3 Hari kemudian…
Di kantin rusun, masih pagi pukul 6. Ruangan itu mulai dipenuhi para pelacur didikan Madam Shin. Mereka duduk di meja dengan senampan porsi makanan sehat.
Ginnan yang berhenti dari masa dietnya mulai berani mengambil satu empal daging.
"Nan-kun," panggil Madam Shin tiba-tiba. Ginnan pun mendongak dari piringnya. "Kudengar kau sempat menemani Tuan Renji di rumah sakit kapan hari."
"Iya?"
"Jadi kau pasti tahu kontak hapenya."
"Eh?" kaget Ginnan. "Iya, sih... tapi buat apa?"
Madam Shin menoleh ke sekitar sebelum duduk di depan bangku Ginnan. Wanita berkepala 4 itu bisik-bisik seperti bicara tentang bisnis kotor. "Soal perilaku Yuka-chan," katanya. "Aku mau mengiriminya beberapa hadiah."
"Hadiah?"
"Yah... karena sudah melepaskan rusun kita."
"Oh..."
Madam Shin mengeluarkan ponsel secepatnya. "Bisa catatkan nomor telpon dan alamatnya ke hapeku?"
Ginnan pun menerima ponsel itu. "Oke."
"Sekalian kirimkan paketku langsung ke tempatnya."
"Apa?!"
Madam Shin kaget.
Ginnan langsung mengatur ekspresinya. "Mn... maksudku, kenapa aku? Bukankah lebih baik pakai jasa pengiriman?"
Madam Shin mengambil tangan Ginnan dan menggenggamnya dalam satu tangkupan. "Ayolah... ayolah..." pinta wanita itu agak memaksa. "Akan lebih sopan jika kau sampaikan atas namaku. Kalau pakai jasa pengiriman, dia mana perhatian dengan rasa terima kasih ini, hm?"
"Ya ampun... tidak bisa orang lain, ya?"
"Kan hanya kau yang pernah bertemu baik-baik dengannya?"
"Baik-baik?" pikir Ginnan. Lalu memutar bola mata. "Samasekali tidak begitu." Meskipun begitu, Ginnan pun tetap mengangguk saja. "Okelah. Tugasku hanya mengirimkan barang itu kan?"
"Iya, Baby-ku..." kata Madam Shin sangat senang. Dia bahkan mencubit kedua pipi Ginnan seperti sedang memanja anak lelakinya sendiri. "Baiklah, terima kasih. Kalau begitu barangnya akan kuberikan padamu nanti sore... mengerti?"
Madam Shin baru pergi dengan tawa setelahnya. Sementara Ginnan geleng-geleng tanpa sadar. "Ada-ada saja..." gerutunya kesal. "Kupikir hidupku mulai tenang, tapi selalu saja berhubungan dengan orang itu."
.
.
.
Sore, pukul 5. Renji tengah berendam di bathup-nya. Dia tidur, dan baru membuka mata ketika mendengar suara panggilan dari ponselnya.
"Siapa?" tanyanya langsung. Nadanya malas-malasan tanpa melihat bahwa itu nomor baru.
"Oh, ini aku, Tuan Renji. Kenalkan, Shinhye Nara. Tapi panggil saja Madam Shin," kata Madam Shin. "Aku pemilik rusun yang mengasuh Nan-kun dan Yuka-chan."
Nan-kun.
Yuka-chan.
Oh... kedua penjual seks itu.
"Ada apa?"
Terdengar tawa segan dari sana. "Sebelumnya maaf atas kelakuan Yuka-chan. Dan yang paling penting, terima kasih!" kata Madam Shin dibuat-buat riang. "Karena itu, sore ini Nan-kun kusuruh datang ke tempatmu. Mn... dia akan mengirimkan hadiah kecil dariku."
"Oh..."
Meski reaksi Renji terdengar sangat acuh, sebenarnya kelopak mata itu mulai terbuka lebih lebar.
"Ya, pokoknya begitu! Hehehe..." cengir Madam Shin. "Lain kali bilang saja padaku kalau menginginkan seseorang dari sini. Dengan senang hati akan siap kudengarkan."
"Hm."
"Kalau begitu, sudah ya! Maaf sempat menyita waktu berhargamu!"
Tepat setelah sambungan Madam Shin putus, terdengar suara bel khusus dari pintu masuk. Renji pun menyudahi acara tidur dalam airnya... berdiri... menyambar bathrobe hitam dan menyimpulkannya asal sambil berjalan.
Dikira Renji omongan Madam Shin hanya hal sepele yang pantas diabaikan, namun nyatanya wajah gusar Ginnan benar-benar terpampang dalam layar deteksi saat ini.
