangan Buana mengusap matanya sendiri demi mempertajam pengelihatan. Raut wajah khawatir Luna melayang. Ah, paras Luna memang selalu sedap dipandang. Semu-semu lembayung lensa kacamatanya, mata besar berujung runcing, dan hidung ramping.

"Menurutmu, Lun? Aku habis dihajar dua preman King Kong. Kepalaku dijedukin ke meja. Masih bisa tanya kamu, apakah aku baik-baik saja." Buana terkekeh serak. "Kamu lucu banget. Hehehe..."

Luna berdecak. Bisa-bisanya bujang gila ini mencandai dirinya yang tengah dilanda kekhawatiran! Kesintingan humor Buana memang sudah melegenda. Hampir sepanjang hari, Luna dan orang-orang yang mengunjungi kafe mereka disuguhi lelucon janggal Buana. Lidah lancang Buana gemar menjadikan kekurangan siapapun sebagai bahan banyolannya yang hanya ditertawai dirinya sendiri. Candaan kasar semacam 'Lun, kamu lihat mbak-mbak di meja lima? Gendut banget! Kayak bola basket!' atau 'Teman-teman, sudah pernah dengar ini? Kalian sadar nggak, kalau kalian demo, turun ke jalan demi bela buruh, berarti kalian itu ngikutin gayanya Vladimir Lenin!' adalah gaya obrolan Buana sehari-hari. Keganjilan humornya dipertegas dengan seringai kaku yang seakan-akan dicetak di wajahnya. Dia selalu terlihat menertawakan lawan bicaranya. Sejatinya, Buana adalah pemuda cakap yang memiliki fitur-fitur ketampanan unik, suatu keelokan eksotis namun juga agung dan kuno. Kulit sawo matang berkilau yang ia warisi dari bapaknya bersanding kontras dengan mata cokelat cerah, garis hidung tegas dengan lekukan yang pantas, dan bibir klasik yang diberikan dari darah Belanda ibunya. Namun, segala keindahan fisik itu dipecahkan oleh gema tawa lantangnya yang berdentam-dentam.

Tidak sabar, Luna mendesak. "Ada yang bisa aku bantu?"

"Beri aku empat puluh lima juta buat nutup mulut preman-preman itu." Bibir bengkaknya merekah. Terbitlah seringai memuakkan yang legendaris itu. "Aku tahu, Lun. Kamu nggak ada uang segitu. Kamu harus jual diri ke om dirut tambang dulu."

Muak. Luna tidak tahan lagi menghadapi Buana si pelawak. Ia bangkit berdiri, melenggang pergi meninggalkan Buana yang diguncang tawa hebat. Pada akhirnya, satu-satunya entitas yang menemani Buana hanyalah humornya yang memeluk erat dirinya, menghangatkan jantungnya, dan mengingatkannya bahwa tubuhnya masih bekerja, belum sepenuhnya konslet.

Di lantai kafe, berkubang dalam genangan keringat dan darahnya sendiri, Buana berbaring telentang. Ia masih terkekeh-kekeh menertawai kehidupannya. Sungguh menggelikan, dia diburu karena hal abstrak, uang khayalan yang entah sungguh dipinjam Bapak atau hanya dijadikan alasan untuk membalaskan dendam kepada Bapak dengan menindas putranya yang dia tinggalkan bertahun-tahun lalu. Orang-orang menganggap hidupnya semiris tragedi pilu, tetapi bagi Buana, lika-liku hidupnya ialah bukti dari kesewenang-wenangan Tuhan pada kisah seseorang. Tuhan yang mahakasih, Tuhan yang mahapengampun, dan Tuhan maharahim yang diceritakan orang-orang ternyata hanyalah penulis drama picisan. Buana menertawakan kebodohan kaum beriman. Silakan berdoa berjam-jam dengan lutut terlipat di altar-Nya! Dia punya milyardan tokoh yang sudah ia ciptakan, tersebar di penjuru dunia! Dia terlalu sibuk untuk sekedar memulangkan ayahmu atau membangkitkan pacarmu!

Selama berjam-jam, Buana tertawa sampai tubuhnya menggelinjang. Begitu tawanya reda, ia memasukkan jari ke sudut mukutnya, kemudian menariknya ke atas, membentuk senyum paksa. Dia tertawa kembali.

