Mobil Renji terus melaju. Pelan. Melewati jalan-jalan yang ramai tapi tampak seperti game ilusi. Semua hal di sekitar menjadi samar. Suara hiruk pikuk dunia terdistori layaknya ngiungan ngengat di bawah lampu.
Renji melirik sebuah kertas yang tergeletak di dalam dashboard. Ginnan mungkin tak memperhatikan detail tersebut saat disini, namun benda itu sebenarnya agak terselip keluar.
Sebuah undangan pernikahan. Dekorasinya bunga aster di pojokan dan mengelilingi dua nama yang dicetak huruf berkilau.
Hera & Jean
Get Married on May 23th, 2k18
RSVP ... ... ...
Nama Renji Isamu diketik rapi pada tujuan undangan itu. Disana Renji diposisikan dengan gelar hanya saudara. Seperti mimpi, tiga bulan lalu namanya masih berdampingan dengan Jean di tengah mawar. Tapi dua hari lagi, gadis mempesona itu telah dimiliki orang lain.
"Kau boleh membenciku dan tidak datang," kata Jean seminggu lalu. Saat memberikan undangan, sosok itu tak sendirian. Di sebelahnya berdiri Hera yang bertampang dingin layaknya es. Rambutnya yang dicat putih semakin memperkuat kesan itu. "Dan juga tak perlu memberi hadiah. Aku hanya ingin bersikap tetap menghargai."
Renji menerima undangan itu, tapi membiarkannya tergantung di sisi tubuh. Satu tangannya masuk ke dalam saku celana dan menyembunyikan getar emosi yang mulai keluar.
Jika Hera laki-laki, Renji pasti sudah meninju muka itu. Tapi tidak. Bagaimana pun situasinya, Renji bukan tipe yang suka sembarangan mengumbar amarah.
"Terima kasih," kata Renji. Tetap berdiri sekokoh tembok baja dan tak kalah tangguh dari Hera.
Mereka berhadapan dan saling menatap. "Kau tak perlu khawatir."
"Oh... baiklah." kata Jean.
"..."
Jean menoleh ke Hera, dan menatapnya sekilas. "Tapi aku minta satu hal lagi," katanya. Lalu kembali fokus ke Renji. "Mulai dari hari ini, kita tak perlu berhubungan. Bertemu langsung, atau hanya lewat ponsel. Akan lebih baik tanpa singgungan seperti dulu."
Renji gentar, namun dia hanya menjawab "Hm..." sebelum Jean memeluknya perlahan-lahan.
"Selamat tinggal, Ren," kata Jean. "Semoga kau segera menemukan penggantiku. Dan dia lebih mengerti segalanya."
"Hm..."
Mereka benar-benar berpisah saat itu. Hera sendiri merangkul Jean pergi ke mobilnya dengan lirikan sekilas ke Renji sebelum pergi. Dan keduanya akan mengadakan prosesi sakral itu di San Fransisco secara outdoor.
Sejak awal kehidupan Jean memang berbeda dengan Renji. Saat kecil, mungkin kewarganegaraan mereka memang sama, tapi dia hanya sempat bertemu dengan pria itu semasa kuliah. Kehidupan naif mereka diwarnai dengan perjalanan panjang hubungan random tak tentu arah. Dan kala Renji berpikir jauh, mungkin Jean memang hanya menganggap itu permainan sampai kini.
"Selamat datang, Tuan..." sambut seorang wanita saat melihat Renji masuk tokonya. Dia menilik diam-diam audi hitam yang diparkir pria itu di sebelah trotoar jalan. Sangat mengkilat, nyaris seperti pemiliknya meski agak berantakan. "Apa Anda ingin memberi hadiah ke seseorang?" tanyanya.
Renji justru melewatinya. Pria itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Yang penuh pernak-pernik kado suatu acara. Mulai dari boneka, buket bunga, gaun berkilauan, aksesori, kue-kue kotakan, dan masih banyak yang lainnya.
"Pilihkan boneka," kata Renji. Lalu berbalik ke wanita itu. "Yang terbaik milikmu dan sebanyak yang kau bisa."
"Eh?" bingung wanita itu. "Banyak itu... kira-kira berapa, Tuan?" tanyanya cemas. Jujur dia tak pernah berpikir seorang pria seperti Renji akan mengatakan hal-hal itu. "Maksud saya, kalau akan diberikan dalam sebuah acara tertentu, mungkin saya bisa pilihkan sesuai temanya."
