Renji mencelupnya tanpa ampun di sana, saat itu juga. Dia tak berniat ingin pindah sekali pun. Dia bahkan tak meminta maaf saat melihat Haru meneteskan air mata kesakitan. Pikirnya, itu lebih baik. Haru pasti akan trauma seperti gadis tahun lalu. Agar kemudian menghilang dan tak lagi mengganggunya.
Sayang, Renji keliru. Haru yang baru bangun setelah dua hari justru menujunya meski susah payah. Dia berjalan terseok. Semakin mendekati Renji yang tengah membaca buku memunggungi. Memeluknya dari belakang. Lalu berkata tetap tak ingin kehilangan.
"Aku minta maaf," kata Haru. Membuat Renji merasa kosong seketika. "Aku tidak tahu apapun tentangmu, Ren. Maksudku, selain data dirimu di lembar kerja siswa. Jadi... aku pasti sudah sangat mengganggumu."
"..."
Sebenarnya siapa yang harus minta maaf?
"Aku tidak tahu kenapa... tapi begini pun tak masalah," kata Haru lagi. "Kau tahu? Melihatmu sendirian lebih tidak bisa kuterima—hahaha... aku semakin menyebalkan kan?"
" ..."
"Boleh aku tetap menjadi temanmu?"
Sejak hari itu, Haru pun menjadi teman pertama yang bertahan hingga sekarang. Bahkan setelah dia melalui banyak hal. Termasuk memiliki keluarga kecil yang tak direncanakan. Hati pria itu tetap utuh menujunya.
"Ren... aku... aku benar-benar tidak tahu..." kata Haru. Tepat setelah kelulusan Senior High, pria itu justru tampak sangat-sangat stres. Wajahnya pucat seperti ikan mati. Di tangannya, sebuah surat tes DNA nyaris lecak dalam satu remasan. Sebab di dalam ada bukti kecocokan bahwa dia adalah ayah biologis dari bayi Sheila yang baru lahir di rumah sakit umum Tokyo. Rose, wanita yang lebih tua dari Haru tiga tahun masih terbaring lemah di bangsalnya.
Sejujurnya Haru tidak tahu apa-apa. Yang dia ingat hanyalah potongan pendek memori buram. Kembali ke saat Renji ada pekerjaan besar. Dia mempersiapkan debut sebagai novelis dengan nama asli di Kyoto. Meninggalkan Haru selama 3 hari. Tepat saat itu seorang teman mengajaknya menghadiri pesta ulang tahun. Dikira Haru itu adalah pesta biasa. Ada perayaan, makan-makan, potong kue dan sebagainya. Tahu-tahu dia pusing setelah diberi minum entah apa. Dia pun duduk di sofa dan merasa terbang ke awang-awang.
Tak lama setelah itu, bayangan buram sekelompok lelaki menariknya. Ikut serta ke sebuah tempat yang sangat gelap. Haru tak bisa melihat atau mendengar apapun dengan jelas kecuali tawa gemas mereka dan jeritan seorang gadis.
Pagi, Haru baru bangun pukul 10. Kepalanya pusing. Di sisinya ada gadis pirang cantik yang telanjang. Mengedarkan pandangan ke sekitar, ini adalah sebuah kamar hotel entah apa. Dan melihat seberapa berantakan tempat itu, setidaknya ada lima lelaki lain yang ikut disini tadi malam.
Ranjang ukuran besar itu seperti baru tertimpa gempa. Selimut dan seprai berhamburan. Melorot ke bawah beserta bantal guling yang terjatuh. Kondom-kondom basah berceceran dan bermacam aroma parfum bergulung jadi satu.
Tak perlu ditebak lagi. Itu adalah pesta seks. Korbannya gadis di sebelah Haru, tapi tak ada satu pun lelaki yang terbangun bersama mereka berdua. Semuanya telah pergi.
Kebingungan, Haru memaki karena tak bisa menghubungi teman yang telah mengajaknya. Dia tak tahu harus apa sampai menemukan kartu identitas mahasiswa gadis itu. Namanya adalah Rosemary Elizabeth. Panggilannya Rose. Dia adalah mahasiswi jurusan jusnalistik di Universitas Tokyo yang pindah ke Jepang tiga bulan lalu. Harusnya masa depan gadis itu cerah sampai ikut terseret ke pesta seks ini.
Haru prihatin, tapi dia juga tak ingin langsung mengakui bahwa kehamilan Rose berasal dari dirinya. Ada lima lelaki yang masih harus dicari. Sayang, pengajuan kasus Rose ke kepolisian tak menghasilkan apa-apa. Kelima lelaki itu menghilang secara misterius. Lambat laun kandungan Rose pun membesar dan setelah kelahiran, Haru baru bersedia melakukan tes DNA.
Bayi itu diberi nama Sheila. Rupanya cantik dengan rambut pirang yang menyala. Setelah Renji tahu... tubuh mungil itu merasakan gendongannya. Dia bicara empat mata dengan Rose, sementara Haru duduk di luar bangsal karena masih sulit menerima.