Lampu kafe dimatikan, Luna benar-benar pulang dan meninggalkannya sendiri. Kegelapan hampa di dalam kafe menyelubungi Buana. Lama kelamaan, tawanya mulai mereda, digantikan kantuk berat yang menggantungi pelupuk matanya. Perlahan, Buana mulai pasrah, dibiarkannya alam mimpi menjemput dirinya. Sebelum memejamkan matanya erat-erat, Buana berharap ia memimpikan Nay-Nay, anjing gembala jerman miliknya yang mati ditusuk belati Mami.

Jika humor adalah kekasihnya yang keji dan gemar menyiksa, maka alam mimpi ialah selingkuhan yang siap sedia membuainya selagi ia tersakiti.

***

Malam ini langit begitu cerah. Bulan purnama keperakan menggantung di puncak langit, tampil tunggal tak didampingi kelap-kelip gemintang. Seorang diri menyeka cakrawala hitam yang telanjang. Arak-arak awan kelabu yang tertiup angin kering musim panas sesekali melintasi bulan, sedikit meredupkan sinarnya.

Dari jendela kamar di lantai dua sebuah rumah gedongan bertembok tebal yang berbaris bersama hunian-hunian megah lain di kedua sisi suatu bulevar, seorang gadis muda berusia akhir belasan asyik menikmati garis-garis sinar bulan yang melukiskan semu-semu perak di wajahnya. Dalam lagak pose menggelikan ala lukisan pelacur-pelacur renaissance, gadis itu mengangkat satu lengannya ke belakang kepala, punggungnya yang terbuka bersandar pada bingkai jendela. Di belakang kepala, rambutnya yang hitam legam sedagu terburai acak-acakan, tapi masih begitu indah karena kelebatannya. Paha kanannya yang terang dan mengagumkan dibiarkan terbuka, terentang di langkan. Kain gaun tidurnya yang terbuat dari satin putih tersibak, mempertontonkan tubuh muda yang segar.

"Jangan kira aku bakal tergoda, Sabda Binar," cetus seorang pemuda perlente yang masih mengenakan tuksedo berpinggang ketat bahkan selagi ia sedang duduk di sudut kamar.

Sabda Binar, si gadis yang sedang mandi cahaya bulan, melirik acuh. "Saya juga tidak berharap Anda meniduri saya, Mas Bara."

Rahang Bara mengetat. Tenggorokannya menelan emosi berupa gumpalan ludah yang ingin ia semburkan ke wajah Sabda Binar. Di luar dugaannya, gadis lemah yang dia selamatkan semalam ternyata memiliki kelakuan semengerikan burung gagak pembawa kematian. Selagi gadis itu terlelap dalam kedamaian, Bara lumayan menyukai kecantikan lugu Sabda Binar, dengan mata bulat yang terpejam, hidung ramping bercuping mungil, dan bibir tebal kemerahan yang sedikit kontras dibandingkan wajahnya yang sebentuk telur. Bara menikmati gerakan teratur dada Sabda Binar yang naik turun mengembuskan nafas. Namun, begitu kelopak matanya berkepak membuka, tampak sepasang mata cokelat terang yang tajam dan pecicilan, jelalatan menyapu apa saja yang ada dalam cakupan pandangnya. Mata terliar yang pernah Bara tatap.

Sejak kepulihannya dari tidur yang melelahkan beberapa jam lalu, Sabda Binar menunjukkan tabiat aslinya. Dia melepaskan pakaiannya begitu saja di depan Bara Esa yang menungguinya di sofa. Seperti bayi yang baru lahir, Sabda Binar sama sekali tidak tersipu malu atas ketelanjangannya. Pinggul yang berlekuk itu bergoyang ketika ia melangkah mendekati Bara. Dengan suara tegas mutlak yang kedengaran pantas untuk seorang putri dari mafia, dia berkata. "Aku mau mandi. Bau busuk dua berandal itu menempel seperti lintah di tubuhku."

Selagi menonton Sabda Binar yang melangkah sesenyap dalam langkah lurus yang seanggun kucing, Bara mendecih. Pantas saja dia diperkosa, kelakuannya saja sebinal anjing betina berahi.

Sejatinya, Bara Esa sang ajudikator yang adil dalam menghakimi tidak pernah ingin mengatakannya langsung kepada seorang perempuan yang baru saja mengalami kekerasan seksual. Tapi, tindak-tanduk gila Sabda Binar mempelatuk lidahnya. Persis di depan Sabda Binar yang sedang mengangkang di jendela, Bara menyemburkan kata-kata keji. "Pantas kamu diperkosa, kelakuanmu saja jalang."