"Tidak perlu," kata Renji. "Pilihkan saja sebanyak-banyaknya. Seperti kataku."
Kening wanita itu pun berkerut. "Anda yakin?"
Renji justru mendekati spot bunga-bunga. "Dan bunga juga," dia menyentuh salah satu buket lili dan mengelus kelopaknya dengan lembut. "Ambilkan beberapa jenis bunga dengan warna yang berbeda. Nanti kirimkan semua ke tempatku."
"Oh... baiklah," wanita itu mendekati Renji dengan notes dan pena di tangannya. "Kalau begitu boleh saya catat alamat dan nomor telepon Anda, Tuan?"
"Ya."
Renji menyebutkan semua itu sebelum pergi. Sementara wanita itu membaca alamat yang dia tulis beberapa kali sebelum menyadari hal yang penting. "Astaga. Bukankah dia penulis yang diceritakan keponakanku?" gumamnya pelan. "Sepertinya aku melihat wajah itu di suatu tempat... tapi, boneka dan bunga? Sebanyak ini memang mau dibuat apa?"
Pulang, Renji lepas-lepas syal dan jaketnya sembarangan. Benda-benda itu tergeletak di atas lantai usai menanggalkan dua sepatu. Dia memijit kening, dan membanting tubuhnya tengkurap tanpa peduli di sofa panjang.
"Ren?"
Suara Haru.
"Ren, kau sudah pulang?" tanya Haru. Lelaki itu mendekat sambil memunguti barang-barangnya.
"Jangan mendekat," kata Renji. "Aku hanya ingin tidur."
Haru pun diam di sebelah Renji dan tak jadi menyentuh bahu itu.
"Kau bau alkohol..." katanya cemas. "Jadi semalam tadi kau pergi ke bar?"
"Hm..."
Sebenarnya Haru ingin tahu di bar mana, tapi itu sudah tidak penting.
"Ini jam 11 pagi," kata Haru. "Apa kau sudah sarapan?"
"Ck. Cukup jangan ganggu aku," decih Renji. Dia mengibaskan tangan ke Haru. "Aku akan makan bangun nanti."
Haru geleng-geleng kepala. "Tidak ada nanti-nanti," katanya sambil berjalan ke kamar mandi. Dia memasukkan benda-benda itu ke bak cuci. "Pokoknya kusiapkan dan kau harus sarapan sekarang."
Renji tidak menjawab. Dan saat mengeluarkan mangkuk-mangkuk ke atas nampan, sesekali Haru menoleh ke pria itu dengan murung. Sebab semakin hari, semakin tak lagi mendengarkannya. Padahal dulu interaksi mereka tak pernah separah ini.
"Ren, kau tahu... minggu depan akan ada meeting besar untuk projekmu," kata Haru. Dia meletakkan nampan itu di meja dan menduduki spot kosong di sebelah kepala Renji. "Kau dan Yuki—"
"Pelacur," sela Renji. Dia mendesis dan membuka mata dengan memberang. "Jangan sebut namanya di depanku."
Haru bingung. "Tapi kalian berdua akan bekerja sama di masa depan."
"Persetan."
Renji membalik posisi, dan membuat paha menganggur itu sebagai bantal. Dikira Haru dia akan mengoceh lagi seperti burung, tapi ternyata malah terpejam tanpa peduli.
"Hei, Ren... sup-mu bisa dingin kalau begini," kata Haru. Dia mengguncang pelan bahu Renji. "Aku sudah memanaskannya sebelum kau pulang, tapi tetap saja tidak bagus."
"Berisik," tandas Renji. "Lebih baik kau pikirkan cara mengatur pembatalan kontrak itu."
"Apa?" kaget Haru. "Maksudmu kolaborasi dengan Yuki?"
Haru terlalu tahu bagaimana cara mengusiknya. Tak tahan lagi, Renji pun membuka mata dan mengumpat.
"Yuki penjilat itu," katanya. Dengan mata penuh amarah tak tertahankan. "Jangan biarkan dia mendekatiku apapun yang terjadi di perusahaan."