Renji memandangi gerik Ginnan sejenak sebelum kemudian menekan tombol terima.
"Kau utusan Madam Shin."
"Eh? Iya!" seru Ginnan. Yang semula jinjit-jinjit kurang kerjaan langsung mendekatkan wajahnya ke kamera. Dia menunjuk kotakan paket di pelukan. "Lihat aku bawa hadiah Madam Shin untukmu. Aku tinggal di depan sini, ya?"
"Masuk."
"Apa?!"
Renji menekan password pintunya dan membiarkan partisi tebal itu terbuka. "Masuk." Perintahnya. Kala sudah berdiri tepat di hadapan Ginnan.
Ginnan mundur selangkah. "Tidak perlu... tidak perlu..." cengirnya gugup. "Aku hanya ditugasi mengirimkan, kok. Hahaha... jadi tidak usah repot-repot menjamuku—eh?!"
Ginnan melotot, Renji tetap menyeret genggaman tangannya masuk ke dalam. Lelaki itu pun terseok-seok kala menuruni tangga marmernya yang berkilau.
"..."
"Tuan Renji! Hei! Aduh kakiku—ya ampun... kau ini memang mau membawaku pergi kemana!" protes Ginnan. Jujur jantungnya sudah tak karuan saat ini. Sebab Renji membawanya masuk dari ruang satu ke ruang lain. Bahkan pria itu tak tanggung-tanggung menyeretnya naik tangga menuju kamarnya di lantai dua.
"Ikut saja."
"Tidak! Tidak mau!" jerit Ginnan lagi. "Aku kan tidak sedang kerja saat ini. Aku juga tidak berhasrat jadi wanitamu seperti yang pernah kau katakan!"
BRUKH!
Ginnan dilempar ke ranjang. Renji justru berbalik dan menelpon seseorang.
"Duduk saja."
Ginnan pun langsung duduk dengan muka sangat merah.
Oh ya Tuhan! Oh ya Tuhan! Demi apapun kamar ini penuh dengan bau Renji! Dan tentu! Ginnan jelas tak bisa menoleransi! Dalam satu tepukan, Ginnan pun menutup hidungnya dengan tangan. Tak mau tergoda dengan aroma maskulinnya yang kuat dan khas bercampur air hujan pada awal musim.
"Ini aku," kata Renji. Bahkan sebelum lawan bicaranya menyahut halo atau apa. "Kau bilang akan menendengarkan permintaanku senang hati. Dan sekarang biarkan lelaki ini bersamaku dua minggu—"
"APA KATAMU?!"
Ginnan yang syok luar biasa. Sementara Madam Shin di seberang sana justru diam tak sanggup menanggapi.
Ginnan pun melempar kotak paketannya ke ranjang begitu saja dan segera menyasar Renji dan ponselnya.
"Tidak mungkin! Tidak!" teriak Ginnan ke layar ponsel yang menampilkan nama Madam Shin. Raut wajahnya gusar sekali saat menekan tombol loudspeaker. "Katakan tidak padanya, Madam Shin! Demi apapun aku tak tertarik jadi wanitanya!"
Renji hanya menyilangkan tangan di dada dan melihat adegan itu.
"Aduh... mendadak sekali... hahaha..." tawa Madam Shin dari seberang sana. Suaranya terdengar kebingungan. Antara segan dan tak bisa memenangkan berat hatinya, dia pun mengatur kalimat untuk berikutnya.
"Bagaimana ini, Nan-kun? Aku sudah berjanji kepadanya. Lagipula... Tuan Renji pasti punya alasan khusus."
"Tidak mungkin..."
Ginnan menoleh ke Renji jijik dan mundur-mundur tanpa sadar.
"Aku ingin sekali menolaknya, tapi... mn... kenapa tidak kau coba tanyakan saja dulu?" tawar Madam Shin. "Tidak mungkin kan... dia menyewamu dua minggu hanya karena ingin seks?"
"Yang benar saja..." kata Ginnan. Mukanya pucat, dan bahkan tergagap saat memutuskan untuk bertanya. "J-Jadi... kenapa, hei? K-Kau melakukannya? Mn, m-maksudku apa tidak bisa digantikan orang lain?"
"Tidak."
"Tapi pelacur umum Madam Shin sangat banyak dari rusun..." kata Ginnan gelisah. "Aku... aku bisa memilihkan si cantik yang lain kok kalau kau mau, oke?"
"Tidak."
"Y-Ya tuhan..."
Ginnan tampak ingin menangis.
