Sinta sedang memasak di dapur. Rama menghampiri Sinta.
"Selamat pagi."
"Pagi."
"Ngomong-ngomong apa yang kau masak?"
Sup galantin."
"Oh." Rama mengangguk pelan.
"Kau tunggu sebentar di meja makan. Lima menit lagi matang," ujar Sinta. Rama tersenyum menggelengkan kepalanya.
"Tidak, aku ingin tetap di sini sambil melihat istriku memasak," tolak Rama.
"Jangan seperti anak kecil, cepat duduk di meja makan. Aku akan menyajikan makanan untuk sarapan." Rama menurut, ia pergi ke meja makan. Tidak lama kemudian, Sinta datang membawa makanan.
"Silahkan dimakan," kata Sinta sambil menyajikan supnya di mangkuk Rama. Rama tersenyum, ia memakan supnya.
"Bagaimana? Apa enak?" tanya Sinta. Rama menggeleng.
"Tidak enak ya? Aku minta maaf karena belum menjadi istri yang sempurna, aku memang bodoh, memasak saja tidak bisa." Rama berdiri dan menutup mulut Sinta.
"Hush, jangan pernah bicara seperti itu. Sebenarnya, masakan mu ini enak, tapi--"
"Tapi apa?"
"Tapi makanan ini akan lebih enak jika kamu yang menyuapiku, tentunya dengan cinta," ucap Rama. Sinta tersenyum kecil.
"Baiklah, kalau begitu ayo. Aku akan menyuapimu." Sinta menyuapi Rama dengan penuh kasih sayang.
"Emm Sinta, sepertinya ada sesuatu yang kurang, bagaimana jika aku juga menyuapimu?" pinta Rama.
"Baiklah." Rama tersenyum. Mereka lalu makan bersama sambil menyuapi satu sama lain.
Siang hari, Rama sedang bekerja di sebuah pembangunan rumah. Tiba-tiba pak Yuda (bos Rama) datang.
"Rama, saya ingin berbicara pribadi denganmu," pinta pak Yuda. Rama tersenyum.
"Katakan pak."
"Dengar Rama, kami sudah tidak membutuhkan tenagamu lagi," jelas pak Yuda.
"Apa maksud bapak?'' tanya Rama antara tidak mengerti ucapan pak Yuda dan takut jika ia akan dipecat.
"Maksud saya adalah saya sudah kelebihan karyawan, jadi saya harus mengeluarkan beberapa karyawan, termasuk anda." Rama menunduk.
"Oh ya, ini gaji kamu selama bekerja di sini," kata pak Yuda sambil memberikan sejumlah uang pada Rama. Rama menerima uang tersebut.
"Terimakasih pak, saya permisi. Assalamualaikum," pamit Rama.
"Waalaikum salam." Rama lalu pergi meninggalkan pak Yuda.
Di jalan, hati Rama merasa sedih saat tahu bahwa ia dipecat dari pekerjaannya. Tatapannya terus menunduk seperti tidak mempunyai harapan. Langkah kakinya terasa berat saat berjalan. Rama menjadi malas pulang karena takut jika Sinta akan kecewa dan marah padanya jika tahu ia dipecat.
Sementara itu, Sinta sedang menyapu lantai di ruang tamu. Tiba-tiba seseorang datang dan mengetuk pintu.
"Sebentar." Sinta berjalan dan membuka pintu.
"Kau?" Sinta heran, tidak biasanya Rama pulang cepat seperti ini. Rama hanya diam dan duduk di kursi. Sinta menghampiri Rama.
"Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu bisa pucat?" tanya Sinta sambil memegang dahi Rama.
"Sinta, kalau aku berkata jujur dan curhat padamu, apa kau akan marah?" Sinta tersenyum menggeleng.
"Tidak, tenang saja. Katakan apa masalahmu?" tanya Sinta. Rama diam sejenak.
