Ginnan pun meraih wajah Renji.
Pipi itu tirus, agak menonjol di bagian atas dengan rahang yang keras. Meraba ke bawah, Ginnan tersernyum senang merasakan tonjolan lain di bagian leher. Apalagi aroma disana sangat khas. Meski agak tertutup turtleneck hitam, tetap saja membuatnya penasaran. Apa bagian itu sangat hangat? Ginnan pun mendekat dan mengendus disana layaknya kucing kelaparan.
Hirup sana, hirup sini sebelum yakin akan menggigitnya.
"Bodoh..."
DEG
Ginnan langsung terbelalak kala Renji mendorong bahunya. Seketika dia bersandar ke kursi, berkedip-kedip panik sebelum menyadari segalanya. "Ahhh! Aku! Aku tak sengaja! Sumpah!" belanya gugup. Dia baru benar-benar bangun seolah baru dibanting dengan keras.
Renji mengunci pergelangan tangannya sampai menempel punggung kursi. "Benarkah?"
Suara Ginnan meninggi, "Iya! Tentu saja! Kenapa juga aku bohong? Tidak ada untungnya asal kau tahu!"
Pluk!
Ginnan masih tegang saat Renji sudah beralih dari wajahnya. Pria itu melirik ke bawah. Sebuah paspor warna hijau terjatuh di lantai pesawat. Bukan miliknya. Renji tetap menunduk dan meraih benda itu.
"Itu kan punyaku—"
"Tahu."
Renji membuka benda itu. Foto Ginnan disana sekitar umur 20. Mukanya bocah. Dengan kedua pipi bulat dan rambut belum semiran abu, senyumnya begitu tampak tulus. Renji mungkin bisa tersenyum melihat jepretan usang itu... sampai fokus ke bekas luka besar di rahangnya.
Teringat, Ginnan refleks berusaha merebut tapi Renji sigap menjauhkan.
"Berikan!"
"..."
"Kubilang berikan!" bentak Ginnan dengan alis berkerut kali ini. Matanya menonjol nyaris akan keluar. Dia nyaris meninju wajah Renji jika tak pria itu tak mengangkat dagunya lebih dulu. "Hei kau..."
"Kau berubah dari waktu itu," kata Renji. "Kenapa?"
Remasan Ginnan di bahu Renji berubah jadi cakaran dalam. "Itu bukan urusanmu."
"Kelahiranmu di Canada. Yakin tak pernah ingin tahu orangtuamu?"
Mata Ginnan berkilat. "Tidak samasekali."
"Menyedihkan."
DEG
"Kalau kubilang tidak ya tidak!" bentak Ginnan lagi. Dia dorong Renji hingga lepas dan segera mengelus dagunya pelan. Wajahnya melengos ke sisi lain saat menjelaskan secuil hal. "Rumah yang kuingat hanya panti asuhan Himawari. Keluarga, teman, dan orang yang berharga untukku hanya Yuki dan Bunda. Aku tak peduli lahir di mana, siapa orangtuaku, atau banyak hal lainnya. Mereka membuangku. Jadi semua hanyalah orang brengsek."
"..."
Ginnan menoleh ke Renji dan menatapnya lurus-lurus. "Pembahasan tentangku sampai disini," katanya tegas. "Mengerti, Tuan Besar?"
"Lalu kenapa dengan rahangmu?"
Ginnan mengepalkan tangan diam-diam. Dia tahu Renji lebih brengsek dari bayangannya. Jadi dia harusnya tahu pria itu takkan mendengarkan.
"Kalau kuberitahu semuanya... lalu apa?" tanya Ginnan jengkel. "Kau mau bilang cuma sedang bosan lagi? Itu privasi, Bodoh. Kau tak pernah diajari tatakrama ya?"
"Kau operasi. Dan foto itu diambil tepat setelah kejadiannya," kata Renji. "Jadi kau pindah-pindah negara sepertiku sebelum akhirnya menetap."
DEG
"Terus kenapa?"
Seperti mata pedang samurai, Renji terus mengoyak masuk hingga targetnya berdarah-darah. Namun, jika ingat beberapa saat lalu pria ini sudah membuatnya menangis... Ginnan membuang muka dan berusaha berpikir lagi. Ini tidak benar. Kenapa rasanya meresahkan?
"Kau pernah berteriak padaku untuk menceritakan segalanya," kata Renji tiba-tiba. Pria itu meletakkan paspor Ginnan ke meja kecilnya dan menyandarkan punggung pelan-pelan. Lalu terkekeh. "Masalahku... sampai menyebutku orang paling tidak tahu malu..."
DEG
Ginnan pias.
Kejadian itu baru tadi malam.
"KAU INI KETERUSAN! KALAU ADA MASALAH CURHAT SEPERTI BIASA TIDAK BISA YA?! BUKANKAH KAU MANUSIA PALING TIDAK TAHU MALU?!"
"Bodoh..."
"Apa sih yang kau pendam?! Masalah mantanmu lagi? Pekerjaan terlalu berat? Teman brengsek atau ada hubungannya dengan manajermu?"
"..."
Lalu Renji pingsan karena menahan rasa sakitnya.
Singkatnya, lagi-lagi Renji tidak salah. Ginnan lah yang mengawali hal ini, tapi baru menyadari.
"Haha... itu juga privasiku. Lalu apa pedulimu?" gumam Renji tanpa menoleh sedikit pun. Matanya fokus ke jendela yang belum sepenuhnya tertutup tirai. Seketika, Ginnan juga teringat saat Renji melempar ke danau liontinnya.
