Bun, kenapa Jingga harus sekolah disini sih Bun. Kan Jingganya maunya sekolah musik. Bukan sekolah biasa kayak gini". Lagi pertanyaan itu yang di lontarkan Jingga pada bundanya dari beberapa minggu lalu hingga pada hari ini.
"Maksudnya apa Jingga dengan sekolah biasa kayak gini" tanya bundanya balik karna tidak setuju dengan pendapat putrinya yang jutek itu terhadap sekolah yang menurut bundanya ini sangat lah bagus. Bukan cuman menurut bundanya. Tapi sekolah itu memang salah satu sekolah favorit di kota itu.
"Ini sekolah berkualitas loh, satu kota kita ini juga tau ini sekolah berkualitas. Masa ya kamu bilangnya ini sekolah biasa" tambah sang bunda yang malah buat Jingga semakin jutek.
"Tapi kan Bun, Jingga maunya sekolah di tempat yang Jingga suka. Bukannya di sini. Ya kalo Bunda bilangnya ini sekolah berkualitas, Bunda aja lagi yang sekolah. Jingga gak suka sekolah ini" lagi Jingga membantah bahwa dia maunya sekolah di sekolah musik. Bukan sekolah biasa seperti sekolah ini.
Melihat tingkah putrinya yang keras kepala itu, sang bunda hanya bisa bersabar.
"Kamu dikasih yang baik ya harus nurut dong. Orang tua gak pernah membawa anaknya ke jalan yang tidak benar ingat itu. Bunda cuman mau ngasih yang terbaik buat kamu". Nasihat bunda dengan sabar. Yang dinasehati semakin menekuk mukanya dengan datar.
"Yasudah, terserah bunda aja deh" kata Jingga dengan sebal, dan meninggalkan sang bunda di lokasi pendaftaran sendirian. Sang bunda hanya bisa bersabar dengan sifat keras kepala putrinya yang turun entah dari siapa.
Pasalnya dulu sang bunda gak kayak gitu sewaktu muda. Bunda terkenal baik dan penurut sama apa kata orang tua. Karna sang bunda percaya dengan kalimat orang tua tidak akan pernah membawa anaknya ke jalan yang tidak benar.
Dari sang ayah pun tidak mungkin. Karna sang ayah juga dikenal dengan santunnya di tengah keluarga juga masyarakat. Sang ayah selalu nurut sama apa kata orang tua.
Mereka juga heran, kenapa putri cantiknya itu sangat keras kepala. Dan bunda hanya bisa bersabar dengan sifat keras kepala putrinya. Yang entah kapan bisa berubah.
"Untung anak bunda" omel sang bunda dengan pelan, setelah melihat kepergian Jingga yang entah kemana.
"Hai Sar, ya ampun. Jingga jadi daftar sekolah disini" tanya seorang guru yang masih cantik itu. Guru itu ternyata kepala sekolah di sekolah itu, yang mana kepala sekolah tersebut adalah teman Bunda Sari sewaktu menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
"Hai juga Lena, ya jadi dong. Sekolah bagus kayak gini masa Jingga gak saya daftarin disini" jawab bunda dengan senyum berserinya sambil cipika-cipiki ala perempuan .
"Loh bukannya Jingga ngototnya pengen masuk sekolah musik ya waktu itu" tanya sang kepala sekolah memastikan. Karna dari yang dia dengar. Jingga hanya akan bersekolah di sekolah musik. Jika tidak, ya Jingga tidak mau sekolah.
"Pinginnya Jingga seperti itu Len, tapi saya sama Mas Andi maunya Jingga masuk SMA. Bukan sekolah musik gitu. Karna saya takut sama pergaulan anak musik. Kita tau sendiri anak musik seperti apa" kata sang bunda, mengingat betapa kerasnya Jingga ingin sekolah di sekolah musik.
Bu Lena menanggapinya dengan senyum.
"Jadi Jingganya mana" tanya Bu lena karna sedari tadi, dia tidak melihat keberadaan Jingga.
"Jingga ngambek Len, karna permintaannya gak di turuti"
"Oh gitu, yaudah berkas-berkas pendaftarannya kamu bawakan?. Siniin mari, biar aku aja yang bawain dan nyerahin sama bagian pendaftarannya nanti" kata bu Lena. Dan bunda Sari menyerahkan berkas-berkas pendaftaran Jingga.
"Makasih Len, buat kamu jadi repot"
"Akh enggak kok, masa cuman gini aja di bilang repot" elak bu Lena dengan senyum manisnya.
"Eh ngomong-ngomong, putra kamu juga ada kan yang seumuran sama Jingga"
"Oh maksudnya Jonah"
"Iya Jonah"
"Bukan seumuran sih Sar, mungkin diatas Jingga satu atau dua tahunan gitu"
"Dia dimana sekarang, kok aku kalo bertamu kerumah kamu gak pernah keliatan ya, yang ada palingan cuman Sam aku liat"
"Jonah kalo ada tamu langsung masuk kamar Sar, Jonah tidak terlalu suka suasana rame. Apalagi ribut-ribut gitu" jelas Bu Lena
"Oh gitu, berarti orangnya pendiam lah ya Len. Cocoklah sama Jingga yang petakilan" kata Bunda sari sambil tertawa.