"Sinta, aku baru saja dipecat karena banyak sekali karyawan, jadi mereka terpaksa mengeluarkan beberapa karyawan.." jelas Rama.
"Terus?"
"Terus apa? Aku dipecat dari pekerjaanku. Sekarang aku tidak mempunyai pekerjaan dan memberi nafkah untukmu," keluh Rama.
"Aku minta maaf," lanjutnya. Sinta tersenyum. Ia merangkul Rama.
"Dengar Rama, kau tidak usah bersedih. Dipecat itu adalah hal yang wajar. Dulu ayahku juga pernah dipecat sama seperti dirimu. Tapi ia tidak pernah mengeluh dan tetap bekerja keras hingga ia bisa memiliki kebun sendiri," jelas Sinta.
"Lagipula kau memiliki aku bukan? aku akan tetap setia padamu meskipun kau hanyalah karyawan biasa, yang penting pekerjaanmu itu halal. Insyaallah Allah akan memberi kita rezeki yang halal," lanjutnya. Rama tersenyum.
"terima kasih sudah mau mengerti dan memberikan ku semangat," ucap Rama. Sinta tersenyum.
Malam hari, Rama duduk di kursi sambil memegangi pipinya. Giginya terasa ngilu.
"Sinta!" panggil Rama. Sinta datang.
"Ada apa?" Rama tidak menjawab ia hanya memegangi pipinya itu.
"Aduh sakit sekali," keluh Rama.
"Kau ini kenapa? Apanya yang sakit?"
"Apa kau buta? Dari tadi gigiku terasa ngilu. Badan ku juga kurang sehat." Sinta menghampiri Rama dan memegangi dahinya. Badan Rama terasa panas.
"Oh ya ampun! Kau demam ya? Gigimu juga sakit. Bagaimana kalau besok kita ke rumah sakit untuk memeriksa dirimu?" kata Sinta.
"Rumah sakit?"
"Iya."
"Tidak, aku mohon jangan bawa aku ke sana."
"Kenapa?"
"Bagaimana jika dokter tersebut menyuntikku?" kata Rama gemetar.
"Kau ini seperti anak kecil saja. Jika kau tidak ke sana lalu bagaimana kau bisa sembuh?" tanya Sinta. Rama menggeleng.
"Aku tidak tahu. Sekarang lebih baik kau buatkan aku obat agar rasa sakitku ini berkurang," pinta Rama.
"Baiklah." Sinta pergi ke dapur untuk membuatkan obat herbal, dan kembali menghampiri Rama.
"Ini silahkan diminum," kata Sinta sambil menaruh gelas di meja.
"Terimakasih, kau memang istriku yang paling cantik," puji Rama.
"Sudah jangan gombal, cepat diminum, atau aku akan membawamu ke dokter." Rama pun meminum air putih tersebut.
"Kok asin rasanya?" Sinta tersenyum kecil.
"Itu karena aku mencampurkan air dengan garam."
"Pantas saja, aku tidak mau minum."
"Kau harus meminumnya, ini tidak manis."
"Ya, aku tahu itu. Tapi aku juga tidak suka pahit."
"Pokoknya kau harus minum. Kau tahukan kalau oralit itu baik untuk kesehatan? Dengar kalau kau tidak minum, maka aku akan--"
"Akan apa?"
"Menyuntikmu!''
"Oh tidak! Baiklah, aku akan meminumnya." Rama lalu meminum oralit tersebut dan Sinta pergi meninggalkannya.
Keesokan paginya, Sinta terbangun dari tidurnya dan membuka gorden. Sinar mentari mulai menerobos lewat jendela dan mengenai wajah Rama dan Sinta. Rama menutup wajahnya dengan tangannya. Sinta melihat Rama dan berkata, "Hai, selamat pagi. Ngomong-ngomong kau kenapa?" Rama menggelengkan kepalanya.
