Aku melirik berulang kali pada jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku sedang menunggu sepupuku yang akan pulang dari New York malam ini.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, hanya ada beberapa orang lain yang mungkin sama sepertiku menunggu kepulangan seseorang.
Sepupuku itu sangat cantik, wajahnya bak blasteran antara bule dan lokal. Anehnya, paman dan bibiku seratus persen lokal. Entahlah mungkin dari eyang buyutku yang juga keturunan bule.
Aku mendesah panjang dikala melihat pesan yang dikirimkan Jasmine, sepupuku hampir satu hari yang lalu. Pesan itu berisikan pesawat akan ditunda penerbangannya karena cuaca yang buruk.
Jasmine juga sudah mengabarinya saat pesawat akan terbang, tapi sudah dua jam aku menunggu dan belum ada tanda-tanda dari pesawat yang mendarat.
Yang aku khawatirkan adalah kedua adikku yang ada di rumah pada tengah malam ini.
Ya, tidak ada orang tua di rumah. Karena kini mereka tinggal diatas langit. Menjaga kami dari atas sana.
Ibuku meninggal saat melahirkan kedua adik kembarku dan ayahku meninggal belum genap satu bulan dalam kecelakaan kerja.
Tentu aku harus kuat untuk kedua adikku, karena aku pengganti ayah sekaligus ibu bagi mereka.
Mereka masih kecil, kembar berusia dua belas tahun. Sedangkan aku berusia dua puluh satu tahun. Masih harus melanjutkan pendidikanku dan bekerja sebagai waiters di sebuah restoran untuk menyambung hidup.
Apakah itu cukup untuk keseharianku? Tentu tidak. Aku juga menjual beberapa produk sulaman buatan tangan. Aku bisa, karena dulu ibuku yang mengajarinya.
Jasmine adalah satu-satunya orang yang mengerti bagaimana menderitanya aku. Dia juga satu-satunya orang yang ada disampingku saat aku kehilangan sosok kedua orang tuaku.
Untuk itulah, sama sepertinya yang menghargaiku aku juga akan demikian. Untuk itulah aku rela menunggu disini sudah hampir dua jam.
Sesekali aku menguap, aku rasa beberapa menit lagi aku sudah tidak bisa menahan kantukku. Sebenarnyaย aku kelelahan, karena setelah selesai bekerja aku langsung menuju kemari, bahkan belum sempat mengisi perut dan makanan dibandara sangatlah mahal untuk ku beli.
Spontan aku membuka mataku lebar-lebar secara paksa ketika mendengar pengumuman pesawat dari New York sudah mendarat.
Tak lama setelah itu aku melihat surai cantik dari sepupuku. Aku berlari menghampirinya. Sungguh, setelah ini aku akan langsung menjatuhkan diri ke kasur.
"Clarisa!" Panggilnya dan aku tersenyum, mengambil alih koper yang diseretnya.
"Bagaimana? Sudah puas menemui pacarmu disana untuk terakhir kali? Sudah hampir sebulan kamu disana kenapa tidak kau genapkan menjadi setahun."
"Oh ayolah Cla, aku tidak enak hati saat meninggalkanmu sendiri, dua hari setelah ayahmu meninggal."
"Tak perlu merasa seperti itu. Aku baik-baik saja sekarang. Lagi pula itu sudah berlalu."
"Baiklah. Aku akan memberimu kabar bagus."
"Apa itu?"
"Kamu akan punya keponakan."
"Maksud kamu?"
"Aku hamil."
"Wow, selamat Jasmine."
"Dan kamu tahu siapa anak dari bayi ini?"
"Tunanganmu?"
Jasmine menggeleng. "Dia Geraldi. Pacarku."
Aku berhenti berjalan, menatap matanya yang berbinar terang.
"Tunggu, bukankah kamu kesana untuk memutuskan pacarmu? Dan menemui tunanganmu?"
"Cla siapapun tidak akan melepaskan Geraldi sang pewaris tampan dari perusahaan tambang terbesar di Indonesia hanya demi tunanganku yang jelek itu."
"Bagaimana kamu tahu kalau dia jelek?"
"Oh, gosipnya sudah banyak menyebar. Leonard sang pemilik perusahaan IT yang masih berkembang. Gosip mengatakan dia tua bangka dengan perut buncit. Memikirkannya saja membuatku merinding geli."
"Lalu bagaimana kamu akan menjelaskan itu semua pada paman dan bibi."
"Tenang saja. Itu akan menjadi masalahku sendiri, kamu tidak perlu pusing."
Benar juga, masalahku sudah terlalu banyak. Malas juga menambahkan beban fikiran dari sepupuku ini.
