Chereads / INILAH CINTA / Chapter 4 - Momen terindah Rama dan Sinta

Chapter 4 - Momen terindah Rama dan Sinta

Keluarga sedang makan malam sambil mengobrol bersama

"Wah Sinta, masakanmu ini sungguh enak!" puji Rangga.

"Iya Sinta, kau memang pandai memasak," timpal Boy. Sinta tersenyum.

"Terimakasih, tapi menurutku makanan yang dimasak ibu lebih enak!" ucap Sinta.

Farah memandang Sinta sambil tersenyum.

Keesokan paginya, Rama melihat kalender. Hari ini tanggal 23 Oktober dan besok adalah hari keluarga.

Rama turun dari tangga sambil tersenyum kegirangan. Sinta yang tidak sengaja melihat Rama tersenyum kemudian bertanya, "Ada apa? Kau terlihat sangat gembira." Rama terdiam dan menarik napasnya dalam-dalam.

"Kau mau tahu apa yang terjadi?" Rama bertanya balik. Sinta mengangguk.

"Itu karena besok hari keluarga. Dan biasanya kami merayakannya dengan pesta kecil atau berlibur bersama."

"Tapi sekarang?''

"Aku tidak tahu, tapi sekarang aku ingin mengadakan pesta di rumah." Sinta tersenyum.

"Ide yang bagus!" pujinya lalu pergi.

Malam hari...

"Ayah, ibu, kakak, besok adalah hari keluarga. Dan aku ingin merayakannya dengan mengadakan pesta kecil bersama kalian. Bagaimana, apa kalian setuju?" tanya Rama ketika makan malam. Semua hanya diam dan tersenyum.

"Ide yang bagus! Aku setuju," jawab Boy.

"Very good! Berarti besok kita akan mengadakan pesta?" tanya Rama. Semua mengangguk sambil tersenyum.

"Tentu saja." Rama tersenyum.

"Very good!" ucapnya sambil memakan sepotong roti.

Keesokan paginya, Sinta keluar dari kamar dan ia melihat ada banyak pendekor. Rumah terlihat indah, dan ada hiasan bunga yang menempel di dinding dan lainnya. Sinta tersenyum. Farah menepuk bahu Sinta.

"Ada apa?" Sinta menggeleng.

"Tidak apa-apa ibu, aku hanya takjub. Ngomong-ngomong hiasan bunga itu terlihat indah. Aku sangat menyukainya," ucap Sinta sambil menunjukkan hiasan bunga tersebut. Farah tersenyum.

Malam hari, seluruh keluarga sedang berkumpul dan mengobrol bersama di ruang keluarga.

"Aku punya ide! Bagaimana jika kita bermain undian?" usul Rama.

"Undian?" tanya Boy.

"Ya kakak. Jadi, di sini kita akan mengambil secarik kertas yang ada di dalam mangkuk, dan apapun tulisannya itu adalah perintah jadi harus dilakukan."

"Baiklah, kami setuju."

"Tapi sebelum itu, kita akan bermain melempar bantal dari satu orang ke orang yang lain, tentunya sambil menyalakan musik. Nanti jika musiknya mati dan bantal berhenti di pangkuan salah satu di antara kita, dia harus mengambil salah satu kertas tersebut dan melakukan apa yang ditulis," jelas Rama. Semua tersenyum. "Baiklah."

Mereka kemudian bermain melempar bantal ke pangkuan satu orang ke orang yang lainnya sambil menyalakan musik.

Tiba-tiba musiknya mati dan berhenti dipangkuan Sinta.

"Oh tidak!"

"Dengar, pilih kertas yang kau suka." Rama membawa mangkuk berisi kertas yang banyak. Sinta mengambil secarik kertas berwarna kuning bertulisan 'say : I Love You'.

"What?! Aku harus mengatakan I love you pada Rama di depan semua orang?" tanya Sinta pada dirinya sendiri. Rama menatap Sinta.

"Ada apa? Nona Sinta kau jangan mencoba untuk berbuat curang ya..." tegur Rama. Sinta menggeleng.

"Aku tidak ingin berbuat curang, hanya saja aku malu mengatakannya," ujar Sinta.

Rama memegang bahu Sinta.

"Tenang, aku bisa membantumu." Sinta menatap Rama dengan heran. Rama berjalan menjauhi Sinta dan meminum segelas air putih kemudian kembali dengan ekspresi marah.

"Sinta, apa yang kau lakukan kemarin, itu tidak pernah kubayangkan. Kenapa kau harus mengkhianati ku?!" tanya Rama sambil berteriak dan membuat semua orang terkejut, terutama Sinta. Ia terlihat pucat seakan ia tertangkap basah, meskipun sebenarnya ia tidak melakukan apapun.

"Apa maksudmu?"

"Maksudku adalah kau sudah mengkhianati ku. Diam-diam kau sering menghabiskan waktu dengan Aldin setiap hari, ketika aku bekerja. Kenapa?" Sinta terdiam.

