Rian memeluk lengan kekar yang sedang berkonsentrasi menyetir itu. Pria yang sesekali menatapnya dengan tatapan lembut serta senyum tipis yang membuat Rian semakin mempererat pelukannya. Ia bahkan sampai menenggelamkan wajahnya untuk menyembunyikan wajah merah miliknya yang pasti akan membuatnya malu setengah mati.
Kevandra Ilham Hardinata, atau biasa di kenal dengan nama Ilham. Awalnya pria itu memperkenalkan diri dengan panggilan Kevan, tapi kawannya yang bernama Tommy itu tak menggubrisnya dan malah memanggilnya dengan nama Ilham. Ada alasan khusus saat Tommy lebih memilih memanggilnya dengan nama itu, wajah yang katanya sedikit memelas serta nampak begitu lugu membuat nama Kevan seperti tak cocok. Ah, tiba-tiba saja Ilham merasa amat bersalah saat mengingat kawan-kawannya. Setiap tahun di hari ulang tahunnya ia selalu menghilang tanpa kabar. Bukan tanpa alasan ia melakukan hal itu, rasa cintanya yang begitu dalam untuk pria di dekapannya melebihi apapun. Ia tak ingin ada seorang pun yang mengganggu waktu spesialnya dengan Rian.
Tubuh Rian yang bersandar di lengannya sedikit membuat ia kesemutan. Tapi melihat wajah nyaman itu membuat Ilham menjadi kembali bersemangat.
"Kau ingin kita kemana?" tanya Ilham sembari menggenggam tangan Rian, satu miliknya fokus untuk menyetir.
"Lurus saja, nanti belok kanan. Apakah kau sudah melupakan daerah ini?" balas Rian balik bertanya, wajahnya terangkat dan menatap wajah Ilham dari samping.
"Ya, terlihat familiar... Tapi aku benar-benar lupa, apa kita pernah kesini?"
"Kau benar-benar tak tau diri, ini adalah jalan menuju ke panti asuhan tempat kau tinggal dulu. Jangan-jangan kau tak pernah mengunjungi tempat itu setelah kita berpisah!"
"Benarkah? Aku merasa begitu bersalah karena begitu saja melupakan asal ku. Sebenarnya mereka melarangku untuk mengunjungi tempat itu lagi. Sudah sangat lama, sampai aku benar-benar melupakan orang-orang baik seperti mereka," jawab Ilham dengan pikiran masa lalu yang seketika melintas. Ia memang anak yang tak diinginkan dan begitu saja dibuang di panti asuhan.
Tinggal dengan anak-anak lain yang bernasib sama seperti dirinya membuat Ilham begitu menginginkan sosok orangtua, meski kalau diingat-ingat rasa perhatian yang sejak dulu ia idamkan tak juga ia temui di keluarga barunya sekarang. Mereka lebih suka mendikte setiap langkah yang harusnya di ambil, Ilham yang mulai dewasa merasa terkekang akan hal itu. Meski akhirnya dengan kerja keras dan jiwa pembangkangnya yang mulai muncul, Ilham kini dapat merintis karirnya sendiri menjadi seorang pengusaha dengan mendirikan cafe yang cukup luas.
Memulai perjalanan saat matahari bahkan belum menunjukkan kegagahannya. Menyusuri jalan dengan jarak tempuh sekitar tiga jam merupakan perjuangan sendiri bagi Ilham. Apalagi Menyetir dengan satu tangan sedangkan beban lain yang menyangga tangan satunya begitu membuatnya pegal. Meski begitu hatinya merasa bahagia, Rian bukan orang yang mudah memberikan sentuhan, tapi sejak kemarin malam ia merasa Rian sedikit berinisiatif walau hanya membelai wajahnya. Entah apa yang sedang terjadi dengan perubahan itu, sempat ia berfikir, apakah itu karena doa yang ia ucapkan rutin sebelum meniup lilin?
Berbaring di ranjang kecil dengan sebelah tangan yang terangkat untuk menutup kedua matanya yang terpejam. Setelah sejenak berbincang dan bernostalgia dengan lingkungan panti itu, ibu Kirana yang merupakan orang baik dan merawatnya dulu menyuruhnya beristirahat sejenak. Wanita yang kini nampak masih terlihat begitu cantik walau beberapa kerutan sudah mulai muncul. Ilham mulai mengingat lagi memori-memori lama itu.
Krieet
Bunyi pintu tua yang dibuka itu membuat ia menjauhkan tangan dari pandangannya. Matanya yang sedikit memburam karena sempat terpejam itu berusaha memfokus. Senyum keibuan kini menjadi objeknya. Tubuh Ilham terbangun dan membalas senyum wanita itu dengan canggung. Mereka sudah lama tak bertemu, ada sebongkah rasa rindu yang masih meluap ingin di salurkan. Di satu sisi pun hatinya malah menyindir keras dan berkata kasar.