"Tidak apa-apa, tolong tutup lagi gordennya. Cuacanya panas sekali, dan itu mengganggu tidurku," gerutu Rama. Sinta tersenyum menggelengkan kepalanya.
"Sebelum mengeluh, kau harusnya lihat sekarang sudah jam berapa," ujar Sinta sambil menunjuk jam dinding. Rama menoleh dan melihat jam. Ia terkejut saat melihat jam menunjukkan pukul 09.05 WIB.
"Sekarang sudah jam sembilan?'' tanya Rama. Sinta mengangguk.
"Ya."
"Astaga! Kenapa kau tidak bangunkan aku dari tadi? Oh tidak, aku pasti akan terlambat wawancara nanti." Rama beranjak dari ranjangnya dan bergegas untuk mandi.
5 menit kemudian....
Sinta sedang memasak di dapur. Rama datang.
"Kau duduklah, aku akan menyiapkan sarapan."
Rama menggeleng.
"Tidak perlu. Aku harus pergi sekarang. Kau makan saja sendiri, sampai nanti!" ucap Rama lalu pergi meninggalkan Sinta.
"Tapi Rama?" Sinta berusaha mencegah Rama namun sayangnya ia sudah pergi. Sinta hanya diam berdiri sambil tersenyum.
Sementara itu, Rama sedang melamar pekerjaan di berbagai perusahaan namun belum juga diterima.
Rama tetap berjalan, ia tidak putus asa dan berusaha mendapatkan pekerjaan. Sinar matahari membuat Rama merasa gerah. Ia pun duduk sambil mengibas-ibaskan buku untuk menghilangkan rasa gerahnya. Tanpa disengaja, Rama melihat ada sebuah warung dan berniat membeli minuman ringan di sana.
Ketika tiba di warung, Rama melihat ada sebuah tulisan ''DIBUTUHKAN KARYAWAN''. Tanpa berpikir lama, Rama berusaha melamar pekerjaan di warung tersebut, dan akhirnya diterima oleh pemilik warung tersebut.
"Jadi kapan saya mulai berkerja pak?" tanya Rama pada pak Wisnu.
"Kau bisa bekerja besok." Rama tersenyum.
"Terimakasih banyak pak," ucap Rama sambil mengulurkan tangannya.
Pak Wisnu membalas uluran Rama.
"Sama-sama, semoga sukses." Rama tersenyum. Ia lalu pulang. Rama tidak sabar ingin memberitahu Sinta tentang kabar gembira ini.
Sesampainya di rumah, Rama menghampiri Sinta yang sedang memasak.
"Hai, selamat siang," ucap Rama. Sinta tersenyum.
"Selamat siang, ngomong-ngomong kau terlihat bahagia. Ada apa?" tanya Sinta. Rama tersenyum.
"Sinta, apa kau masih ingat tentang aku dipecat bosku, dan kemudian aku berusaha mendapatkan pekerjaan?" Sinta mengangguk.
"Hari ini aku punya kabar gembira. Sinta, berkat doamu, semangat kita, dan kerja keras yang kulakukan, akhirnya aku berhasil mendapatkan pekerjaan di warung makan..." jelas Rama. Sinta tersenyum.
"Alhamdulillah. Semoga Allah SWT selalu memberi kita rizeki yang halal," do'a Sinta. Rama tersenyum.
"Amin, terimakasih." Rama mengecup kening Sinta dan tersenyum begitupula sebaliknya.
Beberapa hari kemudian....
Rama terbangun dari tidurnya. Ia melihat Sinta sedang tertidur nyenyak dan tersenyum. Rama membelai rambut Sinta. Tiba-tiba Sinta membuka matanya dan membuat Rama terkejut, ia melepaskan tangannya.
"Selamat pagi," sapa Rama sambil tersenyum. Sinta hanya diam.
"Ughk-ughk." Rama yang mengetahui Sinta batuk lalu memberikan air hangat untuknya.
