Malam itu pestanya begitu kacau setelah putri dari Leandro dan Evany menghilang. Suasana di rumah itu sedikit menjadi kacau karena sesuatu yang benar-benar Zoe lakukan. Evany begitu mencemaskan sang putri, sedangkan Leandro begitu merasa geram dan kesal dengan sikap berani sang putri.Di sisi lain, Hazi dan Shoni mendapatkan kabar soal Roki yang telah berhianat pada Haziel.
Drrtttt,
Ponsel Shoni bergetar, terlihat satu nama di layarnya. Shoni mengangkat telpon tersebut dan mendengarkan apa yang di sampaikan anak buahnya.
"Bagus, aku akan segera ke sana. Kau jaga dia dan jangan sampai dia lolos!" perintah Shoni dengan nada dingin.
Hazi hanya melihat sekilas wajah Shoni lalu kembali memainkan ponselnya, Shoni dengan cepat menyalakan mesin mobil dan memawanya dengan kecepatan penuh.
"Ada apa?" tanya Hazi tanpa melihat Shoni.
"Hari ini, kau bisa melampiaskan segala kemarahamu dan aku ingin sekali melemaskan semua otot tubuhku yang kaku," jawab Shoni.
Hazi menatap tajam Shoni dan terlihat kemarahan di wajahnya, Shoni hanya melihat sekilas dan kembali fokus ke jalanan.
"Dimana, bajingan itu?" tanya Hazi.
"Kita akan bertemu dengannya sebentar lagi, kau tenanglah sedikit!" seru Shoni.
Mobil sport itu terus melaju dengan cepat, sekita setengah jam kemudian mobil itu memasuki sebuah rumah besar tapi terlihat kosong dan tua. Hazi yang melihat itu hanya bisa diam karena lelaki itu memiliki trauma dengan rumah kosong.
"Kita sudah sampai, ayo turun!" ajak Shoni.
"Mereka ada di dalam, rumah ini terlihat tua dari luar. Tapi kau akan tahu seperti apa di dalamnya," sambung Shoni meyakinkan Hazi.
Hazi hanya menelan ludahnya dan mencoba memberanikan diri untuk mendekati rumah tersebut, Shoni yang melihat itu pun menarik tangan Hazi tuk masuk.
KRIIEETTT,
Shoni membuka pintu rumah tersebut dan melihatkan beberapa anak buahnya yang tengah berjaga. Shoni terus berjalan lebih dalam masuk rumah itu. Hazi tidak percaya jika rumah itu telah di sulap menjadi rumah antik di dalamnya, Shoni menyenggol lengan Hazi tuk melihat ke arah kamar.
"Akhirnya aku menemukanmu, Roki." Tatapan Haziel benar-benar sangat tajam dan siapa saja yang melihat itu akan merasa takut.
"Tu-Tuan, maa-maaf saya! Ampuni saya, Tuan!" pinta Roki yang seraya merangkak ke arah Hazi.
Shoni yang melihat itu hanya tersenyum puas akan pekerjaan anak buahnya yang telah membuat Roki babak belur dan bisa menangkapnya.
"Jangan dekati aku! Tempatmu mulai sekarang adalah di penjara, laporkan dia! Dan katakan pada keluarganya jika Roki di pindah tugaskan di luar negeri selama beberapa tahun," ucap Hazi seraya menatap Roki lalu menatap Shoni untuk mengurusnya.
"Beruntunglah kau, karena keluargamu masih akan tetap menerima gajimu setiap bulannya," ucap Shoni menatap Roki dengan tatapan merendahkan.
Roki menatap ke arah Hazi yang tidak mau sama sekali menatapnya. Roki merasa sangat menyesal karena telah berkhianat pada Hazi yang sangat baik di balik sikap dingin, acuh dan sangarnya.
"Tuan Hazi, aku mohon maaf aku!" seru Roki seraya merangkak kembali mencoba mendekati Hazi. Namun Hazi memilih keluar dari rumah itu dan langsung pergi begitu saja tanpa mengajak Shoni.
Haziel terus mengemudikan mobilnya dengan sangat cepat, mobil sport itu melesat jauh meninggalkan rumah tua tersebut. Hazi sangat membenci orang yang menghianatinya, dengan rahang yang mengeras Hazi kembali teringat akan seperti apa dirinya dulu. Di khianati oleh kedua orang tuanya sendiri, di khianati oleh mantan kekasihnya dan itu membuat Hazi sangat muak.
"Sial, jika saja aku tidak mengetahui jika istrinya sedang hamil sudah aku bunuh lelaki itu," umpat Hazi dengan memukul stir mobil dengan sangat keras.
Ya, Hazi biasanya menghukum orang yang menghianatinya tanpa ampun. Namun untuk sekarang, kasusnya berbeda karena Hazi mengetahui jika istri dari Roki sedang hamil besar dan Hazi tidak mau menjadi seorang pembunuh dari ayah anak yang belum lahir tersebut.
