Chereads / 40329 MINUTES / Chapter 7 - Ch.5 : 40329 MINUTES

Chapter 7 - Ch.5 : 40329 MINUTES

Hari ini hari kelima aku berada di kota kelahiran untuk menyelesaikan segala masalahku tapi sampai detik ini pun aku tak tahu cara menyelesaikannya. Serta yang paling membuatku bingung adalah papa harus pergi ke luar negeri karena urusan pekerjaan. Mau tak mau waktuku akan sedikit untuk menyelesaikannya. Aku pun tak tahu papa pergi selama berapa hari, akan lebih baik jika kurang dari satu minggu tapi akan menjadi suatu hal yang buruk jika pergi lebih dari satu minggu.

Belum lagi aku tak punya cara untuk segera menyelesaikannya. Huh. Aku menghembuskan nafas kasar.

Waktu menunjukan pukul setengah lima pagi. Tak biasanya aku bangun sepagi ini. Apa ini karena aku akan kencan dengan Fahmi. Tunggu . Kencan? Rasanya geli sekali aku menyebut hal akan terjadi kali ini adalah kencan.

Beranjak dari kasur meuju kamar mandi membersihkan diri padahal aku dan Fahmi akan bertemu pukul sembilan pagi. Masih ada empat jam lebih untuk menuju jam sembilan. Tak apalah jika aku bau lagi aku bisa membersihkan diri lagi.

Setelah melakukan aktifitas pagiku. Kini aku sedang duduk berdua dengan kak Leo yang sedang bersiap-siap menuju kampus. Lagi-lagi aku menolak ajakannya untuk berjalan-jalan berdua. Tak enak hati sebenarnya ketika melihat obsidian yang berwarna sama denganku kembali meredup. Tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Aku sudah terlanjur mengiyakan ajakan Fahmi.

"Kakak berangkat ya dek" Ucapnya sambil tersenyum, mengacak rambutku pelan kemudian pergi dan menghilang di balik pintu. Aku terdiam setelah kepergiannya kemudian berangkat menuju kamarku karena waktu yang semakin beranjak siang, aku harus segera bersiap-siap menuju rumah pohon.

Kini aku sedang duduk di rumah pohon. Sudah tiga puluh menit sudah aku menunggu Fahmi tapi Fahmi belum menunjukan batang hidungnya.

"Al sini turun" Aku yang awalnya memandangi hamparan awan yang terbentang seluas jagat raya menurunkan pandanganku ke bawah menuju seseorang yang berseru menyuruhku turun. Aku tak membalas seruannnya yang kulakukan hanya menuruti apa yang menjadi keinginannya.

"Jangan cemberut dong Al. Iya deh maaf, aku telat" Aku hanya mengedikan bahu.

"Kenapa lama sih Fahmi" Aku pun membuka suara berterus terang aku kesal dengan kelakuannya.

"Tadi aku ada urusan dulu" Aku hanya menganggukan kepala jujur aku masih sedikit kesal.

"Nih Al" Aku menatap sebatang bunga mawar merah yang Fahmi genggam di tangan kanannya. Kemudian megambil bunga tersebut.

"Jangan cemberut lagi" Aku menganggukan kembali kepalaku tapi sekarang dengan senyum simpul yang terpatri di bibirku.

"Kita ke danau yuk Al" Fahmi meninggalkanku tanpa menunggu respon dari ajakannya. Aku hanya mengikuti langkahnya.

Suasana di danau sangat sepi. Tak ada seorang pun yang melakukan aktivitas di sini.

Fahmi menyodorkan kain berwarna hitam kepadaku. Aku yang tak tahu maksudnya apa tak menerima sodoran itu. Tetapi Fahmi memasangkan kain hitam itu tepat berada di mataku dan mengikat ujung kedua kain tersebut di bagian belakang kepalaku.

"Ikutin aku aja ya Al. Gak usah berusaha melepaskan kainnya" Katanya ketika tahu aku berniat melepaskan ikatan kain itu. Mau tak mau aku hanya pasrah saja denga kemauannya. Fahmi menuntunku menuju suatu tempat.

"Aku buka ya Al. Kamu buka mata kamu di hitungan ketiga" Intruksinya setelah sampai di tempat tujuan.

