Sinta datang ke sekolah. Rama berlari menghampirinya. Sinta tersenyum melihat Rama
"Hai Rama!" sapa Sinta.
"Sudah jangan bilang hai terus. Sinta, apa kau sudah mengerjakan tugas biologi kemarin?" tanya Rama pada Sinta. Sinta mengangguk.
"Sudah."
"Baguslah, kalau begitu aku bisa mencontek PR mu," kata Rama senang. Sinta kesal mendengar perkataan Rama.
"Oh, jadi kau ingin mencontek ya?''
"Ya, kau akan berikan kan?" Sinta menggelengkan kepalanya.
"Tentu saja tidak. Aku mengerjakannya dengan susah payah dan kau justru dengan tenang ingin mencontek tugasku?!" tolak Sinta.
"Sinta aku mohon sekali saja. Kau tahu kan, aku lemah dalam pelajaran biologi," ujar Rama sambil duduk di bangkunya. Sinta tersenyum dan berlutut di samping Rama.
"Rama, jika kau ingin mencontek tugasku, aku akan marah. Tapi jika kau ingin aku mengajarimu biologi supaya kau bisa paham, aku tidak akan menolaknya," jelas Sinta. Rama tersenyum.
"Jadi kau mau mengajariku?" tanya Rama seolah tak percaya dengan perkataan Sinta.
"Tentu saja, kenapa tidak?" Rama memandangi Sinta sambil tersenyum begitupula sebaliknya. Sinta lalu mengajari Rama pelajaran biologi dan duduk di sampingnya.
3 tahun kemudian....
Tidak terasa sekarang Rama dan Sinta sudah lulus kuliah.
Suatu hari Reza mengajak Rama pergi berlibur di taman, dimana Sinta dan Tiara juga berada di taman tersebut.
Sinta duduk di bangku memandangi bunga mawar berwarna kuning yang dihinggapi seekor kupu-kupu. Rama melihat Sinta dan tersenyum. Ia duduk di samping Sinta sambil membawa setangkai bunga mawar.
"Hai, ini untukmu," kata Rama sambil memberikan bunga tersebut pada Sinta.
"Untuk apa?" Rama tersenyum menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada apa-apa, hanya iseng saja." Sinta tersenyum.
"Terimakasih."
"Sinta, aku lapar. Bisakah kita mampir di warung sebentar dan makan bersama?" pinta Tiara. Sinta tersenyum.
"Tentu saja, ayo." Sinta dan Tiara lalu pergi makan di warung dekat taman.
Rama menghampirinya Reza.
"Teman, entah kenapa aku lapar sekali. Kau masukan makan bareng aku?" pintanya. Reza mengangguk. Mereka pergi makan di warung dimana Sinta dan Tiara juga makan di sana.
Rama duduk sambil tersenyum melihat Sinta begitupula sebaliknya. Tiba-tiba pelayan datang.
"Tuan ini tehnya."
"Terimakasih." Rama meminum teh tersebut dan tanpa sengaja memuntahkan tehnya. Reza menghampiri Rama.
"Kau baik-baik saja? Apa kau sakit, masuk angin?" tanya Reza. Rama tersenyum menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada apa-apa, aku baik-baik saja, hanya tidak terbiasa minum teh," jawab Rama sambil memegangi kepalanya yang terasa sedikit sakit. Reza mengangguk pelan.
Sinta menghampiri Rama dan membawa segelas jus untuknya.
"Ini untukmu. Kau pasti haus kan, ini silahkan minum jus ku. Aku sudah tidak haus kok," kata Sinta sambil memberikan jusnya pada Rama. Rama tersenyum.
"Terimakasih. Ngomong-ngomong jus mu ini enak!" Sinta tersenyum.
Keesokan paginya, Tiara dan Dian datang menemui Sinta untuk mengajaknya berbelanja di mall. Ketika tiba di sana, mereka melihat ada banyak sekali pakaian yang bagus, seperti baju muslim, batik, dan gaun yang indah. Tiara dan Dian menghampiri pakaian tersebut dan memegangi salah satu gaun berwarna biru tua.
"Wow, indah sekali gaun ini!" ucap Dian sambil tersenyum.
Sementara Sinta pergi melihat-lihat boneka yang letaknya tidak jauh dari pakaian-pakaian.
Dian dan Tiara terkejut dan khawatir karena tidak melihat Sinta. Mereka pun pergi mencari Sinta, tapi belum juga ketemu.
"Aduh, bagaimana ini? Nanti kalau Sinta hilang bagaimana?" tanya Dian cemas.
"Kamu tenang saja. Sinta pasti sedang pergi membeli barang yang ia sukai, atau mungkin dia sedang pergi ke kamar kecil." Dian diam sejenak.
