Setelah sampai di rumah aku menundukan terlebih dahulu tubuhku di ruang tamu sebelum menuju kamar. Sebanarnya aku sangat ingin sekali rebahan di kasur kesayanganku tapi aku harus menahan itu semua karena ingin mengetahui maksud dan tujuan tamu yang tak di undang ini bertandang memaksa ikut ke rumah.
"Kamu istirahat di kamar aja ya sayang." Kata mama mengusap lembut puncak kepalaku.
"Aku gak mau mah, aku pengen disini aja. Di kamar tuh suntuk ma."
"Iya sayang kata mama kamu bener loh, sebaiknya kamu istirahat di kamar aja." Tante Rania menyahuti obrolan kami. Aku hanya memutar bola malas mendengarnya.
"Gak mau ma, aku mau di sini aja" Aku tetap ngotot.
Mama hanya pasrah saja mendengar jawabanku. Lain halnya dengan tiga orang yang sedanng duduk tepat di hadapanku. mereka mendelik sisnis mendengar jawabanku. Firasatku tak pernah meleset, pasti mereka punya tujuan lain bertandang ke rumah ini.
Tak lain dan tak bukan pasti tujuan mereka berhubungan dengan uang. Hal itulah yang membuatku benci terhadap mereka, dan sifat mereka yang terlalu ikut campur dengan segala urusan yang terjadi pada setiap orang penghuni rumah ini. Apalagi saat kejadian delapan tahun yang lalu. Senyum kemenangan hadir di bibir mereka kala melihat kondosi keluarga kami hancur.
"Ma aku mau apel." Rengekku pada mama.Mama menngangguk kemudian mengambil apel yang berada di dapur.
"Manja." Cibir Elina.
"Biarin." Aku memdelik padanya.
Tak lama mama kembali lagi dengan berbagai buah-buahan. Aku menghela nafas padahal aku Cuma meminta apel. Passti buah-buahan tersebut untuk ketiga tamu yang bertandang tanpa di undang ini.
"Mama mau nginep di sini ya Rin, gak lama kok Cuma dua minggu." Itu perkataan oma yang ditujuka pada mama.
"APA?" tentu saja aku kaget, hidupku tak akan pernah tenang jika wanita paruh baya itu menginap di rumah ini. Apalagi ini selama dua minggu. Dua minnggu itu empat belas hari dan sehari dua puluh empat jam. Berarti akan ada tiga ratus tiga puluh enam jam yang akan di lewati wanita paruh baya itu disini.
"Kenapa cucu nenek kok kaget gitu. Nenek-kan di sini mau ngilangin rasa kangen nenek sama cucu nenek yang udah lama banget gak ketemu sama nenek" Aku hanya memutar bola malas mendengar alasan itu. Pasti ada maksud lain dari tujuan menginapnya itu.
"Nggak aku gak mau. Ga boleh ada yang menginap di sini. Aku gak mau ya ma ada orang lain yang menginap di sini. Mau satu hari, dua hari ataupun berapapun, aku gak mau." Nafasku memburu setelah mengutarakan ketidaksetujuanku terhadap oma yang akan menginap di sini.
"Loh kenapa? Kenapa gak boleh sih sayang? kita juga-kan udah lama gak nginep di sini" Aku menghiraukan ucapan tante Rania. Aku mengedarkan pandangan kemudian melihat mama dengan pupy eyes andalanku. Semoga saja ini berhasil.
"Ale sayang gapapa ya nenek nginep di sini. Bener kata tante Rania mereka udah lama gak nginep di sini." Mataku berkaca-kaca mendengar ucapan mama.
Elina dan tante Rania tersenyum miring melihatku.
"Mama jahat." Aku meninggalkan mereka semua kemudian berlari menuju kamarku di lantai atas.
"Ale sayang, dengerin mama dulu." Mama memegang tanganku, menahan supaya aku tetap berada di ruang tamu agar mendengarkan penjelasannya.
"Aku gak mau ma. Aku gak mau mereka ada di rumah ini. Apalagi sampai nginep" Ucapku penuh emosi.
"Tapi kenapa sayang? Kok kamu kayanya gak suka banget sama kehadiran kita?" tanya tante Rania.
"Stop jangan bicara apapun lagi. Kalian Berhenti pura-pura sok baik di depan mama" Aku ternengah-egah karena emosi.
"Kamu apa-apaan sih Alesya, bicara yang sopan dong sama yang lebih tua."
