Chereads / Hello, Daddy! / Chapter 6 - penyesalan seorang ayah

Chapter 6 - penyesalan seorang ayah

'Ini aku, Yoongi-ya.

Apa kau sudah bertemu Jiyoon? Dia anak yang pintar, kan?

Jiyoon sangat mirip denganmu. Aku selalu teringat dirimu setiap kali melihat Jiyoon.

Tapi sesungguhnya yang ingin ku katakan adalah maafkan aku karena membuatmu membenciku. Aku tidak pernah bermaksud untuk meninggalkanmu.

Kau bilang debut adalah hal yang paling kau inginkan. Kau selalu mengeluh setiap kali harus latihan menari padaku.

Aku senang akan hal itu. Menjadi satu-satunya orang bagimu untuk berkeluh kesah.

Kemudian kau datang padaku dan bilang akan segera debut dengan wajah penuh kebahagiaan. Hal yang sangat jarang kutemukan dalam dirimu.

Lalu bagaimana aku bisa menghancurkan kebahagiaan itu darimu?

Saat ini Jiyoon sudah besar. Dia mulai bertanya tentang dirimu. Dan kukatakan padanya bahwa ayahnya adalah pria yang baik.

Sekarang aku tidak bisa menjaganya lagi. Sekali lagi maaf karena harus membuatmu kembali mengingatku. Tapi saat ini hanya kau satu-satunya yang bisa kupercayai. Karena Jiyoon adalah darah dagingmu.

Bisakah kau menjaganya untukku, Yoongi-ya? Menyayangi Jiyoon dan membesarkannya dengan kasih sayang penuh.

Kim Sori'

Min Yoongi melipat kembali surat yang ada di tangannya dan beralih menatap potret seorang bayi perempuan yang terlihat masih merah. Di baliknya tertulis Min Jiyoon, 7 Januari 2014. Dia kemudian beralih pada foto selanjutnya, ada Jiyoon yang tengah berada di gendongan gadis itu. Tertulis tanggal 1 November 2014. Dan foto ketiga adalah foto Jiyoon yang mengenakan gaun cantik berwarna putih sambil berurai air mata. Tidak ada tanggal di baliknya. Sepertinya foto itu diambil tidak lama ini. Terlihat dari rambut Jiyoon yang cukup panjang.

Yoongi tertawa hambar menatap kembali satu persatu foto tersebut. Matanya tiba-tiba saja memanas. Pria itu kemudian mendongakkan kepalanya guna mencegah cairan itu tidak terjatuh.

Apa takdir telah mempermainkannya selama ini?

.

.

.

Malam telah menyambut ketika Yoongi tiba di asrama. Kegelapan menyapa saat pintu terbuka. Ini pukul satu malam. Para anggota lainnya mungkin sudah tidur.

Pria itu berjalan dengan langkah sempoyongan. Tatapan matanya yang semula dingin kini terlihat kosong. Dia kemudian berjalan menuju dapur. Membuka lemari es dan menemukan sebotol sampanye yang sepertinya sudah dibuka sebelumnya.

Min Yoongi duduk di kursi dan menuangkan banyak cairan berwarna kekuningan itu ke dalam gelas tinggi. Dia kemudian meminumnya hingga gelas ketiga dan sampanye di dalam botol tersbut hampir habis.

"Yoongi-ya, apa yang kau lakukan di sini?" suara Seokjin terdengar diiringi langkah kakinya. Pria berbahu lebar itu menyalakan lampu ketika tiba di dapur dan langsung membulatkan mata melihat keadaan teman sekamarnya yang terlihat kacau. "Hey, kau minum?"

Seokjin mengangkat botol sampanye yang terasa ringan dan merebut gelas dari tangan Yoongi. "Kau gila ya? Berhenti minum!"

Pria berbibir tebal itu mendengus kesal dan menjauhkan botol alkohol itu dari jangkaun Yoongi. Tidak heran kalau Seokjin sekhawatir itu. Min Yoongi pernah mengalami apendisitis hingga harus melakukan operasi. Meskipun itu sudah beberapa tahun yang lalu, tapi dia tetap saja merasa khawatir. Apalagi Yoongi selama ini sebisa mungkin menghindari alkohol demi kesehatannya. Tapi sekarang pria itu malah mengonsumsinya begitu banyak.

"Katakan padaku."

Bukan sebuah pertanyaan yang dilontarkan, melainkan sebuah kalimat penuh penekanan. Memang sudah seharusnya dia menceritakan masalahnya pada mereka. Keluarganya.

"Hyung." Yoongi mendongak dengan mata sayu kemudian menarik napas sebelum melanjutkan, "Aku ... sepertinya sudah salah selama ini."

Seokjin terdiam sambil mendengarkan.

"Ada seseorang ... yang sangat aku cintai. Hubungan kami berjalan cukup lama meskipun aku tidak memperlakukannya dengan baik. Maksudku ... aku bukan pria yang bisa memanjakan kekasihnya seperti yang lain. Aku hanya pria kaku dan mudah marah."