"Aku tidak akan mengekangnya," kata Rose. Bagian bawah mata wanita itu cekung, tenggelam, dan berbayang-bayang hitam. "Sheila hanya membutuhkan sosok ayah untuk diakui. Tidak lebih. Jadi, tak perlu merasa sungkan kepadaku. Keberadaan Haru sudah cukup, tapi dia tetap akan menjadi milikmu."
Senyum Rose sangat baik. Renji hanya bisa diam menanggapi. Dia menatap bayi itu. Mata birunya berkilau jernih meski masih sulit terbuka. Tangan mungilnya menggapai-gapai. Meraih pipi Renji seperti berusaha mengenali wajah itu.
"Aku juga tak akan mengekangnya," kata Renji. Dia tahu Sheila lebih butuh Haru daripada dirinya . "Sheila pantas mendapatkan sosok ayah. Tapi, bagaimana pun ini di luar kendalinya. Jadi, kapan pun dia ingin bersamaku... aku tak akan melarang."
Rose mengangguk. "Terima kasih, Ren..." katanya. "Dan tolong.. kau harus jadi satu-satunya yang mengantar kami ke altar..."
"Ya."
Dan Renji benar-benar melakukannya.
Haru seperti mayat hidup di hari pernikahan. Wajahnya datar. Matanya kosong. Tubuhnya serapuh kuncup dandelion. Renji sampai mengalah dan mengurus lelaki itu. Mulai dari memandikan dan mendandani. Memilihkan jas terbaik dari lemarinya lengkap dengan dasi pita. Pria itu tak antusias sedikit pun meski semalam telah membunuh waktu dengan Renji. Mungkin karena masih terlalu muda. Usianya bahkan masih 19 saat itu, tapi tetap harus menghadapi kenyataan.
"Ini salahku, anggap saja begitu," kata Renji.
"Apa?" tanya Haru. Di kursinya dia mendongak dan menatap mata Renji.
"Kau kutinggal 3 hari. Lalu semuanya terjadi."
"..."
Haru tak pernah menyalahkan Renji sedikit pun. Dia memeluk pria itu sebelum kuat menghadapi segalanya. Dulu, mungkin dia tak pernah membayangkan jatuh cinta ke Renji sedikit pun. Namun, setelah bener-benar terjadi... Renji tetap menjadi pusat dunianya.
Saat prosesi, Haru hanya mencium kening Rose sebagai formalitas. Lalu begitu berakhir, di belakang dia langsung melepas jas seolah baru kena alergi. Secara jujur dia menolak Rose di malam pertama. Dia hanya masuk kamar untuk melepas cincin pernikahan, menyuruh Rose menyimpannya sebelum langsung pergi lagi. Terkesan kasar memang, tapi Rose tak pernah mengajukan protes. Dia justru berterima kasih ke Renji karena telah mengurus segalanya. Mulai dari gedung pernikahan, undangan, gaun, sajian makanan, souvenir para tamu, dan hiburan musik klasik yang berkelas.
Pernikahan itu terlalu mewah untuk digunjingkan di belakang. Bayi Sheila bahkan bisa diterima dengan baik oleh siapapun. Setidaknya itulah yang terlihat.
Tiga hari kemudian, Rose pun pindah lagi. Bersama Sheila dia menetap di Prancis dengan membawa semua bukti pernikahan. Setidaknya surat resmi dan foto di altar bisa dijadikan alibi kepada semua tetangga barunya nanti. Mereka hanya tahu Haru adalah suami tersibuk di dunia. Yang tak pernah bersama anak dan istrinya karena bekerja. Padahal faktanya pria itu nyaris kehilangan kewarasan.
Di penthouse Renji, Haru membanting semua barang di depannya. Dia berteriak, memaki, dan bahkan memukul akuarium Renji dengan tongkat bisbol hingga pecah. Pria itu baru berhenti setelah keliru menggampar Renji tanpa sadar.
PLAR!!
Renji diam saja di depannya. Menunggu hingga dirinya tenang lalu pingsan di tempat.
Sekali lagi, itu adalah cerita masa lalu. Seiring waktu, Haru mulai dewasa dan menerima segalanya. Dia mengurus Sheila dan Rose dengan baik—setidaknya dari segi finansial—walau tetap berada di sisi Renji. Dia juga mengunjungi mereka sesekali dan sanggup meniduri wanita itu meski hanya dihitung dengan jari. Haru bukan lagi pria yang egois. Dia bahkan mendukung saat Renji memulai cerita barunya dengan Jean. Dia juga tetap di sisi Renji saat penuh luka hati, dan sekarang pun dia mengalah saat mereka bertengkar.
Singkatnya, Ginnan bukan siapa pun jika dibandingkan dengan Haru. Lelaki ini baru datang, cukup rewel dan menyebalkan, namun secara aneh membuat Renji tergelitik mem-bully-nya.
"Hmmngggh..." lenguh Ginnan tiba-tiba. Lelaki itu membuka mata pelan-pelan dan langsung terkejut melihat Renji tepat di depannya. "Eh?"
Ginnan berkedip-kedip. Kelopak matanya masih lengket. Dengan kesadar yang belum penuh, dia pikir wajah itu hanya halusinasi dalam mimpinya.
.
.
.
NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.