"Rama, hari ini aku kurang sehat dan aku juga tidak bisa memasak karena terlalu lemah. Lebih baik kau makan di luar," kata Sinta.
"Kau ini bicara? Kau itu sedang sakit, masa aku harus enak-enakan makan sementara istriku harus menahan rasa sakit?" Sinta terdiam menunduk.
"Sini, biar hari ini aku yang akan memasak untukmu," lanjut Rama.
"Hah?! Memangnya kau bisa memasak?" tanya Sinta pada Rama dengan sedikit ragu. Rama tersenyum menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Tapi juga tidak ada salahnya kan kalau belajar?" jawab Rama. Sinta tersenyum. Rama pun beranjak dari ranjangnya dan pergi ke dapur untuk memasak sup untuk Sinta.
Tidak lama kemudian, ia datang ke kamar sambil membawa semangkuk sup.
"Ini makanlah," ucap Rama sambil menyuapi Sinta. Sinta tersenyum.
"Kau juga juga makan ya."
"Tentu saja." Rama lalu memakan sup tersebut. Tiba-tiba telepon berdering.
"Rama telepon?"
"Kau di sini saja, biar aku yang mengangkatnya," ujar Rama.
"Baiklah." Rama pergi keluar dan mengangkat teleponnya.
"Halo?"
"Halo Rama, ini aku Boy, kakakmu." Rama tersenyum.
"Katakan, ada apa, Kak?"
"Rama aku ingin memberitahu hal penting padamu. Rama kemarin ayah sakit, sudah dua hari ia mencarimu aku mohon pulanglah. Setiap saat ayah hanya menanyakan dirimu, semakin hari sakitnya semakin bertambah kalau kau mau Anya sembuh aku mohon pulanglah ke rumah Rama. Kami semua merindukanmu...." jelas Boy. Rama terdiam tak terasa air matanya mengalir, ia langsung menghapuskannya dan kembali berbicara dengan Boy.
"Kau jangan khawatir kak. Besok aku pasti akan pulang, tentunya bersama tentunya bersama dengan Sinta. namun sekarang aku harus merawat cinta di rumah karena ia juga sedang demam," jawab Rama. Boy tersenyum.
"Tidak masalah, kami akan menunggumu, sampai nanti. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam." Rama menutup teleponnya dan kembali ke kamar.
"Siapa yang menelepon Rama?"
"Kakakku, dia bilang ayah sakit. Jadi kita harus kembali besok," kata Rama. Sinta terdiam menunduk.
"Tapi Rama? Bagaimana jika nanti ayah akan---" tiba-tiba Rama menyela.
"Kau tenang saja. Aku tahu, apa yang ayah lakukan dulu melukai perasaan kita, bahkan hatimu. Namun, meski begitu, kita harus minta maaf padanya. Kalau bukan sekarang, kita pasti akan kembali ke rumah suatu hari nanti," jelas Rama sambil memegang bahu Sinta. Sinta tersenyum.
"Kau memang laki-laki yang bertanggung jawab. Itulah yang membuatku jatuh cinta padamu," ucap Sinta. Rama tersenyum.
Keesokan paginya, Rama dan Sinta kembali ke rumah menggunakan bus. Sinta duduk di samping Rama sambil melihat perumahan dan beberapa toko di balik jendela. Di tengah jalan, mereka terjebak macet.
"Oh tidak, kenapa harus macet sekarang?" keluh Sinta.
"Ada apa? Kelihatannya kau tidak sabar bertemu dengan keluargaku." Sinta tersenyum menggeleng.
"Tidak, aku biasa saja. Sebenarnya aku ingin kita memberikan kejutan untuk mereka..." jelas Sinta. Rama tersenyum.
"Bagaimana jika kita membeli oleh-oleh sebagai hadiah untuk mereka?" usul Sinta.
"Aku setuju."