Melihat ekspresi itu, Renji justru duduk di ranjang dan dengan santai menggosok rambut basahnya dengan handuk. "Tadi pagi Haru mengatur jadwal liburan untukku dua minggu. Ke Milan," jelasnya, sambil membuka laci nakas pelan-pelan. Dia mengeluarkan ponsel lain dari sana. Warnanya putih, lebih mengkilat, ber-casing tokoh genit Sanji One Peace, dan bergantungan kunci kristal entah apa. "Dia bilang aku harus melepas stress, tapi tiketnya dua. Dan aku harus mengajak seseorang, kecuali ingin benda itu terbuang."
Ginnan pias. "Oh..."
Tapi, dua minggu bersama pria berotak penuh debu ini. Mana mungkin tubuhnya dibiarkan suci seperti sedia kala?!
Tentu saja tidak!
"Penerbangannya besok pagi," kata Renji. "Jadi kau masih punya waktu siap-siap."
Seketika, Ginnan pun meledak. "Tunggu-tunggu! Memang siapa bilang aku setuju?!"
"Jadi kau menolakku?"
"Sudah jelas kan?!"
"Memang kau punya kuasa untuk itu?"
DEG
Ginnan nyaris meremukkan ponsel di tangannya. "Kau..."
"Oh... aku bisa suruh Madammu membawa barang-barangmu kesini sekalian," kata Renji. "Jadi kau menginap disini mulai sekarang."
"Kau gila..." desis Ginnan.
Mendengar percakapan mereka, Madam Shin justru langsung berkhianat.
"Dia benar, Nan-kun. Nanti kuurus semuanya dari sini," kata Madam Shin segan. "Kau santailah dan tunggu saja barangnya datang. Terakhir, jaga juga kesehatanmu."
"Kesehatan kepala bebek!" maki Ginnan asal-asalan. Dia langsung mendengus melihat Madam Shin mematikan sambungannya dan menyasar Renji di seberang sana. "Kau bodoh! Kau bodoh! Aku bisa semakin membencimu!" teriaknya jengkel. Dia sampai mengguncang-guncang bahu Renji tanpa peduli akan ditampar atau apa.
"Begitu..." kata Renji. Seolah tanpa beban. Dia meletakkan ponsel dan menarik pinggang ramping itu mendekat padanya. "Kau pikir aku akan peduli?"
Ginnan pun refleks menahan kedua bahu itu dengan lengannya. "Jangan pokoknya jangan!" tolaknya tegas. Matanya menyala-nyala saat itu. "Kau bisa membuatku masuk rumah sakit kalau sampai melewati batas lagi."
Acuh, Renji menghentak pinggul itu hingga dikuasai pelukkannya. Dia mendongak, dan menatap wajah Ginnan yang sangat dekat di depannya. "Kau pikir aku amatiran?" tanyanya retoris. "Aku bisa menggaulimu seperti kepada para perjaka."
Tak bisa lari lagi, Ginnan pun meremas bahu itu. kesal luar biasa, tapi tak bisa apa-apa. Matanya memanas, dan ada urat kemerahan yang merambati kulit wajahnya. "Kau sukses membuatku putus asa. Selamat..." katanya, dengan senyuman hambar yang ditahan. "Tapi kenapa harus aku? Senang sekali kau memainkan perasaan orang lain."
"Memang."
"Astaga..."
Kuku Ginnan pun menggali kulit bahu Renji kala ditarik. Dalam satu hentakan dia jatuh menimpa Renji. Hanya satu detik, posisi mereka berganti dan pria itu sudah menguasai isi mulutnya.
"Hei... umnh... t-tunggu—hei... aduh!"
Digigit keras, Ginnan meremas bathrobe bahu Renji dan nyaris mengoyaknya. Jubah mandi berbahan lembut itu melucur jatuh dari lengan dan berhenti di lipatan. Membuat aroma sabun cair menguar hebat dari sana.
Ginnan menendang-nendang. Layaknya sedang diperkosa, dia memang tak pernah berpikir menjadi tunggangan pria lain. Mulutnya tak berhenti memaki begitu sudah dilepaskan. Tapi mau berapa kali pun dia mendorong, Renji justru berhasil menguasai titik lain tubuhnya.
Lehernya.
Dadanya.
Perutnya.
Ginnan bahkan tidak sadar kapan kemeja atasnya sudah terbuka. Dan saat Renji menarik turun resletingnya dengan gigi, dia membuang muka ke samping.
"Demi apapun! Ini pertama kalinya aku benci pekerjaanku..." batin Ginnan saat itu.
.
.
.
NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.