Lewat ekor matanya, Sabda Binar menoleh sekilas. Hatinya tertawa melihat kedua tangan Bara yang terkepal erat meremas seprai hitam. Orang-orang bilang, Bara Esa sang ajudikator berhati sedingin musim salju dan bertangan besi yang seakan-akan ditempa seorang pandai dari zaman pesilat. Bagaimanapun juga, Bara Esa adalah lelaki yang mustahil diam tidak bergeming melihat wanita telanjang. Sabda Binar tahu, tubuh wanita manapun asalkan memiliki kelokan-kelokan menggiurkan akan berhasil meluluhkan jiwa beku Bara.

"Aku mulai ragu. Kamu terlalu santai. Jangan-jangan, kamu yang memerkosa dua berandal itu," tuduh Bara, keji. Dia mendengus beringas, sarat akan permusuhan, juga hasrat nista yang tidak ingin diakui. Ia berjuang mendinginkan kepalanya selagi Sabda Binar menyajikan pahanya di depan mata. Ia yakin, Pak Jun, ayahnya, takkan mungkin terangsang bila ada di posisi Bara, duduk di depan perempuan cantik yang mengumbar tubuh. Pak Jun akan menyikapi segalanya dengan profesional dan sesuai prosedur.

Sabda Binar mendesah berat. "Yah... Seperti sebintik jerawat yang tumbuh di atas kulit penuh borok. Kotor tapi tak berarti apa-apa."

Sabda Binar melompat turun. Telapak kaki telanjangnya menipaki lantai keramik yang dingin. "Aku lapar." Bibirnya melengkung, menciptakan senyum miring yang kejam. Ia sedikit berbisik merdu. "Tolong, Mas Bara."

Benar-benar, Sabda Binar ternyata tidak lebih dari seorang perempuan sakit jiwa! Bara Esa enggan beranjak dari duduknya. Enak saja, mana sudi ia diperintah seorang perempuan. "Beritahu aku, kenapa Gita Arun menitipkanmu pada ayahku? Ada urusan apa?"

Kegilaan sudah menjangkiti Sabda Binar. Darah yang mengalir di balik kulitnya berenang membawa partikel-partikel sinting yang memacunya bertindak gila. Sabda Binar mengangkat ujung gaunnya, memutar ujung telapaknya seperti penari balet sehingga mempertontonkan paha dalamnya. Di kulit pucat itu, tertoreh rajah bergambarkan sekuntum mawar merah yang bagai merekah di atas tanah bersalju. "Aku seniman tatto. Ayah tiriku itu meminta ayahmu tersayang buat menaruhku di studio tatto milik kalian. Supaya aku bisa mengasah kemampuanku, magang, sekaligus aku kuliah di sini."

"Kamu kuliah?" Bara bertanya menghina. Bara benci wanita pintar. Baginya mereka terlalu pembangkang dan sulit dikendalikan, kecerdasan kaum hawa selalu saja menurunkan gairahnya. Ibunya, yang telah menjadi figur wanita sempurna di mata Bara, tak pernah sempat menamatkan pendidikan menengahnya. Pak Jun mengambilnya sebagai istri di usianya yang begitu belia, tujuh belas tahun, tetapi dibekali kemampuan rumah tangga dan keahlian mengurus suami yang mumpuni. Perempuan yang sibuk mengejar karier demi menyaingi kaum lelaki tidak akan pernah sempat mempelajari keterampilan memasak. Mungkin menisik kancing kemeja suaminya saja, mereka lemah.

Sabda Binar mengangguk. Penuh kebanggan, dia mengatakan. "Ya. Arsitektur, semester kedua." Dia menurunkan ujung gaunnya. Kain itu jatuh melampai menutupi kakinya bagai tirai dari khayangan. "Aku lapar." Dia mengulangi. "Tolong, Mas Bara."

Pada akhirnya, sekalipun diselingi umpatan geram, Bara mengantarkan tamunya ini ke ruang makan dan menyiapkan dua piring nasi telur sederhana: satu untuknya dan satu lagi untuk Sabda Binar yang kelaparan. Sabda Binar melahapnya dengan sedemikian lahap. Dentang logam terdengar, sendok beradu dengan giginya. Dia mengunyah serakus tukang becak.