Rama dan Sinta pergi ke mall dan membeli barang-barang yang menurut mereka sangat indah untuk diberikan kepada keluarga sebagai oleh-oleh.
Sementara itu, Rangga sedang terbaring lemah di ranjangnya. Boy duduk di sampingnya.
"Boy, kapan adikmu akan datang?" tanya Rangga sambil memegang tangan Boy. Boy tersenyum.
"Ayah tenang saja. Rama pasti akan datang hari ini," jawab Boy.
Tiba-tiba ada yang membunyikan bel. Boy pun bergegas membuka pintu dan melihat Rama datang bersama Sinta.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam. Akhirnya kau datang," ucap Boy senang. Rama tersenyum.
"Bagaimana tidak? Ayah sedang sakit dan memintaku untuk pulang, katakan bagaimana aku bisa menolaknya?" Semua tersenyum.
"Syukurlah kau kembali."
Farah memandangi Sinta yang berdiri.
"Hai sayang, kenapa kau hanya diam? Mari masuk," kata Farah. Sinta tersenyum.
"Baik Bu." Sinta menghampiri Rama dan melihat Rangga terbaring lemah.
"Ayah, bagaimana kabarmu? Aku harap kau bisa sembuh seperti dulu, agar kita bisa menghabiskan waktu bersama," do'a Sinta. Rangga tersenyum.
"Terimakasih doanya, Sinta. Ayah minta maaf jika selama ini ayah melukai hatimu " Sinta tersenyum. "Tidak masalah."
"Sudah-sudah, kalau kita terus berbicara, kapan ayah bisa istirahat?" tanya Rama. Semua tertawa mendengar perkataan Rama tadi.
"Baik, sekarang aku akan pergi, ayah istirahat ya." Sinta pergi meninggalkan kamar Rangga. Rama menghampiri Sinta.
"Hei! Apa yang kau lakukan?" tanya Rama.
"Tidak ada," jawab Sinta sambil mengangkat bahunya.
"Aku hanya melakukan apa yang kau katakan," lanjutnya.
"Memangnya apa yang kukatakan?"
"Kau bilang jika aku harus pergi, agar ayah bisa tidur nyenyak," jawab Sinta.
Rama memutar mata malasnya.
"Dengar, Sinta kau adalah menantu ayahku."
"Iya, terus kenapa?"
"Kau seharusnya menjaga alias merawat ayahku agar ia sembuh."
"Hufh, aku sangat lelah hari ini. Aku mau istirahat dulu, Dah!" ucap Sinta lalu pergi meninggalkan Rama.
"Sinta, tunggu!" cegah Rama, namun Sinta tidak menghiraukannya.
Sementara itu, Sinta sedang tersenyum. Ia berniat membuatkan sup untuk Rangga di dapur.
Rama pergi mengambil sesuatu di kamarnya, tanpa disengaja ia melihat Sinta sedang memasak dan tersenyum memandangnya kemudian pergi.
Setelah selesai memasak, Sinta pergi ke kamar Rangga.
"Permisi, ayah tadi aku membuat sup khusus untukmu. Aku mohon makanlah," pinta Sinta. Rangga tersenyum.
"Baiklah sayang, jika kau yang meminta ayah tidak akan menolaknya, lagipula kau membuatnya dengan cinta, aku pasti akan memakannya dengan senang hati," jawab Rangga. Sinta tersenyum.
"Ayah, bagaimana kalau aku yang menyuapimu?" pinta Sinta. Rangga mengangguk dan tersenyum.
"Tentu saja boleh." Sinta tersenyum, ia lalu menyuapi Rangga dengan kasih sayang.
Rama datang dan Rangga memandangnya sambil tersenyum.
"Rama, ternyata kau tidak salah menikahi gadis yang baik seperti Sinta. Ia gadis yang cantik dan baik. Ayah memang salah menilai perasaan kalian. Ayah minta maaf," ucap Rangga. Rama dan Sinta tersenyum.
"Tidak masalah."