"Tapi kan—"
"Lakukan saja kata-kataku. Kalau mereka tidak terima, bayar langsung tebusan pembatalan kontraknya," tegas Renji. "Itu masih lebih baik daripada mengotori pekerjaanku."
"Me-Mengotori?" kaget Haru. Dia memang terbiasa dengan kata-kata kasar Renji tapi baru kali ini Renji terlihat sungguh membenci teman kerjanya. "Bukankah justru malah bagus? Yuki itu novelis yang debut dengan popularitas tinggi saat ini."
"Sekali lagi kau memaksaku, aku akan resign dari perusahaan," kata Renji tegas.
Kali ini Haru tidak membantah. Keputusan Renji sudah final, dan pria itu kembali menutup mata seolah tak pernah ada beban. Haru memandangi wajah itu. Bulu mata Renji panjang-panjang. Indah dan sangat berbanding terbalik dengan kelakuannya yang serampangan. Namun, separah apapun yang pria ini perbuat, dia tak pernah bisa sungguh membenci begitu saja.
Perusahaan pun begitu. Renji memang sering seenaknya dalam bekerja dan memberikan keputusan, tapi mereka tak bisa membuangnya begitu saja. Dia brilian, dan hatinya mungkin hancur saat ini. Namun dia tetap menjadi penghasil uang skala besar.
"Ren, apa semalam kau bisa tidur senyaman ini?"
Haru membelai wajah itu. Dan Renji tetap bergeming bahkan hingga dia menunduk dan menghirup aroma nafasnya yang sarat rokok dan aroma wine entah apa.
"Jean..."
Haru membuka mata begitu mendengar igauan itu. Dia tersenyum miris.
"Ya tuhan... perempuan itu sungguh keterlaluan..." desah Haru pelan.
Pertama kali Haru bertemu Jean adalah sebulan setelah tahun ajaran baru mulai masuk. Saat itu dia dan Renji dalam satu jurusan yang sama. Suatu siang, dia pikir Renji akan mengajaknya keluar ke toko buku atau semacamnya, tapi tidak. Bangun-bangun, dia melihat mobil Renji berhenti di pinggir danau. Pria itu sudah tidak ada di kursi kemudinya. Dan saat menoleh, dia sudah berdiri di belakang pagar bersama seorang gadis berambut pirang.
"Aku Jean Liew, salam kenal," kata Jean. Dia menjabat tangan Haru dengan senyuman. "Dan kau pasti Haru. Renji sudah cerita beberapa soal dirimu."
"Oh... ya.. aku Haru," kata Haru. Dia menatap Renji yang diam saja di sebelahnya. "Jadi kalian berdua mulai berteman?"
Jean tertawa. "Haha... bisa disebut begitu," dia menyenggol bahu Renji. "Kita memang teman baik kan, Ren?"
"Hm..." Jawab Renji, lalu mengulurkan sebuah jepitan rambut berbentuk pita kepada Jean. "Milikmu. Tadi terjatuh di sepatuku."
"Oh, benarkah? Terima kasih..."
Haru memang sudah merasakan hal yang berbeda diantara mereka sejak awal.
Jujur, dia sangsi, tapi juga maklum dalam waktu bersamaan. Sebab Jean memang cantik, dan wajar bila Renji menyukainya. Meskipun begitu, Haru tahu... sejak awal gadis itu tak pernah menganggap Renji dengan serius. Jadi saat keduanya maju ke jenjang pertunangan... kekhawatiran itu mulai muncul tanpa sadar.
Renji sendiri mulai kalang kabut sejak Jean memberi kabar akan menikah dengan Hera. Pria itu bahkan sempat nyaris tak sanggup menyelesaikan novel terbarunya di jam deadline mengerikkan yang telah dijadwalkan. Padahal siapapun tahu sifat sikap professionalnya selama ini.
Parahnya, Renji yang sempat putus merokok dan jarang mabuk sekarang mulai akrab lagi dengan kedua benda beracun itu.
Saat meminta seks kepadanya, Renji pun jadi lebih pemarah dan dingin saat menyentuh. Dia seperti manusia tanpa jiwa. Dan hanya berjalan kemana pun hatinya ingin.
Renji kacau, tapi Haru tak mungkin membiarkan begitu saja. Apalagi pria itu sedang di ambang kesuksesan tertingginya saat ini.
"Kalau begitu istirahatlah," kata Haru. "Aku akan ambilkan bantal baru, makanlah begitu bangun, dan besok kulihat lagi keaadaanmu."