"Bisa masak?" Pertanyaan iseng Bara menyela kegiatan Sanda Binar menggilas telur dan nasi.

Sejenak Sabda Binar berhenti. Ia menelan kunyahannya. "Kalau yang kamu maksud sekedar menyalakan kompor, merebus air, menggoreng telur dan mie instan, atau menanak nasi, aku bisa."

Bara tersenyum penuh kemenangan. "Jasad suamimu besok bakal kurus sekering gelandangan."

Sembari mengunyah seiris panjang telur dadar, Sabda Binar menjawab seakan-akan menyepelekan pertanyaan Bara. "Aku dibesarkan untuk jadi manusia, sama sepertimu, bukan dipelihara, dididik, lalu dijual sebagai istri orang. Ditambah, memasak itu semacam kemampuan bertahan hidup." Satu suapan terakhir masuk ke mulut Sabda Binar. "Ngomong-ngomong, masakanmu enak. Kamu akan jadi suami sempurna yang tidak memperlakukan istri layaknya babu, cuma ngurusin kasur, dapur dan sumur."

Piring Sabda Binar ditandas bersih, menyisakan genangan minyak mengilap di permukaannya.

***

Mentari mengintip malu di  belakang punggung Gunung Merapi yang bertakhta di tepi angkasa utara Yogyakarta. Terselubungi kisi-kisi awan yang mengalungi tubuh kekar Merapi, cahaya jingga pucat matahari menyorot lemah langit pagi yang masih kelabu. Hari masih pagi. Yogyakarta adalah kota yang bergerak dengan irama beragam, tetapi selaras, seperti pertunjukkan orkestra yang terdiri dari macam-macam jenis alat musik yang mengalun mengikuti temponya masing-masijg. Selagi langit yang menandangi tanah mataram masih semerah orok, beberapa orang dari sejumlah golongan khusus sudah menyingkap selimut mereka, dan dengan punggung tegak, melangkah meninggalkan pintu rumahnya. Salah satunya Julius Jon, seorang jurnalis yang menulis untuk koran lokal di sektor kriminal.

Pada dentang terakhir lonceng tua gereja yang berbunyi enam kali, Julius Jon sudah duduk di bangku Kafe Simetri yang menyebelahi jendela dan sepotong jalan trotoar Gang Sabirin. Selama tiga tahun terakhir, setelah dirinya resmi dikalungi lencana pers, Julius Jon selalu duduk di bangku yang sama, menghadap menu yang selalu sama: segelas kopi hitam instan, tanpa gula, yang ampasnya disaring terlebih dahulu. Ia akan mengeluarkan sebuah novel karya Pramoedya Ananta Toer, membacanya sebanyak seratus halaman, lalu beranjak pergi pada pukul 08.00. Selalu delapan nol nol, tak pernah kurang atau lebih sedetik pun. Julius Jon adalah perwujudan manusia dari komputer yang ditata oleh sistem. Mungkin satu-satunya perbedaan dalam hidup Julius Jon adalah pakaiannya. Hari ini, ia mengenakan polo putih yang kedodoran di tubuh kerempengnya. Begitu necis, dengan rambut klimis yang disisr ke samping, jam tangan rolex, dan kacamata kotak berbingkai gading, dia terlihat sama perlentenya dengan pengusaha kaya raya yang hendak bermain golf ditemani seorang wanita caddy cantik.

Ketika Julius Jon melambaikan tangan untuk memanggil pelayan, Buana datang. Sebilah pulpen terselip di telinganya, sementata tangannya menggenggam sepucuk kertas.

"Satu kopi hitam Kapal Api tanpa gula. Tolong jangan lupa buang ampasnya,"- kata Buana mendahului Julius Jon. Dia hapal persis kalimat apa yang hendak diucapkan Julius Jon sebaik ia mengingat kata-kata pengumuman teater yang dikumandangkan di bioskop.

Sepasang mata tajam memandang lewat lensa kacamatanya yang cekung. Keningnya berkerut, tercipta garis-garis jelek di dahi lebar Julis Jon yang membuatnya menua sekejap. Dia mengamati Buana sejenak. Otaknya yang terbiasa mengalaisis suatu kejadian kriminal segera memahami maksud Buana. "Kamu pun menjalani kehidupan monoton, Nak."

"Tidak semononton Anda." Buana merapatkan giginya.