Hazi sampai di depan rumahnya, keluar dari mobilnya dan membiarkan mobil itu begitu saja. Pelayan yang melihat sang majikan sudah pulang pun bergegas mengikutinya.
"Taun, Anda sudah pulang?" tanya Risda seorang ketua maid yang sejak kecil mengurus Hazi.
"Bi, tolong siapkan air untuk mandi dan jangan ada yang menganggu saya!" pinta Hazi berlalu ke kamarnya.
Risda hanya mengangguk dan segera melakukan tugasnya. Hazi tidak membolehkan para maid masuk ke dalam kamarnya kecuali Risda yang memang sudah seperti ibu baginya. Terlihat Hazi sudah bersiap berendam karena lelaki itu hanya memakai handuk kecil yang melilit bagian bawahnya saja.
"Airnya sudah siap, Tuan sudah bisa berendam. Apa ada yang Tuan butuhkan lagi?" tanya Risda.
"Tidak ada. Yang aku butuhkan sudah kau siapkan semuanya, Terima kasih!" seru Hazi pada Risda lalu masuk ke dalam toilet.
Risda yang melihat itu hanya terus menghela napas panjang, membereskan pakaian yang Hazi pakai. Menyiapkan baju untuk ganti, setelah keluar dan kembali masuk dengan membawa sebuah buah.
"Tuan, buahmu ada di atas meja, saya akan pamit keluar!" seru Risda dari balik pintu.
"Baiklah."
Hari ini jadi hari yang panjang untuk Hazi, tapi maslah perusahaannay sudah terselesaikan. Hazi akan berubah menjadi sosok yang hangat jika berada di rumah dan itu berlaku hanya untuk Risda saja, wanita tua yang bisa di katakan ibu asuhnya.
Malam harinya seperti biasanya, lelaki itu menyibukkan dirinya di sebuah ruang baca. Risda menghampirinya karena mengingat sang Tuan belum juga makan setelah berendam.
"Ada apa?" tanya Hazi tanpa menatap Risda yang berdiri di sebelahnya.
"Aku membawakan makanan. Anda belum makan sejak tadi, ini sudah petang!" jawab Risda meletakkan nampan berisi makanan di atas meja.
Hazi yang sedang melihat ponsel pintarnya pun menengok ke arah Risda, dengan napas panjang akhirnya Tuan muda itu mau menyentuh makanannya dan membuat Risda tersenyum tipis.
"Tersenyum lebarlah, Bi! Kau puas sekarang, aku akan memakan abis makanannya," ucap Hazi.
"Terima kasih, Tuan!" seru Risda tersenyum.
Risda masih tetap di sana menemani Hazi, namun dengan posisi duduk di depan Tuannya. Tidak ada percakapan apa pun antara mereka, Risda hanya menatap makanan di dalam piring yang sedang di makan oleh Hazi. Sedangkan sang Tuan muda menatap wajah sang pengasuhnya yang sudah tua itu.
"Aku sudah selesai," ucap Hazi sembari meletakkan garpu dan pisau di atas meja.
Risda dengan sigap berdiri dan langsung membereskan piring tersebut. Setelah itu berniat keluar dari ruang buku , namun di hentikan oleh Hazi.
"Temani aku sebentar saja!" pinta Hazi menatap Risda.
Risda yang sudah berdiri membelakangi Hazi pun kembali membalikkan tubuhnya dan menatap Hazi dengan tatapan penasaran. Hazi yang mendapatkan tatapan itu hanya tersenyum tipis.
"Tidak ada apa pun, aku hanya ingin berbicara sesuatu padamu," ucap Hazi.
"Baiklah, saya akan kembali. Setelah memberikan ini pada maid di luar," balas Risda beranjak keluar ruangan.
Risda kembali duduk di depan Hazi, terlihat sang Tuan sedang melamun dengan tatapan kesedihan di matanya. Risda hanya bisa melihatnya dengan iba, seorang putra dari Tuan besarnya yang telah di telantarkan dan hanya mendapatkan kasih sayang dari kakeknya dan dirinya yang seorang pelayan.
"Tuan, ada apa?" tanya Risda.
"Bi, katakan padaku, apa yang sedang kau cari?" tanya Hazi menatap Risda.
"Apa yang Anda maksudkan,Tuan?" Risda kembali bertanya pada Hazi.
"Bi!! Jangan bercanda denganku!" seru Hazi degan kesal.
Risda hanya menghela napas panjangnya dan mengangguk paham apa yang di tanyakan oleh sang Tuannya. Risda menatap tajam pada Hazi yang membuat Hazi merasa terpojok oleh ibu asuhnya.