"Satu"

"Dua"

"Tiga"

Aku mengadarkan pandanganku. Menatap sekeliling. Di sana di tepi danau terdapat ssatu perahu bertulisakan namaku. Tapi bukan hal itu yang membuat perhatianku taralihkan sepenuhnya tapi dermaga yang berada tepat di hadapanku telah di ubah sedemikian rupa meenjadi sangat indah.

Bunga tulip kesukaannya berjajar indah di sepanjang pinggiran dermaga. Lalu di ujung dermaga terdapat sebuah buket bunga besar yang ku tahu pasti bunga mawar.

Fahmi menatapku sambil tersenyum kemudian mengangguk tanda dia mempersilahkan aku untuk maju. Aku melangkah menuju buket bunga itu. Setelah sampai di di tempat tujuan aku mengambil buket bunga yang menarik perhatianku sejak tadi. Aku melihat secarik kertas berbentuk lope kemudian membukanya.

Aku hanya bisa tersenyum melihat tulisan di kertas tersebut.

"Selamat datang kembali tuan puteri Ale" Aku hanya terkekeh melihat kelakuannya yang seperti penjaga istana yang memeperisilahkan tuan puterinya masuk ke istana karena baru datang setelah sekian lama pergi dari kerajaan.

"Makasih" Tanpa sadar aku memeluknya erat. Fahmi terdiam sesaat kemudian membalas pelukanku.

Setelah sepersekian detik aku sadar atas apa yang aku lakukan. Aku meregangkan pelukanku bersama Fahmi kemudian mengalihkan pandangan karena rasanya tiba-tiba pipiku memanas.

"Sini duduk Al" Katanya setelah membiarkanku menelusuri keadaan secara sekilas lewat obisidianku.

Aku hanya menganggukan kepala kemudian duduk tepat di sampingnya. "Sekali lagi makasih" Aku membuka suara memecah keheningan.

"Sama-sama Al"

Keheningan kembali mendera. Angin kencang membuat rambutku yang tak ikat mengapung kemana-mana. Fahmi menyelipkan rambutku kesamping telingaku. Aku hanya terpaku menerima semua itu.

Please jangan kaya gini. Kamu buat aku makin baper.

"Naik perahu yuk Al" Ajakan seperti itu yang membuatku tak akan pernah menolaknya.

Aku bangun dari dudukku tanpa menjawab ajakannya aku melangkah menuju perahu dan menaikinya. Aku melambaikan tangan mengajak Fahmi mendekatiku itu sebagai tanda aku menyetujui ajakannya.

Fahmi terkekeh pelan kemudian mendekatiku.

Fahmi bertugas mendayung di sebelah kiri sedangkan aku betugas mendayung di sebelah kanan.

"Fahmi" Fahmi menoleh kearahku kemudian menaikan alisnya tanda bertanya apa.

"Aku kangen sama semua kenangan masa kecil kita. Rasanya gak nyangka kita sekarang udah segede ini. Dulu kamu sama aku gak pernah terpisahkan, banyak hal-hal yang terjadi di antara kita yang membekas di hati aku"

"Aku suka ketawa sendiri kalo mengingat semua itu." Lanjutku.

"Apalagi kamu yang suka nangis gara-gara aku selalu ngejar kamu yang membuat ice cream kesukaan kamu jatuh" Fahmi tertawa pelan setelah menyelesaikan ucapannya.

"Ishh kamu jangan inget-inget yang itu dong" Aku memberenggut kesal.

"Kamu lucu" Gumam fahmi pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya.

"Apa? Kamu ngomong apa barusan?" tanyaku memastikan.

"Kamu lucu, ekspresi kesel kamu itu lucu buat aku" Tiba-tiba pipiku memanas kembali. Sepertinya aku salah menanyakan hal tersebut, harusnya tadi aku tak usah memastikan gumaman fahmi yang sudah ku tau jawabannya.