"Baiklah, karena aku akan jadi seorang ibu maka kamu yang harus memasukan koper ke bagasi. Kamu tahu Cla? Seorang ibu hamil tidak bisa mengangkat suatu yang sangat berat."
"Baiklah tuan putri." Setelah melihat Jasmine masuk pada kursi penumpang dengan aman, aku segera kearah belakang mobil dan memasukan koper itu kedalam bagasi.
Parkiran bandara terlihat lebih sepi dari biasanya. Mungkin karena jadwal penerbagan yang sedikit.
Bugh!
Suara itu datang bersamaan ketika aku menutup bagasi dengan kencang. Tanpa kusadari, tubuhku limbung.
Yang bisa ku lihat sekarang adalah aspal dan ban mobil milik Jasmine. Tubuhku lemas dan aku hanya bisa menggerakkan ujung jari tanganku.
Kepalaku berputar hebat, bahkan hanya untuk memfokuskan penglihatan pada aspal aku mulai kesulitan.
"Kenapa kamu membuat masalah seperti itu?"
"Maaf ma. Aku cuma gak mau pisah dari Gerald ma."
"Sudah, sudah untuk itu Clarisa akan menggantikanmu." Tubuhku ditarik paksa untuk terduduk. Aku terkejut melihat wajah bengis pamanku, ayah dari Jasmine.
"Ingat! Kamu hanya harus menggantikan Jasmine menikah. Jangan sampai identitas aslimu diketahui oleh orang lain. Simpan baik-baik untuk dirimu, kamu adalah Jasmine disana. Kedua adikmu ada di tanganku kalau kamu berani berbuat macam-macam."
Disisa tenagaku aku mengangguk. Air mataku menetes melihat Jasmine yang tega melakukan ini padaku.
Tatapanku beralih pada pamanku yang hendak menyuntikkan sesuatu pada tanganku.
"Paman, tunggu." Pamanku berhenti, menungguku mengatakan sesuatu.
"Tolong jaga adik-adikku sebagai ganti aku melakukan peran sebagai Jasmine."
Bibi mendekat kearahku, menepuk pelan pipiku lalu menyeringai. "Bagus, kamu cepat tanggap juga. Kamu hanya perlu menikahi tua bangka itu dan tunggu sampai paling tidak satu tahun, jika kamu ingin bercerai."
"Kenapa kalian tega sama aku?" Aku terisak, bagaimana aku bisa mempercayakan kedua adikku kepada orang yang tega melakukan ini padaku. Paman beralih mengikat tangan dan kakiku dengan sebuah tali.
"Bagaimana mengatakannya? Anak bibi ini terlalu bodoh dalam bertindak. Jadi bibi harap kamu bisa memperbaikinya."
Paman kembali bersiap untuk menyuntikku lagi. Jika aku tidak salah duga, mungkin cairan itu adalah obat tidur.
"Kamu tidak ingin mengatakan sesuatu pada Cla, Jasmine?"
Aku menatap Jasmine. Jasmine hanya terdiam, wajahnya nampak sangat dingin. Berbeda sekali dengan wajah hangatnya yang selama ini menemaninya dalam keadaan sulit.
"Maaf Cla, aku terpaksa melakukan ini demi anakku, tahun ini Geraldi akan menyelesaikan S2nya dan kembali ke Indonesia untuk menikahiku, jadi tolong gantikan aku. Papa bisa lanjutkan."
Itulah kata-kata terakhir yang aku dengar sebelum benar-benar kehilangan kesadaran dan pandanganku menjadi menggelap.
*
Aku terusik oleh selimut yang kupakai sendiri. Rasanya sangat lembut menggelitik kedua kakiku.
Saat aku mengibaskan kaki untuk menyingkap selimut itu, barulah aku merasa tenang dan bisa melanjutkan tidur.
Tapi tidak lama, tubuhku menggigil hebat karena hawa dingin dari AC.
AC?!
Dengan cepat aku membuka mataku. Melihat seluruh ruangan yang kutempati. Kamar yang sangat mewah, tapi ini membuatku takut.
Dengan sempoyongan aku membuka tirai dari tembok yang sepenuhnya terbuat dari kaca itu. Aku membulatkan mata lebar-lebar saat melihat gedung-gedung tinggilah yang menjadi pemandanganku saat ini.
Aku membuka pintu kaca itu menuju balkon. Angin dingin menerpa kulitku, tapi ku abaikan saat aku melihat sebuah jalan raya yang terlihat seperti sebuah garis lurus dari atas sini.
Gedung-gedung tinggi yang saling berhadapan dengan sejajar, tertata dengan apik. Layar besar bergambar artis dunia terpajang di gedung-gedung itu.
Aku dimana?