"Aku tidak mengerti perkataan mu, dan aku juga tidak kenal Aldin sama sekali. Dengar Rama, kalau aku mempunyai salah, aku minta maaf," ucap Sinta.

"Kau tidak perlu berbohong! Kalau kau telah berpacaran dengan Aldin dan mengkhianati cintaku."

"Rama, kau salah paham. Aku tidak pernah mengkhianatimu apalagi berselingkuh diam-diam, itu karena---"

"Karena apa?"

"Karena aku sangat mencintaimu."

"Apa?"

"Ya Rama, aku sangat mencintaimu. Itu sebabnya aku tidak pernah mengkhianatimu," jelas Sinta.

"Boleh aku minta tolong ulangi perkataan mu tadi?" pinta Rama.

"Aku tadi bilang bahwa aku mencintaimu," ucap Sinta dan tersenyum. Rama menatap Sinta sambil menghampirinya dan tersenyum lalu memeluk Sinta dan mencium pipinya.

Rangga menghampiri Rama.

"Apa maksudmu, Nak? Kenapa kau memarahi Sinta?" tanya Rangga. Rama tersenyum.

''Itu karena aku ingin membantu Sinta melaksanakan kewajibannya. Dia tadi malu mengungkapkan perasaannya di depan semua orang, jadi aku berpura-pura memarahinya agar ia bisa mengatakan aku mencintaimu padaku," jawab Rama. Rangga tersenyum begitupula dengan yang lain. Rangga merangkul Rama.

"Kau memang anak ayah yang paling hebat! Aktingmu luar biasa!" puji Rangga.

Rama tersenyum menunduk. Farah memandangi jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 10.30 WIB.

"Sudah jam setengah sebelas, ayo tidur. Atau kalau tidak besok kita akan bangun kesiangan dan terlambat bekerja," ujar Farah.

"Baik bu, kami tidur dulu. Selamat malam," ucap Rama.

"Selamat malam." Mereka lalu pergi ke kamar masing-masing dan tidur.

Keesokan paginya, Rama sedang merapikan pakaiannya di depan cermin.

"Oh tidak. Kemeja ku ini sudah kusam dan kecil. Sebentar lagi tidak

akan muat kalau dipakai," keluh Rama.

Sinta memandangi Rama dengan tersenyum. Ia berniat membelinya kemeja.

Setelah sarapan, Rama pergi ke kantor untuk bekerja. Sementara Sinta pergi membelikan kemeja untuk Rama di pasar.

Siang hari...

"Sinta! Ayo kemari! Aku ingin berbicara denganmu," kata Rama setelah pulang dari kantor.

Farah menghampiri Rama.

"Sinta tidak ada di rumah. Saat kau pergi, dia juga pergi."

"Ke mana?"

Farah mengangkat bahunya.

"Ibu kurang tahu." Tiba-tiba Sinta datang.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumusallam." Rama menghampiri Sinta.

"Kau dari mana? Dan apa yang ku bawa?" tanya Rama sambil memandang tas belanja Sinta. Sinta tersenyum.

"Ayo ke kamar, aku ingin berbicara padamu," pinta Sinta.

"Baiklah." Mereka pergi ke kamar. Ketika di kamar, Rama duduk di sofa.

"Ayo katakan."

"Rama, aku tadi pergi ke pasar untuk belanja. Dan aku membelikan kemeja untukmu. Saat aku akan pulang, aku bertemu dengan kakak sepupuku dan kami mengobrol bersama, itu sebabnya aku pulang terlambat. Maafkan aku," jelas Sinta.

"Tidak apa-apa."

"Oh ya, apa kau bisa mencoba kemeja ini?" pinta Sinta.

"Tentu saja." Rama kemudian memakai kemeja yang dibelikan Sinta.

"Wah! Kemeja yang dibelikan Sinta sangat indah," gumam Rama sambil memandang dirinya sendiri di cermin. Sinta tersenyum melihat Rama, ia terpesona olehnya.

"Rama, kau terlihat tampan!" puji Sinta.

"Kau ini."

"Iya, aku tampan, tidak seperti kau."

"Kau mengejekku?" tanya Sinta. Rama diam dan menggeleng.

"Tidak, aku tidak bermaksud mengejekmu. Aku hanya ingin bilang kalau kau cantik sekali." Sinta merasa kesal dan pergi meninggalkan Rama.

Sinta pergi ke dapur dan membantu Farah memasak dengan memotong sayuran. Farah menatap Sinta.

"Ada apa? Kau terlihat kesal. Apa kau habis bertengkar dengan suamimu?" tanya Farah. Sinta menggeleng.

"Tidak, aku baru saja bermesraan dengannya di dalam kamar bukan bertengkar," jawab Sinta sambil memotong wortel. Rama datang.

"Aku minta maaf, Sinta. Aku tadi hanya bercanda," ucap Rama. Sinta hanya diam tidak menghiraukannya.

Keesokan harinya, Rama masih merasa tidak enak atas apa yang ia lakukan pada Sinta kemarin. Setiap saat ia hanya memikirkan Sinta. Ali yang melihat Rama melamun dari tadi memegang tangannya.