"Diam Elina. Kamu gak usah sok merasa paling benar. Kehadiran kalian ke sini tuh gak ada gunanya tau gak" Aku melangkahkan kembali kakiku menuju lantai atas.
"Kamu kok gitu sih sayang sama tante. Di sini juga ada oma loh, kok kamu ngomongnya gitu."
"Pulang kalian dari rumah ini" Usirku di undakan tangga ke dua dari bawah.
"ALESYA JAGA BICARA KAMU" Mama membentakku.
"Mama bentak Alesya hanya karena mereka. Mama tau gak apa yang udah mereka lakuin sam keluarga kita" Air mata turun mengenai pipiku.
"CUKUP ALESYA, PERGI KE KAMAR SEKARANG."
"Ma, mereka yang udah buat keluarga kita hancur. Mereka yang udah nyabotase mobil papa hingga papa kecelakaan. Mereka juga yang udah buat perusahaan mama sama papa bangkrut. Mama masih mau belain mereka setelah apa yang udah mereka lakuin sama kita" Ucapku berapi-api.
"Jaga bicara kamu Alesya. Tante udah cukup sabar ngadepin tingkah kamu dari tadi. Kamu jangan nuduh tante, nenek sama elina sembarangan dong. Kamu gak punya bukti apa-apakan?" katanya membalikan kembali ucapanku.
Tante Rania menghadap mama. "Kak kita gak ngelakuin itu semua kak. Kakak percaya-kan sama aku. Buat apa kita melakukan semua itu kak, gak akan gunanya juga buat kita" Lanjutnya berderai air mata. Aku yakin itu hanya air mata bualan saja.
"Bohong. Kalian semua bohong, mama jangan percaya ucapan mereka ma. Mereka bohong. Apa yang aku katakan tadi itu kebenarannya ma" Kataku meyakinkan mama kembali.
"CUKUP ALESYA. NENEK KECEWA YAH SAMA KAMU, NENEK SAKIT HATI DI FITNAH SAMA KAMU" Oma menyalahkanku.
"Udah semuanya udah. Alesya pergi ke kamar sekarang, istirahat. Ma, rania,elina maafin ale ya" Itu adalah percakapan terakhir yang ku dengar dari mereka.
Aku menghapus air mataku dengan tisu. Masuk menuju kamar mandi untuk mencuci wajahku dengan air.
Setelah selesai aku menatap wajahku di cermin. Mengapa sesulit itu sih meyakinkan mama. Padahal apa yang ku katakan adalah sebuah kebenaran. Aku beranjak meninnggalkan kamar mandi. Memdudukan tubuh di kersi meja belajar kemudian mengambil buku diary dan bolpoin.
Mengapa sesulit ini tuhan
Bukan ku tak bisa
Bukan ku tak mampu
Tapi aku ingin berteduh
Dari segala keegoisan makhlukmu
Dari keserekahan bentala
Yang tak akan pernah ada habisnya.
Bandung, 06 Februari
Tok tok tok
Kamarku di ketuk. Itu tandanya ada seseorang yang akan mengganggu kegiatanku.
Aku berjalan malas menuju pintu. Kemudian membuka tanpa ada sapaan dariku. Bi Sum yang sedang membawa sebuah kotak berwarna hijau muda itu memandangku ragu karena ekspresiku yang yang tak biasanya.
"Ini ada kiriman non, buat non."
Aku menyerngit bingung. "Dari siapa bi?"
"Dari den Fahmi." Aku mengambil kotak hijau itu dari bi Sum lalu mengucapkan terima kasih padanya.
Aku senderkan badanku pada pinggiran kasur. Kakiku berselonjor bebas di atas karpet bulu.
Lalu membuka kotak kiriman Fahmi.
Isi kotak itu adalah sebuah boneka Spongebob berukulan kecil. Tak lupa di belakang boneka itu tertempel sebuah sticky note.
Semoga cepat sembuh:)
Tiga kata itu mampu membuat keadaanku yang awalnya sedih menjadi tersenyum bahagia. Hal-hal manis seperti inilah yang akan membuatku terbawa perasaan. Sepertinya Fahmi mengetahui aku sakit dari tante Shopia pasalnya mama tadi berbicara di telpon dengan tante Shopia saat di rumah sakit dan tante Shopia juga sempat menanyakan keberadaan mama.
Terima kasih Fahmi.
%%%%%