"Daripada kita terus jalan-jalan tidak menentu, lebih baik kita memilih-milih pakaian tadi, nantikan Sinta juga kembali," lanjut Tiara.
"Baiklah."
Mereka kembali melihat gaun yang tadi dan tiba-tiba mereka melihat Sinta ada di sana. Dian menghampiri Sinta.
"Sinta kau di sini rupanya. Lelah kami mencarimu."
"Ya, ngomong-ngomong kamu dari mana?" tanya Tiara pada Sinta.
"Maafkan aku, tadi aku baru melihat-lihat boneka."
"Emm, aku lelah, ayo kita pulang!" pinta Dian.
Sinta dan Tiara mengangguk. Mereka lalu pulang bersama.
Saat di jalan, mereka bertemu dengan Rama yang selesai ikut balapan liar dan menyisir rambutnya sambil melihat cermin. Dian dan Tiara menghampiri Rama.
"Hai Rama, kau terlihat tampan malam ini," puji Tiara. Rama tersenyum.
"Oh ya? Kau juga terlihat cantik."
"Terimakasih, apa aku boleh berfoto bersamamu?" pinta Tiara. Rama tersenyum mengangguk. Mereka berfoto, setelah itu Dian dan Tiara pergi.
Rama melihat Sinta berdiri diam dan menghampirinya.
"Hai, kenapa berdiri di situ sambil melamun?" tanya Rama. Sinta menatap Rama.
"Siapa yang melamun? aku dari tadi hanya melihat pohon yang ada di dekat toko kue," jawab Sinta.
Rama tersenyum.
"Apa kau ingin makan kue?" Sinta menggelengkan kepalanya.
"Tidak, aku hanya ingin pulang.''
"Kalau begitu, mari aku antar kamu pulang." Sinta tersenyum menggeleng.
"Kau tidak perlu repot-repot. Aku bisa pulang sendiri. Nantikan ada banyak taksi atau angkot," tolak Sinta.
"Angkot apanya? omong kosong. Kau tidak tahu sekarang sudah jam berapa?" Sinta menggeleng.
"Jam berapa?"
"Sekarang sudah jam sepuluh. Biasanya tidak ada kendaraan yang lewat setelah jam itu. Lagipula jalan ini juga sepi, nanti kalau ada orang yang mengganggunu bagaimana?''
"Baiklah, jika kau mau mengantarkan aku kerumah aku tidak keberatan." Rama tersenyum. Ia lalu mengantar Sinta ke rumahnya menggunakan motor.
Di jalan Rama mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba Sinta memeluknya secara tidak sengaja karena ketakutan.
"Rama, kau bisa kan mengendarai motornya pelan-pelan. Nanti kalau kita jatuh, bagaimana?" tegur Sinta. Rama tersenyum.
"Kau tenang saja. Tidak akan terjadi apa-apa, kalau kau takut, kau boleh kok pegangan aku." Sinta hanya diam.
Beberapa menit kemudian...
Mereka sudah sampai di rumah. Sinta turun dari motor dan mengucapkan terima kasih pada Rama karena sudah mau mengatarkannya pulang dengan selamat.
Seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan Rama dan Sinta mulai jatuh cinta. Namun sayangnya, mereka harus menerima kenyataan pahit tentang penolakan Restu ayah Rama karena perbedaan status.
Meski tahu bahwa ayahnya tidak merestui hubungannya dengan Sinta, Rama tetap berniat menikahi Sinta. Pernikahan mereka begitu sederhana, tidak ada pesta, atau perayaan yang biasa orang-orang lakukan.
Rama dan Sinta menikah di sebuah masjid dan hanya dihadiri oleh ibu Rama dan teman-teman mereka.
Setelah menikah, Rama dan Sinta menghampiri Farah untuk meminta restunya.
"Semoga pernikahan kalian langgeng, dan ibu harap kalian selalu bahagia," do'a Farah.
"Terimakasih doanya, Ibu." Mereka memeluk Farah dan berdiri.
Reza menghampiri Rama dan merangkulnya. Rama menatap Reza.
''Selamat ya teman, akhirnya kamu bisa menemukan dan menikahi gadis yang baik seperti Sinta." Rama tersenyum.
''Selamat atas pernikahan kalian," ucap teman-teman Rama dan Sinta.
"Terimakasih."
Teman-teman mereka lalu pergi.
Rama mengajak Sinta ke rumahnya. Saat di rumah, Rama dan Sinta melihat Rangga sedang menunggu mereka sambil duduk di kursi ruang tamu. Rama menghampirinya ayahnya dan berlutut di depannya.