"Ada apa?" Rama menggeleng.

"Oh ya pak, bagaimana pendapatmu tentang model ini?'' tanya pak Farhan sambil menunjukkan gambar pakaian di depan layar komputer.

"Sangat bagus. Aku yakin, pakaian yang kita desain ini akan laku keras di pasaran," ujar Rama.

"Emmm, bagaimana jika kita lanjutkan rapat ini besok? Hari ini aku merasa kurang sehat," lanjutnya. Semua mengangguk.

"Baik pak." Rama tersenyum. Ia lalu pergi dari ruangan dan hendak pulang.

Di tengah jalan, Rama melihat ada seorang penjual bunga. Ia berniat memberikan Sinta bunga mawar yang berwarna-warni untuk Sinta. Rama tersenyum memandangi bunga tersebut.

"Aku yakin, Sinta pasti akan senang dan memaafkan ku," gumam Rama. Ia masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya.

Sesampainya di rumah, Rama pergi menemui Sinta dengan berlari.

"Hai Sinta. Aku ingin minta maaf padamu," ucap Rama. Sinta tersenyum.

"Tidak masalah, oh ya apa yang kau sembunyikan?" tanya Sinta berusaha melihat bunga yang ada dibalik Rama. Rama menggeleng.

"Tidak ada, aku hanya ingin memberimu kejutan."

"Apa?" Rama mengeluarkan bunga mawar yang sembunyikan tadi dan memberikan bunga tersebut pada Sinta.

"Terimakasih," ucap Sinta sambil memegang bunga tersebut dan tersenyum.

Rama tersenyum.

"Dengan senang hati."

Malam hari, keluarga sedang makan bersama.

Sinta mengotak-atik makanannya dengan sendok, raut wajahnya terlihat lesu. Rama yang melihat hal itu pun menegur Sinta.

"Apa yang kau lakukan? Ayo makan dengan benar. Jangan seperti anak kecil!'' tegur Rama. Sinta hanya diam.

"Dengar, jika kau tidak mau makan, mama aku akan menyuapimu," lanjutnya. Sinta hanya diam dan memutar matanya malas. Ia terpaksa memakan galantin tersebut menggunakan garpu.

Tiba-tiba Sinta merasa mual dan pergi ke kamar mandi. Setelah itu, Farah menghampiri Sinta.

"Nak, apa kau sakit?"

"Aku tidak tahu ibu. Padahal kemarin aku begitu sehat, tapi mendaak badan ku jadi lemas dan terasa mual," jawab Sinta memegang Sinta memegang dahinya.

''Apa? Bagaimana kalau kita pergi ke dokter untuk memeriksa dirimu?" usul Rama. Sinta menatap Rama.

"Tidak perlu. Lagi pula ini hanya masuk angin, nantikan sembuh sendiri. Kau tidak usah cemas." Rama menggeleng.

"Tidak kau harus diperiksa. Bagaimana jika sakit mu bertambah. Kan kita juga yang repot," bantah Rama. Rangga melihat Rama dan menegurnya. "Kau ini bicara apa? Dia tidak pernah merepotkan ku, aku senang merawatnya." Rama memutar bola matanya dengan malas.

"Baiklah, aku mau diperiksa," sahut Sinta. Rama tersenyum.

"Nah, begitu dong!"

Seluruh keluarga pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatan Sinta. Beberapa saat kemudian, seorang pria dengan pakaian khas dokter datang menghampiri Rama. Dia adalah dokter Salim yang merupakan teman Rangga sewaktu kuliah dulu. Dokter mengatakan kalau keluarga harus tetap menunggu di luar selama ia masih memeriksa Sinta. Semua mengangguk.

10 menit kemudian...

Dokter dan Sinta keluar dari ruangan. Rama menghampiri dokter Salim dan bertanya,"bagaimana keadaan istri saya, Dok? Apa ia baik-baik saja?" Pak dokter tersenyum.

"Selamat ya pak, anda akan menjadi seorang ayah. Istri anda hamil." Semua yang mendengar perkataan dokter tadi terkejut merasa bahagia dan tersenyum begitupula dengan Rama dan Sinta.

"Alhamdulillah, terimakasih ya Allah," ucap Rama bersyukur. Sinta tersenyum.

"Terimakasih, Dok."

"Sama-sama. Oh ya, mulai sekarang istri anda tidak boleh kelelahan apalagi stres karena itu bisa menganggu kesehatannya dan juga kesehatan bayi yang ada di dalam kandungannya..." Dokter menjelaskan.

"Kau tenang saja Dok, aku pasti akan merawat istriku dengan baik," jawab Rama.

"Ya, kami akan merawatnya dengan senang hati," timpal Rangga. Dokter hanya diam sambil tersenyum.

''Kalau begitu, kami pamit dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumusallam."

"Keluarga merasa bahagia ketika tahu Sinta hamil, terutama Rama dan Sinta. Mereka selalu merawat Sinta dengan baik dan kasih sayang.