Bu Lena juga tertawa menanggapinya.
Lain halnya dengan Jingga saat ini, sedari tadi dia berkeliling melihat keselurahan sekolah ini.
Melihat dari bangunannya sebenarnya Jingga bakalan betah tinggal di sekolah ini.
Sekolahnya sangat luas, dan fasilitasnya juga sangat memadai.
Ketika dia melangkahkan kakinya lebih jauh, Jingga dibuat ternganga melihat ruangan yang ada di depannya saat ini.
"Woahh" serunya dengan lantang.
Sampai-sampai orang yang melihat-lihat sekolah itu dibuat bingung olehnya. Karna penasarn dengan teriakan Jingga. Akhirnya mereka juga melihat ruangan itu dan mereka juga terpana dengan ruangan itu. Tapi tidak seheboh Jingga.
Setelah itu mereka berlalu meninggalkan ruangan itu, dan meninggalkan seorang Jingga di sana masih dengan ekspresi takjub.
Dia melangkahkan kakinya mendekat dan mencoba meraih handle pintu. Dan ternyata di kunci. Berulang kali dia mencoba untuk membukanya. Tapi tidak bisa juga.
Akhirnya Jingga memutuskan menemui bundanya, dia berlari dengan senangnya.
Sampai jaraknya dengan sang bunda kira-kira 5 meter. Dia baru berenti dan menghirup pasukan oksigen sebanyak mungkin.
"BUNDA" toanya dengan sangat kencang.
Yang di teriaki sampai terlonjak dengan kaget, saking terkejutnya dengan suara yang memanggilnya.
Bukan cuman bunda Sari, Bu Lena juga sampai mau terjungkal dibuatnya karna saking terkejutnya.
Setelah rasa terkejutnya mereda, Bunda Sari menoleh kepalanya ke samping kanan. Dan memandangi putrinya dengan raut yang sangat kesal.
Yang dipandangi hanya tertawa dengan bahagianya. Seolah-olah suara toanya tidak masalah bagi bundanya.
"Bunda kenapa Bun" tanya Jingga pada bunda Sari, melihat bundanya yang masih pucat akibat terkejut dengan suaranya itu.
"Kamu tuh ya" omel sang bunda. "Cantik-cantik gini, suaranya memalukan. Ada apa teriak-teriak, bikin bunda sama tante Lena jantungan aja. Kalo bunda sampe mati gimana. Tanggung jawab kamu"
Jingga hanya cengegesan menanggapinya.
"Sapa tante Lena dulu sana"
Jingga melangkah kearah bu Lena, dan menyalim tangannya dengan sopan.
"Tante Lena apa kabar, makin cantik aja" goda Jingga
"Akh kamu bisa aja. Tante kabar baik. Jingga gimana" tanya Bu Lena balik.
"Tadi sih enggak, tapi sekarang udah baik-baik aja" kata jingga menanggapi.
"Eh tapi tante" sambung Jingga. "Sekolah ini beneran punya tante kan" tanya Jingga dengan antusiasnya.
Melihat keantusiasan Jingga, bunda Sari sama Bu Lena penasaran dibuatnya.
"Iya, ini sekolah didirikan keluarganya tante. Kenapa ya" tanya bu Lena penasaran.
"Jadi gini tante..." mengalirlah cerita Jingga mengenai sekolah yang dia lihat sampe rungan yang membuat dia sampai terpana.
"Tapi kan tante, kenapa ruangannya di kunci. Ruangan yang lain enggak" tanya Jingga dengan penasaran.
"Sebenarnya ruangan itu tidak terlalu bebas untuk para murid. Ruangan itu bisanya di masuki kalo udah lulus seleksi" terang bu Lena.
Jingga hanya ber'oh'ria menanggappinya.
"Jadi Jingga harus seleksi dulu gitu tante, baru bisa masuk ke sana. Terus seleksinya bagaimana" lagi tanya Jingga.
"Seleksinya sih lumayan susah, nanti kamu datang aja sewaktu MOS. Nanti di MOS juga akan di jelasin sama ketua osisnya kok. Tapi kalo kamu memang kepingin masuk, nanti tante kasih kamu dispensasi aja. Lagian tanpa di tes pun. Tante yakin kamu bakalan bisa langsung masuk. Siapa sih yang tidak mengenal Jingga" kata Bu Lena dengan senyum manisnya
"Jingga kan emang bidangnya di situ" tambah bunda Sari dengan bangganya.
"Ya sama aja bunda gak ngasih ijin" kata Jingga ketus.
Melihat itu bunda Sari hanya geleng-geleng kepala.
"Yodah ya Len, kita balik dulu. Udah agak siangan soalnya. Mau beli perlengkapan Jingga juga ini" pamit bunda Sari.
"Tante kita pulang dulu ya" pamit Jingga sambil menyalim tangannya kembali.
"Hati-hati Sar" kata bu Lena mengingatkan.
Mereka pun berlalu meninggalkan bu Lena menuju parkiran sekolah itu.