"Hey, jangan menatapku seperti itu! Kau sudah sangat tua dan aku sudah dewasa. Bukan anak sepuluh tahun yang akan takut dengan tatapanmu lagi!" seru Hazi kesal dengan memalingkan wajahnya.
"Tuan, aku ingin bertanya padamu. Sekarang ini, kau ingin berbicara dengan ketua maid atau pengasuhmu?" tanya Risda dengan nada rendah.
Hazi menatapnya dengan serius, terlihat tatapan Risda pun menjadi serius. Hazi membenarkan duduknya dan langsung bersikap formal pada Risda.
"Ehem, jangan salah paham dengan sikapku tadi. Aku hanya ingin bertanya padamu saja," ucap Hazi singkat.
"Apa yang ingin kau tanyakan, Tuan muda?" tanya Risda.
"Kenapa kau mengirimkan foto-fotoku pada perusahaan besar di kota ini? Siapa yang memerintahkanmu, huh?" tanya Hazi sanagt kesal.
"Maafkan saya Tuan muda. Semua itu saya lakukan untuk kebaikan Anda," jawab Risda.
"Apa ini karena kakek, apa kau masih melaporkan segala sesuatunya pada kakek?" tanya Hazi tidak percaya.
"Tuan, jangan salahkan Tuan Fernando. Beliau hanya ingin melihat cucunya mendapatkan istri dengan segera mungkin," jawab Risda.
"Istri, jangan bercanda denganku! Semua wanita di dunia ini sama saja, aku muak dengan mereka semua!" seru Hazi sangat kesal.
Risda menatap Hazi karena ucapannya, Hazi yang seketika sadar pun menatap Risda yang melihatnya dengan tatapan tidak suka.
"Kecuali kau!" ucap Hazi singkat.
"Tuan, apa kau tidak merasa kasihan dengan orang tua ini? Tubuhku sudah tidak sekuat dulu, aku sering kali membuatmu menunggu karena aku sudah semakin lamban," ucap Risda dengan sangt sedih.
"Kenapa kau berbicara seperti itu padaku, huh? Apa kau juga mau meninggalkan aku seperti mereka?" tanya Hazi marah.
"Ziel, dengarkan aku Nak!" pinta Risda yang beranjak duduk di sebelah Hazi yang memang kursi panjang.
Hazi hanya bisa diem dengan memalingkan wajahnya, Risda begitu menyesal mengatakan itu dan pastinya membuat Haziel terluka.
"Baiklah, baiklah, maafkan aku!" pinta Risda menyentuh tangan Hazi.
"Aku tidak pernah memarahimu, aku tidak penah mengeluhkan pekerjaanmu sejak dulu sampai sekarang. Aku hanya ingin kau tetap bersamaku, tidak ada orang lain yang bisa ku percaya," ucap Hazi dengan nada datar.
"Aku hanya ingin melihatmu bahagia dengan sosok wanita yang bisa menerimamu dan mengerti akan dirimu. Usiaku semakin bertambah tua, aku dan kakekmu itu tidak ingin kau kesepian dan menderita. Jika suatu saat kami pergi," balas Risda dengan lirih.
Hazi menatap Risda dan memeluknya dengan erat, Risda hanya bisa mengusap pelan punggung anak asuhnya itu. Teringat saat itu Hazi kecil yang memeluknya dengan tubuh yang mungil, terisak semalaman karena kehilangan orang tuanya. Kini, anak itu sudah tumbuh dewasa bahkan Hazi menjadi seorang lelaki yang tampan, cerdas, memiliki apa pun yang dia inginkan. Hanya saja, masa lalunya membuat seorang Hazi menjadi manusia dingin dan terlihat tanpa kasih sayang.
"Aku harap, ada seorang gadis yang datang padamu bagaikan sinar mentari yang selalu menghangatkanmu, memberikan sinar di saat dalam kegelapan," batin Risda.
"Aku tidak butuh itu. Yang ku inginkan hanya kau ada di sisiku, maaf sudah membuatmu terus terbelenggu olehku dan menghabiskan seluruh sisa hidupmu denganku," balas Hazi sangat lirih.
"Kau sudah membuat anakku sukses dan mendapatkan kehidupan yang sangat layak. Itu sudah cukup untukku, kau juga anakku, kau juga putraku Ziel," ucap Risda mengusap lembut rambut Hazi.
"Terima kasih, Ibu. Aku harap semua yang kau ucapkan akan datang dengan sangat lama, agar kau tetap bisa bersamaku," balas Hazi.
"Dasar, kau anak nakal! Kau ingin melihat orang tua ini mati kelelahan, karena harus terus mengurus bayi tua sepertimu?" tanya Risda tersenyum seraya melepaskan pelukannya.
Hazi hanya tersenyum lalu mencium telapak tangan Risda. Sebelum pergi, Risda mengusap wajah Hazi lalu mencium kening Hazi.
"Berbahagialah, Nak!" pinta Risda.