Chereads / Hello, Daddy! / Chapter 4 - koleksi boneka namjoon

Chapter 4 - koleksi boneka namjoon

Malam semakin menyelubungi langit. Satu persatu anggota BTS mulai berdatangan. Seokjin dan Jungkook yang datang lebih dulu, baru kemudian dilanjutkan oleh anggota lainnya terkecuali Jimin yang menginap di rumah orang tuanya.

Malam ini giliran Namjoon yang tidur bersama Jiyoon setelah mereka melakukan gunting-batu-kertas tanpa Yoongi. Batu miliknya terbungkus oleh kertas milik Hoseok, sehingga mau tidak mau Namjoon mengangguk menerima kekalahan.

Jiyoon baru saja memasuki kamar Namjoon dan matanya langsung berbinar ketika melihat ruangan pria manis berlesung pipi itu. Ada banyak sekali boneka lucu dengan karakter Brown dan Ryan di sana.

Gadis kecil itu berjalan mendekati kepala ranjang dan menaiki kasur untuk mengambil salah satu boneka. Namjoon yang melihat itu langsung berlari menghampiri Jiyoon dan membantunya agar tidak terjatuh.

"Oppa, kenapa ada banyak boneka? Apa Oppa suka bermain boneka?"

"Tidak. Aku hanya mengoleksinya saja."

"Mengoleksi itu apa?"

Namjoon ternsenyum mendengar pertanyaan polos Jiyoon. "Koleksi itu adalah saat kita mengumpulkan sesuatu yang kita sukai."

"Hm ... apa Jiyoon boleh mengoleksi Oppadeul? Jiyoon menyukai Oppadeul."

Namjoon tertawa pelan. "Kau tidak boleh mengoleksi sesuatu seperti itu. Apalagi mengoleksi pria, Jiyoon-ah. Yang boleh kau koleksi itu hanya barang, kau mengerti?"

Jiyoon hanya mengangguk-angguk paham. "Tapi, Oppa, apa Jiyoon boleh memiliki ini?" Jiyoon bertanya sambil mengangkat boneka dalam pelukannya tinggi-tinggi.

"Kalau kau menyukainya kau boleh memilikinya. Tapi ...."

Mata Jiyoon yang semula berbinar berubah cemas menunggu kelanjutan perkataan Namjoon.

"Kau harus menjaganya dengan baik."

"Baik!" seru Jiyoon senang.

"Kalau begitu ayo kita tidur sekarang."

Jiyoon merengut sambil memeluk boneka barunya. "Tapi Jiyoon tidak bisa tidur."

"Eh? Kenapa begitu? Sekarang 'kan sudah malam."

"Bisakah Oppa bernyanyi untuk Jiyoon?"

Mata Namjoon membulat. Pria itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hm ... bagaimana ya. Sebenarnya aku tidak pandai menyanyi."

"Bagaimana dengan dongeng?"

"Aku juga tidak begitu tahu tentang dongeng."

Jiyoon lagi-lagi merengut sambil memeluk boneka pemberian Namjoon.

"Ah, bagaimana kalau bermain? Aku punya robot. Kau ingin melihatnya?"

Sebenarnya Jiyoon tidak begitu suka tentang hal seperti itu, apalagi robot adalah mainan anak laki-laki, tapi sepertinya bermain sebentar bisa membuatnya kelelahan dan mengantuk. Jadi gadis kecil itu mengangguk dan Namjoon mengeluarkan robot dari laci yang terletak di samping kasurnya.

"Ini dia!" seru Namjoon sambil menunjukkan robot ditangannya pada Jiyoon. "Namanya Optimus Prime. Tangannya bisa bergerak seperti ini danー"

Krek!

Tangan robot itu patah dan Namjoon terdiam menatap potongan tangan robot tersebut yang ada di tangannya. Dia kemudian menghela napas dan menatap Jiyoon yang sama-sama terdiam.

"Mm ... kurasa robotnya sudah rapuh," komentar Namjoon dengan cengiran polosnya. Pria itu kembali memasukkanーmelempar lebih tepatnyaー robot tersebut ke dalam laci. "Apa kau sudah mengantuk sekarang?"

Jiyoon menggeleng.

"Ah, kalau begitu aku akan menyalakan musik saja ya."

Namjoon beranjak menuju pemutar musiknya. Pria itu memilih lagu klasik karena berpikir itu bisa membuat Jiyoon tertidur. Dia kemudian bergabung ke atas kasur bersama gadis kecil itu.

"Nah ... sekarang ayo tidur. Oppa akan menemanimu," ujarnya sambil mengusap-usap kepala Jiyoon dengan lembut. Sementara gadis kecil itu menurut dan mulai memejamkan matanya. Membiarkan rasa kantuk menyeretnya ke dalam mimpi.

.

.

.

Min Yoongi masih berkutat dengan pikirannya di depan layar ponsel yang menyala. Pria itu tengah berpikir tentang menekan tombol panggilan atau tidak.

Nomor gadis itu masih tersimpan rapih dalam ponselnya. Sekalipun Yoongi merasa kecewa dan marah karena telah dikhianati, dia masih menyimpan kenangannya bersama gadis itu baik-baik dan memutuskan untuk menyimpan nomor ponselnya hingga saat ini.

Sekarang dia sedang duduk di bangku yang ada di halaman belakang asrama Bangtan. Ponselnya masih menyala tanpa ada niat untuk melakukan menekan tombol panggil.