Di tangan Julius Jon, terselip sebendel kertas B5 yang dijahit dengan benang kasur. Lembarannya kumal, sudah kekuningan dan mengkerut terseka air hujan. Buana berkomentar. "Anda tidak semonoton yang saya kira. Ke mana buku Bumi Manusia yang selalu Anda baca?"

"Di rumah, menanti untuk di baca." Julius Jon mengangkat bendelan kertasnya. "Sekarang, ada perihal yang lebih penting daripada kerisauan Minke."

"Oh, perihal macam apa itu?" desak Buana penasaran. Otaknya yang hiperaktif tidak akan pernah berhenti menyibak suatu masalah sampai dia menemukan jawaban.

Julius Jon meletakkan kertas kusutnya ke meja dengan hati-hati seakan sedang melawat benda porselin ringkih. "Dua anak punk ditemukan mati tertembak di kolong jalan underpass. Tergeletak bersimbah darah di kegelapan jalan raya, tanpa selembar surat identitas pun. Tim autopsi menamai keduanya Agus dan Wahyu." Telunjuknya yang panjang dan ramping membalikkan lembaran kertasnya, berhenti di satu halaman yang dipenuhi corat-coret tulisan tangannya. "Aku menulis rangka beritanya di sini. Harus segera kukerjakan."

Buana mengintip. Julius Jon membubuhkan gurat-gurat tulisan tangan yang dalam dan tebal seakan-akan dia menumpahkan segala kerisauannya di situ seperti kucing marah yang mencabik-cabik selongsong pohon. Terlepas dari keburuk rupaan tulisannya yang menurut Buana tidak lebih baik daripada hasil karya anak TK, kata-kata yang dibentuk di situ begitu berat.

DIBUNUH.

SATU LUBANG DI JANTUNG AGUS.

SATU LUBANG DI KENING WAHYU.

PELAKU? ASUMSI: GENG KECIL.

MOTIF PEMBUNUHAN? ASUMSI: HUTANG.

Baris terakhir yang menyebutkan kata 'hutang' mengirimkan gelenyar ketakutan ke tubuh Buana. Bulu roma di tengkuknya berdiri setegak prajurit. "Hutang?" Ia membaca.

Julius Jon mengangguk mantap. "Menurutku begitu. Anak jalanan biasanya kecanduan narkoba sampai mampus. Mungkin mereka berhutang beberapa narkotika mahal pada pengedar. Mereka tidak bisa melunasinya, dan berusaha memutar otak: 'Bagaimana kalau kuancam pengedar itu? Aku bisa bilang, aku hendak bertobat, pergi ke panti rehabilitasi, dan melaporkannya ke polisi'. Karena pengedarnya adalah anggota geng kelas teri yang tentunya tidak berpengalaman menghadapi ancaman, dia lantas membunuh dua bocah malang ini."

Persetan dengan penjelasan si jurnalis! Pikiran Buana terus nerputar mengelilingi kata 'HUTANG'. Dua berandalan merana ini dibunuh karena tidak bisa membayar hutang, seperti dirinya sendiri! Ya, tak mampu melunasi hutang! Bayangan momen si kekar Suffi dan dua jawaranya yang kejam memukulinya sampai mati menohok relung hati Buana. Dia tak sudi mati muda. Meregang nyawa di kepalan tangan preman bukanlah epilog hidup yang indah. Jasadnya akan babak belur, sama sekali tidak akan kelihatan tampan dalam tuksedo hitam yang menjadi busana peti matinya. Buana gemetar disetrum rasa takut yang menjadi-jadi.

Sembari berbalik untuk kembali ke konter barista, Buana bertekad, dia harus segera mengumpulkan puluhan juta itu, bagaimana pun caranya.

"Apa beritaku menakutimu, Nak?" Julius Jon bertanya. Kedua belah nibirnya yang gemuk kemerahan bagai cacing tanah yang sedang bersetubuh melebar, menyunggingkan seringai mengejek.

Punggung Buana menegak. "Tidak. Kupastikan mayatku bakal sebersih jenazah Santa Clara."

Namun, sedikit terasa dalam hatinya, Buana menyecap sedikit rasa syukur. Untung, dia tidak pernah berurusan sejengkal saja bersentuhan dengan tangan-tangan penghuni dunia bawah seperti pelaku pembunuhan dua anak berandal. Sehari berikutnya, tanpa Buana sadari, dirinya mengecup langsung kulit seorang gadis yang lahir di kegelapan dunia bawah.