Kalau rindu kenapa tak bertemu? Jika dilarang kenapa harus menurut? Setelah sekian lama menyia-nyiakan waktu untuk patuh pada yang memberi makan, kenapa tak bisa sekedar memberi secercah senyum pada yang memberi susu saat keadaannya sedang sekarat?
"Kenapa Ilham yang dulu suka merengek dan mengadu karena tak suka telur dadar itu menghilang? Kenapa kata-kata sampai jumpa lagi itu baru terwujud sekarang? Taukah kau, Kevandra Ilham sudah seperti anak ku sendiri."
Ilham yang sempat merasa bersalah kini tanpa ragu memeluk tubuh yang duduk berhadapan dengannya itu. Air mata seketika turun dan membasahi pipinya. Rambutnya yang diusap penuh dengan rasa keibuan membuatnya semakin mengingat ketidak tau diriannya.
"Maaf bu... Ilham tak mengunjungi ibu sejak lama, Ilham terlalu berkeinginan untuk mempunyai keluarga yang utuh hingga melupakan ibu," jawab Ilham dengan suara parau.
"Tidak apa, Ibu hanya rindu dengan Ilham, itu saja."
Menepuk punggung lebar itu dan melepaskannya perlahan. Ibu Kirana mengusap lelehan air mata yang membasahi pipinya dan mengulas senyum sekali lagi.
"Kau harus beristirahat sekarang. Rian pasti mengerjaimu sepanjang jalan, kan?"
"Hah..."
Ilham belum sempat membalas, keningnya mengkerut memikirkan ucapan ibunya itu.
"Kau juga harusnya istirahat, Rian! Mengerjai putra ku seperti itu kurasa tak adil. Kau bahkan sama sepertinya, meninggalkan keluarga begitu saja. Harusnya kau menerima hukumanmu juga!"
Ilham masih mencerna ucapan ibunya itu, sampai Rian datang dengan cengiran bersalahnya.
"Heheh... Rian masih belum siap, bu! Lagipula orang-orangnya kakek kan banyak, kalau aku muncul sekarang mereka tak akan mempunyai pekerjaan lagi, kasihan kalau mereka harus di pecat," celoteh Rian membuat mereka tertawa, meski begitu Ibu Kirana sedikit merasa gemas hingga mencubit kedua pipi putih itu.
"Ya sudah, tapi marahan dengan kakek mu jangan lama-lama! Ibu keluar sekarang, kalian tidur saja."
"Siap bu," balas Ilham dan Rian serentak.
Setelah Bu Kirana menutup pintu, Rian pun duduk di ranjang lain yang tepat di sebelah ranjang milik Ilham. Di kedua ranjang mereka terdapat nakas kecil yang langsung diseret Ilham ke sisi lain.
"Eh? Apa yang kau lakukan, aii!"
"Disingkirkan, ganggu!" jawab Ilham singkat. Setelah menaruh meja di sudut ruangan, Ilham pun menarik tangan Rian hingga pria yang sedang memperhatikannya itu sedikit terpekik.
"Apa sih, aii!"
"Kau bangunlah dulu! Biar ku satukan kedua ranjangnya."
"Mau aku bantu?"
"Boleh."
Mereka kini mendorong ranjang yang sebelumnya berjauhan itu. Menata seprai nya singkat, mereka langsung melompat ke ranjang dan membaringkan tubuh lelahnya. Waktu masih menunjukkan pukul dua puluh lebih delapan belas menit, harusnya masih terlalu dini untuk terlelap ke alam mimpi.
"Jadi, kau menyandarkan kepala di lengan ku hanya untuk mengerjai saja?"
"Heheh... Aku hanya mewakili kekesalan ibu, kok!" balas Rian hanya dengan tawa tanpa bersalahnya.
"Kau juga sama bersalahnya, kan? Ibu tadi mengatakannya. Jika kau seenaknya saja mewakili ibu untuk menghukum mu, di pihak kakek mu bisa ku wakilkan, kan?" jawab Ilham dengan memiringkan tubuhnya, posisi mereka saling berhadapan saat ini.
"Aww! Aku jadi takut... Kau akan menghukum ku yang seperti apa, aii?"
"Sepertinya permintaan ku terkabul," ucap Ilham tiba-tiba. Rian yang akan menjauhkan tangan di cegah oleh Ilham.
"Memangnya apa?"
"Aku meminta agar kau jauh lebih terbuka lagi denganku, dan kalau bisa lebih lah dekat denganku dari pada pacar New York mu."