"Tidak."
Mendadak Renji membuka mata.
"Ren?"
Mata emas itu menusuknya. "Kau menetaplah saja disini," kata Renji. "Tidak kuuizinkan pulang sampai kuberitahu."
"Ren, tapi—"
"Bukankah kau terbiasa menempel kepadaku?"
"Apa?"
"Lalu sekarang mau kemana?"
Haru tampak sangat bingung.
"Ren, bukan maksudku menolakmu—"
"Tapi kau memang berencana untuk begitu," kata Renji. "Apa kau tidak ingin lagi menjadi wanitaku?"
Haru merona tipis.
"Soal itu... sedikit. Tapi aku sungguh tidak bisa menginap malam ini," kata Haru. Tampak sangat-sangat sedih.
"Kenapa?"
Haru menggeleng pelan. "Istriku datang." bisiknya hati-hati.
"..."
Haru membelai lembut leher Renji. "Dia jauh-jauh datang dari Teheran kali ini. Dua putriku pun ikut serta karena kita akan merayakan ulang tahun untuk Sheila."
Renji diam. Dia mengalihkan pandangan dan mendecih ke arah sembarang arah. "Benar-benar merepotkan jika sudah berkeluarga..." katanya, berusaha menahan marah sebaik mungkin.
"Maaf..."
"Jadi, Sheila umur berapa tahun ini?" tanya Renji. Berusaha memaklumi.
"Tiga belas."
"Kalau anak bungsumu?"
"Sherly masih tujuh tahun," kata Haru. Tapi dia segera menambahkan. "Dengar, Ren. Aku akan segera kesini begitu acaranya sudah selesai. Lagipula Rose sudah tahu keadaanmu. Dia pasti mau mengerti." bujuknya.
"Tidak perlu," kata Renji. Lalu tersenyum tipis meski hambar. "Sana pulang. Tapi ambilkan bantal untukku sebelum pergi. Dan terima kasih sudah mengkhawatirkan sarapanku saat situasi keluargamu sedang begitu."
Suara Haru mulai gemetar. Dia mengecup kening Renji sayang.
"Ren, kau tahu aku tidak menginginkannya."
Renji justru tertawa setelah itu. "Aku tahu," katanya. "Kau mana bisa mengabaikanku sampai kapanpun."
"Ya..."
"Kau kan sudah jatuh cinta kepadaku."
"Ya..."
"Jatuh cinta dengan serius."
"Ya, Ren. Ya... terserah apapun yang kau katakan," kata Haru. "Tapi tolong jangan lakukan hal yang aneh-aneh selama kutinggal. Aku tidak akan kesini kira-kira lima hari."
"Begitu."
"Hanya lima hari, mengerti kan?"
Renji diam. Dia menatap raut serius di wajah Haru dan membalasnya dengan cara yang serupa. "Kalau begitu sewakan satu pelacur untukku," katanya lamat-lamat. Membuat Haru meremas bahunya tanpa sadar.
"..."
"Perempuan dewasa, yang cantik, dan tidak terlalu suka berisik. Kau juga mengerti ucapanku kan?"
Haru memejamkan mata dan mengangguk. "Ya... mana mungkin tidak mengerti."
Bukannya mengatakan beberapa hal untuk membuat Haru tidak tersinggung, Renji justru memejamkan mata juga. "Bagus. Dan kuharap dia sudah ada sore nanti untuk membangunkanku dari tidur."
Selama ini, mereka selalu seperti itu. Saat Jean bermasalah, Haru akan berusaha untuk ada. Dan saat Haru tidak bisa, Renji akan meniduri sembarang orang untuk melepas beban hatinya. Mulai dari pelacur, teman di tempat kerja yang pernah menawari one night stand, fans entah darimana asalnya yang rela memburamkan identitas... dan masih banyak lagi.
Tentu, Haru selalu tahu siapa saja yang pernah datang. Sebab orang-orang itu memang dia yang mengurusnya. Namun, dia sendiri tak pernah bisa benar-benar nyaman dengan semua yang terjadi.
"Kau tak perlu khawatir, Ren," kata Haru. "Begitu aku pergi, pasti dia segera datang... hm? Jadi kau tak akan sendirian."
.
.
.
NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karean di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.