"Kadang setelah aku pergi pindah ke Jakarta aku suka rindu dengan semua ekspresi yang kamu keluarin karena aku. Tapi ada yang satu ekspresi yang selalu aku hindari yaitu ekspresi sedih kamu. Karena di saat kamu ngeluarin ekspresi itu karena aku, aku ngerasa sebagian hidup aku hilang karena kesalahan yang ku buat" Aku terenyuh mendengarnya. Boleh-kan aku baper karena ucapan Fahmi barusan.

"Tapi ternyata di saat aku mau ngobatin rindu untuk liat ekspresi kamu, kamu pergi ke Jerman dan aku gak tahu kapan kamu kembali"

"Ini aku udah kembali. Kamu bisa ngobatin rindu kamu sekarang. Kamu mau ekspresi aku yang seperti apa? Kesel? Marah? Nangis ? atau apa?" tanyaku.

Aku membuat ekspresi marah.

Lalu ekspresi kesal.

Kemudian ekspresi nangis yang ku buat-buat.

Fahmi hanya tertawa melihat tingkahku. "Bukan itu Al. Aku mau kamu ngeluarin ekspresi itu karena aku bukan karena keinginan kamu buat ngobatin rasa rindu aku" Fahmi memcubit kedua pipiku dengan tangannya.

Kini aku dan Fahmi sedang berada di rumah pohon. Setelah puas menjelajahi danau menggunakan perahu kami memutuskan kembali ke rumah pohon karena awan yang tiba-tiba mendung.

Tapi awan yang semakin menghitam membuatku dan Fahmi mengurungkan untuk berdiam diri di rumah pohon, kami memutuskan untuk pulang ke rumah saja.

Disaat setengah perjalanan hujan deras mengguyur membasahi bumi. Mau tak mau Fahmi menghentikan laju motornya untuk kita berteduh.

"Kamu dingin ya Al?" tanyanya ketika melihatku menggosok-gosokan kedua telapak tangankku.

"Nggak kok" Aku menjawab pertanyaannya. Fahmi itu adalah satu dari sekian laki-laki di muka bumi ini yang tingkat kepekaanya sangat minim.

Setelah merasa cukup hangat aku menengadahkan tanganku menuju rintikan hujan yang jatuh di hadapanku.

"Kenapa Al?" tanya Fahmi saat tahu aku terus-menerus menatap wajahnya. Tanpa menjawab pertanyaannya aku tersenyum kemudian menarik tangan Fahmi menuju derasnya hujan.

"Kita jangan hujan-hujanan Al nanti kamu sakit" Fahmi membentaku. Mataku berkaca-kaca.

"Sekali ini aja" Jawabku lirih. Fahmi menghela nafas kemudian mengangguk.

"Maaf" Katanya pelan. Aku tersenyum simpul kemudian mengajak fahmi menikmati hujan.

Fahmi megangkatku kemudian memutarkan tubuhku di bawah guyuran huja. Aku tertawa lepas karena itu. Setelah diturunkan kamu mengajak Fahmi untuk bermain kejar-kejaran. Dirasa sudah lelah aku berhenti meluruhkan badan di atas aspal. Fahmi juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba fahmi melihatku dan tertawa tanpa alasan aku yang tak tahu menau akhirnya ikut tertawa juga.

Fahmi mengajakku untuk kembali menuju tempat motorku fahmi tadi di parkirkan karena kami sudah terlalu lama bermain di bawah guyuran hujan. Tanpa persetujuannya aku menerjang Fahmi dari belakang tanda aku memintanya untuk menggendongku menuju motor. Fahmi hanya pasrah saja mengikuti kemauanku.

%%%%%

Aku meneguk teh hangat. Kemudian menyimpan gelas tersebut di sebelah kanan tempatku duduk. Mengeluarkan buku diari berwarn biru. Lalu mengambil bolpoin. Tapi aku hanya menyimpannya saja.

Setelah hujan-hujan bersama aku dan Fahmi memutuskan untuk pulang karena kami sama-sama mengigil.

Aku tersenyum kembali mengingat semua yang terjadi pada hari ini.

Sehagat dekapannya

Menemani kedingingan yang mendera

Setulus senyumnya

Menggetarkan separuh jiwa

Aku bersamanya

Menikmati indahnya bentala

Mengais kebahagiaan yang tak terkira

Bandung, 05 Februari

%%%%%