Beberapa menit berlalu. Yoongi menghela napas kemudian meyakinkan dirinya sendiri untuk menekan tombol panggilan. Dia harus memastikan sesuatu.

Terdengar nada sambung. Itu artinya nomor ponsel gadis itu masih aktif, namun masih belum ada jawaban. Hingga akhirnya Yoongi mengerutkan kening karena panggilan berakhir tidak tersambung. Dengan tidak sabaran, pria itu kembali menekan tombol panggilan hingga pada panggilan kelima seseorang menjawab panggilannya.

"Halo?"

Yoongi mengerutkan kening. Suaranya terdengar berbeda, tapi dari logat yang digunakan sepertinya berasal dari Daegu. Apa gadis itu yang menjawab panggilannya?

"Kim ... Sori?" tanya Yoongi ragu.

Tidak ada jawaban. Terjadi keheningan selama beberapa detik.

"Halo?"

"Maaf, dengan siapa aku bicara?"

"Aku ... Kim Seokjin, aku teman SMA Sori."

"Benarkah?"

Yoongi meringis tanpa suara. Merasa bersalah atas kebohongannya.

"Maaf, tapi aku bukan Kim Sori. Aku Haeja tetangga Sori. Kebetulan ponselnya aku yang memegang."

"Apa aku boleh tahu di mana Sori berada sekarang? Ada yang ingin aku katakan padanya."

"Dia sudah tidak di sini. Hal apa yang ingin kau sampaikan padanya?"

Yoongi berpikir sejenak. "Begini, SMA kami mengadakan acara reuni. Aku ingin mengundangnya untuk datang bersamaku."

Terdengar jeda lagi selama beberapa detik. Dari seberang sambungan dia bisa mendengar suara seperti bisikan kecil. "Sepertinya kau belum tahu, tapi Kim Sori sebenarnya sudah meninggal beberapa minggu yang lalu."

Seolah nyawanya baru saja dicabut. Jantungnya berdenyut nyeri saat mendengar kalimat tersebut. Pria itu mengepalkan tangan untuk mengurangi rasa sakitnya. Meskipun Yoongi sudah menduga kabar itu benar dari perkataan Jiyoon, tapi tetap saja terasa mengejutkan mendengar seseorang mengonfirmasi fakta tersebut.

"Halo?"

"Ah ... iya. Kalau boleh tahu, di mana dia di makamkan? Aku ingin mengunjunginya."

"Baiklah. Aku akan mengirimkan alamatnya padamu melalui pesan."

"Baik. Terima kasih," sahut Yoongi sebelum menutup panggilan. Suaranya tercekat. Dadanya lagi-lagi berdenyut nyeri dan pria itu mengusap wajahnya. Berusaha menarik dirinya kembali pada kenyataan.

Satu menit kemudian notifikasi pesan masuk di ponselnya berbunyi. Sebuah alamat krematorium di Daegu membuatnya merenung.

.

.

.

Keesokan harinya berjalan seperti biasa. Seokjin memasak dibantu Taehyung yang sebenarnya malah menghambat pekerjaannya. Satu jam kemudian mereka selesai memasak. Seokjin segera mengabsen satu persatu adik-adiknya dengan mata dan tidak menemukan Yoongi di sana.

"Dimana Suga?"

"Mungkin Suga Hyung masih tidur," sahut Jungkook sambil menyendokkan nasi ke dalam mulutnya.

Seokjin menghela napas. Dia kemudian berjalan menuju kamarnya dan Yoongi di lantai atas lalu menemukan teman sekamarnya itu baru saja keluar dari kamar dengan pakaian rapih.

"Kau mau kemana pagi-pagi begini?" tanya Seokjin heran.

"Mm ... aku akan pergi hari ini."

"Kemana? Genius Lab?"

"Tidak. Aku akan ke Daegu."

"Apa? Kenapa tiba-tiba sekali? Kau akan mengunjungi keluargamu?"

Yoongi mengusap tengkuknya sambil mengangguk ragu. "Ya, begitulah."

"Kau tidak sarapan dulu? Yang lain sudah menunggu di meja makan."

"Tidak, Hyung. Aku harus berangkat sekarang juga."

Seokjin mengangguk-angguk paham. "Ya, sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan. Sampaikan salamku untuk orang tuamu ya."

"Iya, Hyung," sahut Yoongi sambil mengangguk kecil. Dia baru saja hendak menuruni tangga ketika Seokjin menahan bahunya.

"Yoongi-ya, aku bukannya menuntutmu untuk sesuatu hal. Tapi bukankah kau harus mengatakan sesuatu soal Jiyoon? Kami semua masih menunggumu untuk bercerita."

Yoongi terdiam mendengar perkataan Seokjin. Sekalipun tingkahnya kadang seperti anak kecil, tapi Seokjin adalah kakak yang dia hormati. Mendengar pria itu bertanya dengan nada keraguan seperti itu membuat Yoongi tiba-tiba merasa telah menjadi adik yang buruk. "Aku tidak tahu apa yang terjadi saat ini, Hyung. Aku akan menceritakannya kalau ini sudah jelas bagiku."

"Kau ragu soal Jiyoon?"

Tidak ada jawaban.

Seokjin menghela napas. "Kau bisa bercerita pada kami nant. Kau tahu, kami akan selalu mendukungmu."

"Aku mengerti. Terima kasih."

Seokjin mengangguk dan membiarkan Yoongi menuruni tangga. Dia kemudian menghela napas. Sulit juga membuat adiknya itu luluh. Sepertinya tes DNA benar-benar harus segera dilaksanakan.

[]