"Ayah, aku minta maaf kalau aku telah melukai hati ayah. Aku tahu ayah tidak merestui hubunganku dengan Sinta. Tapi ayah, aku juga telah jatuh cinta dan hanya bisa mencintai Sinta, bukan orang lain. Aku tidak bisa hidup tanpanya, jadi aku menikah dengannya. Maafkan aku ayah," ucap Rama.
Rangga hanya diam menghela napas.
"Kemasi barang-barangmu, dan pergilah dari sini," suruh Rangga. Rama dan Sinta terkejut mendengar perkataan Rangga tadi.
"Apa maksud ayah?"
"Kau telah melukai hati ayah. Kau menikah tanpa memberitahu ayah. Bahkan kini kau tidak bisa menuruti nasihat ayah. Jadi ayah ingin kamu pergi dari sini untuk selamanya." Rama menunduk.
"Ayah aku minta maaf. Aku mohon beri aku kesempatan agar ayah bisa tahu bahwa Sinta tidak seburuk dengan apa yang ayah pikirkan," pinta Rama, tak terasa air matanya mengalir di pipinya.
"Kau sudah melupakan ayah, untuk apa ayah memberimu kesempatan?"
Rama terdiam sejenak.
"Baiklah, kalau itu keinginan ayah. Aku akan meninggalkan rumah ini dan tinggal bersama Sinta." Rama mengusap air matanya dan pergi mengemasi barang-barangnya yang ada di kamar.
Tidak lama kemudian, Rama datang membawa kopornya.
"Ayah aku akan pergi sekarang, jaga dirimu baik-baik dan juga ibu. Semoga ayah dan ibu selalu bahagia," ucap Rama. Rangga dan Farah hanya diam menahan air matanya.
"Kami pergi, selamat tinggal. Assalamualaikum."
Rama dan Sinta kemudian pergi meninggalkan rumah. Mereka berjalan di pinggir jalan raya, tak tahu harus pergi ke mana.
"Rama, sudah hampir setengah jam kita berjalan di sini, aku sudah lelah," keluh Sinta. Rama memandangi Sinta dan tersenyum.
"Kau tenang saja. Sebentar lagi kita akan sampai." Sinta hanya diam. Tiba-tiba ada sebuah mobil datang dan Rama menghampiri mobil tersebut.
"Permisi pak, kalau tidak keberatan, apa saya dan dia bisa menumpang?" pinta Rama. Bapak tersebut tersenyum.
"Tentu saja, mari masuk." Rama dan Sinta lalu masuk ke dalam mobil.
2 jam kemudian...
Rama dan Sinta sedang melihat jalanan di balik jendela. Tiba-tiba mobil tersebut berhenti.
''Ada masalah apa pak?Kenapa mobilnya berhenti?" tanya Rama yang kaget karena mobilnya berhenti mendadak.
"Maaf pak, mobil saya mogok. Saya tidak bisa mengantar kalian karena harus memperbaiki mobil ini di bengkel," jawab bapak tersebut.
"Baiklah pak, kalau begitu kami turun di sini saja. Ngomong-ngomong berapa uang yang harus kami bayar?"
"Kalian tidak usah membayar, aku ikhlas memberi kalian tumpangan." Rama dan Sinta tersenyum.
"Terimakasih banyak pak."
Rama dan Sinta lalu keluar dari mobil dan kembali melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya mereka menemukan sebuah desa. Di sana ada beberapa pohon yang rindang, bunga-bunga yang berwarna-warni, dan sungai jernih yang mengalir di bawah pegunungan. Pemandangan di sana sungguh menakjubkan.
"Wow Rama, di sini indah sekali!" ujar Sinta takjub melihat pemandangan tersebut.
"Kau menyukai tempat ini?" Sinta tersenyum mengangguk.
"Tentu saja."
"Kalau begitu, mulai sekarang kita akan tinggal di sini untuk selamanya," kata Rama. Sinta tersenyum bahagia.
Mereka masuk ke dalam. Rumah mereka tidak tingkat sama seperti mereka Rama dulu. Rumah ini sederhana.
"Sinta, aku harap kau tidak bosan tinggal rumah kecil seperti ini," ujar Rama. Sinta tersenyum.
"Kau tenang saja. Aku tidak masalah, bahkan jika aku harus tinggal di rumah yang lebih kecil daripada ini, aku tidak masalah. Karena yang aku inginkan adalah kamu tetap bersamaku," jawab Sinta. Rama tersenyum.
"Kau adalah gadis cantik dan sederhana yang kumiliki. Aku mencintaimu Sinta," ucap Rama.
Mereka berpelukan.
Sejak saat itu, Rama dan Sinta tinggal di Desa tersebut. Walaupun tinggal di rumah yang kecil, mereka tetap bahagia dan tidak pernah mengeluh, karena bagi mereka kebersamaan dan kasih sayang lebih berharga daripada harta.