"Hei, Tuan? Kenapa malah dibuang-buang?"
"Itu bukan urusanmu."
"Apa? Ya ampun... oke! Itu bukan urusanku! Tapi kau terlalu aneh untuk diabaikan orang normal, tahu?"
"Hanya karena aku biseks... apa aku tak diperbolehkan punya privasi?" tanya Renji. Seolah sedang bermonolog. Dia menggeleng, tak habis pikir samasekali. "Ah... benar... mungkin bagimu begitu. Aku memang bukan orang normal. Haha..."
Seketika dada Ginnan mencelus mendengarnya. "Ren... aku..."
"Sebelum ke Jean aku berencana menikahi Haru," kata Renji tiba-tiba. Bibirnya dilukisi senyum tipis seolah tengah mengenang sesuatu. "Lokasi, gedung, dekorasi, jas, undangan... semua sudah kusiapkan dengan baik. Tapi karena waktu itu kita masih sekolah, dia tak pernah kuberitahu."
"Apa?" batin Ginnan. Dia sampai meneguk ludah kesulitan. "Lalu... apa yang terjadi?"
Renji mendengus, tapi senyumnya makin lebar. "Yang terjadi?" katanya. Terdengar senang, tapi menyimpan kejanggalan. "Tentu persiapanku sangat berguna. Walau yang dia tidak menikah denganku."
"Hah?" bingung Ginnan. "Tunggu... kenapa aku tidak paham yang kau maksud?"
"Bukan hal yang penting," kata Renji. "Kau tak perlu repot-repot memahami."
"Hei..."
Di titik ini, Ginnan sadar dia benar-benar terlalu ikut campur. Inginnya mengadili, padahal itu sangat privasi. Kini, dia berhenti. Memilih memikirkan segalanya sendirian.
Haru adalah pria seumuran Renji dengan dua anak perempuan. Mereka berteman sejak dulu dan saling peduli, meski hubungan itu telihat sangat rancu. Posisi Renji harusnya selingkuhan, tapi mengingat seberapa panas mereka berciuman di rumah sakit itu... Ginnan ragu posisi istrinya sangat penting.
"Ren..." panggil Ginnan.
Renji tidak menyahut sedikit pun. Mata pria itu tetap fokus ke awan-awan di luar sana.
Ginnan keki. Tak perlu ditebak lagi bahwa Haru memang sangat istimewa bagi Renji. Melebihi Jean yang baru datang, sempat memberi harapan, tapi justru menjatuhkannya lagi. Sebab Ginnan juga pernah ditinggalkan, tapi itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Beda dengan Renji yang selalu serius dengan siapapun yang ditatapnya, tapi tak pernah mendapatkan hal yang pasti.
Tadi malam mungkin belum, tapi Ginnan rasa dia mengerti sudut pandang Nana kali ini.
"Mn... aku... aku kan laki-laki. Kenapa Anda sangat mudah menerima? Maksudku, jika kami memang sungguh kekasih..."
Saat itu, Nana ternyata hanya menjawab sebagai seorang ibu. Tidak lebih.
"Jadi, kenapa... ya? Haha... Mungkin karena... aku lebih ingin melihat dia bahagia daripada terus kehilangan arah."
Mendadak Renji berkata lamat-lamat. "Sedikit banyak sudah kukatakan masalahku. Dan kau benar, itu agak melegakan," akunya. "Tapi jika kau masih terganggu pertanyaanku, anggap saja tidak pernah kuajukan."
Bagaimana bisa?
Pengakuan barusan saja sudah membuat jemarinya gemetar. Masalah Ginnan jelas bukan apa-apa jika dibandingkan dengan pria ini!
"Bukan, bukan begitu..." kata Ginnan segera. Di menggaruk tengkuk tanpa sadar. "Aku justru minta maaf sudah mengganggumu lebih dulu."
"Hm."
Ginnan melirik Renji. Pria itu memang terlihat baik-baik saja. "Tapi, serius... aku tidak menyangka ada orang semenyebalkan kau!" akunya. Tapi tidak lagi jengkel. Dia justru tertawa saat itu. "Haha... kau tahu? Setiap melihat wajahmu rasanya ingin sekali marah-marah! Apalagi kalau bicaramu mulai sepedas merica... rasanya ingin kubunuh saja kalau bisa."
"Begitu?"
"Yeah... kau bahkan terus-terusan memancingku berprasangka jelek," kata Ginnan. "Kalau mau menjelaskan kan enak! Seperti ini! Hahaha..."
Tawa Ginnan terdengar sangat senang. Renji sampai meliriknya sekilas saat itu. Ginnan pun buru-buru berdehem dan memperbaiki ekspresinya.
"So... karena kau sudah jujur, aku akan balas bercerita," kata Ginnan. Dia menilik arloji sebelum menatap Renji lagi. "Masih sekitar satu jam hingga arrival. Jadi mungkin akan selesai tepat waktu. Bagaimana?"
Ginnan tahu, Renji tak akan menyahutnya. Meskipun begitu, dia juga tahu pria itu pasti mendengarkan. Dengan senyum penuh kelegaan, dia pun mulai bercerita seolah mendongengi anak kecil. Tentang masa lalu. Tentang hari-hari biasa yang membentuk dirinya saat ini.
"Oh... ya ampun! Di sini juga ada snack favoritku rupanya!" jerit Ginnan di tengah-tengah cerita. "Cocok sekali! Apa kau yang belikan?"
Selama itu, Renji tak pernah menoleh ke Ginnan. Meskipun begitu, sesekali dia tersenyum tipis tanpa sadar.
.
.
.
NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.