"Bahkan disaat kami terpaksa untuk jarang bertemu, dia masih bertahan dan tetap bersamaku. Sekalipun aku sering mengeluh padanya. Bukankah aku sangat egois?"

"Dia memberikan segalanya untukku. Untuk pria brengsek sepertiku." Tawa hambar lagi-lagi terdengar dari mulut manis Min Yoongi. Air mata menetes begitu saja. "Tapi bukankah sudah sewajarnya jika aku marah karena dia pergi dengan pria lain?!"

"Apa kau melihatnya?"

"Apa?"

Seokjin menghela napas. "Apa kau melihatnya bersama pria lain?"

Pertanyaan itu membuat Yoongi terdiam. Seperti baru saja disiram oleh air dingin. Hal itu membuatnya tersadar.

Sori bilang ingin putus dengannya. Dia hanya bilang bosan dengannya. Dan kemudian Yoongi menyimpulkan bahwa itu karena ada pria lain di hidup gadis itu.

Yoongi menundukkan kepalanya. Mengerjap bingung layaknya anak itik yang kehilangan sang induk.

Dia telah salah selama ini. Membiarkan kemarahan menyelubungi hingga penyesalan tiada akhir kini menghantamnya.

Saat itu harusnya dia mencegah gadis itu pergi. Saat itu harusnya dia menahan gadis itu. Saat itu harusnya dia ... mempercayai gadis itu.

"Kau harus meminta maaf padanya."

Pria itu menggeleng dan tersenyum miris setelahnya. "Bagaimana caranya? Aku bahkan tidak akan pernah bisa bertemu dengannya lagi keculi jika aku mati. Sekarang aku akan selamanya terjebak oleh penyesalanku sendiri."

"Tidak ada yang tidak bisa di dunia ini," ujar Seokjin dengan tatapan tajam. Sorot mata jenaka yang sering dia tunjukan kini hilang entah kemana tergantikan dengan sorot mata yang begitu meyakinkan. "Lakukan yang seharusnya kau lakukan. Dimulai dari Jiyoon."

Yoongi mendongak. Menatap Seokjin ragu. "Aku takut, Hyung."

"Apa yang kau takutkan?"

"Aku takut tidak bisa menjadi ayah yang baik untuknya. Aku takut mengecewakan keluargaku. Aku takut menyusahkan kalian. Dan aku takut kehilangan kalian semua."

Seokjin menghela napas. Dia kemudian menepuk pundak adiknya untuk menguatkan. "Sudah sewajarnya kami kecewa, tapi pada akhirnya kami hanya harus merelakannya. Kita ini saudara. Saudara tidak akan pernah meninggalkan saudaranya yang lain. Kami pasti akan membantumu sebisa mungkin, Yoongi-ya. Kau hanya harus meyakinkan dirimu."

"Terima kasih, Hyung."

Yoongi kembali menundukkan kepalanya dan menangis dalam diam. Sementara Seokjin hanya mengangguk dan menepuk-nepuk pundak pria itu seperti seorang kakak.

"Mulai sekarang kau harus menceritakan setiap masalahmu pada kami. Jangan hanya memendamnya sendirian. Tidak harus pada semuanya, tapi kau bisa bercerita pada salah satu dari kami. Kau mengerti?"

Yoongi hanya mengangguk sambil terisak pelan.

"Ya, ampun. Semua ARMY pasti akan sangat senang jika melihat momen ini. Sangat langka melihatmu menangis seperti anak kecil. Ck! Ck!"

"Ah, ini sangat menjijikan!" Yoongi bergumam sambil menyedot ingusnya.

"Jiyoon sedang tidur di kamarku. Kau bisa mengobrol dengannya besok pagi."

"Baik."

"Aku akan membantu menjelaskan hal ini pada yang lain. Apa tidak apa-apa?"

Yoongi mengangguk sebagai jawaban. "Tapi, Hyung. Bagaimana kalau masalah ini sampai bocor ke media? Akan menjadi masalah besar bagi kita. ARMY ... mereka pasti akan sangat kecewa padaku."

"Bukankah sudah kukatakan bahwa wajar jika merasa kecewa. Tapi kalau media sampai tahu masalah ini, hanya ARMY yang mendukung kita dengan tulus yang akan benar-benar tetap bersama kita. Dan untuk sekarang, biarkan seperti ini dulu. Jangan pikirkan hal lain. Cukup pikirkan Jiyoon dulu. Jangan sampai staf Big Hit apalagi media tahu. Aku sudah mengatakan ini pada yang lainnya. Kita harus menjaga Jiyoon bersama-sama mulai sekarang."

Yoongi mengangguk patuh.

"Dan berhentilah bersikap dingin pada Jiyoon. Gadis kecil itu takut padamu. Ayah macam apa kau ini!"

Yoongi menunduk sambil mengangguk patuh sekali lagi.

Dia harus berbicara dengan Jiyoon. Mulai besok, dia tidak boleh kehilangan momen lainnya bersama gadis kecil itu. Putrinya.

[]