Ginnan bahkan sudah meremas seprai sebelum Renji sempat meneruskan pergerakannya. Dia kira pria itu akan menelannya bulat-bulat. Tapi tidak... sampai sana Renji justru membuat jarak, memperhatikan tiap reaksi hebohnya dari dekat, dan menunggu hingga kembang-kempis dadanya jadi normal.
Ginnan pun menoleh. Perlahan dia kembali menatap Renji dengan raut muka warna-warni. Tapi pria itu diam saja, dan bahkan tak berkedip sedetik pun.
"Kenapa?" tanyanya. Ketar-ketir. "Bukankah kau ingin sekali menghancurkanku?"
Nada Ginnan menantang, namun suaranya jadi goyang.
Renji tetap tak menunjukkan sedikit pun toleransi. "Mandi dulu sana," perintahnya. Membuat luka di ulu hati. "Aku klien besarmu, kan? Mana sudi aku meniduri... kalau kau tak benar-benar bersih."
Mata Ginnan jadi panas. "Boleh aku tak usah mandi saja..."
"Lalu aku melaporkan ketidakbecusanmu dalam bekerja?"
DEG
"Tolonglah... aku tidak pernah tidur dengan pria..."
"Nanti kau akan mencobanya."
Ginnan mendesis. "Keterlaluan..." Dia tampak ingin menggampar wajah itu, tapi tentu saja tidak akan. Beberapa hari lalu Yuka sudah membuat masalah besar. Dan tadi pagi Madam Shin bahkan mengirimkan kotakan untuk berterima kasih ke pria ini. Mana mungkin sekarang dia kembali berulah kepada rusun?
"Kamar mandiku ditandai pintu merah di utara. Sebelumnya ada partisi-partisi kaca," kata Renji. "Bangun dan bersih-bersih."
Mata Ginnan sudah berair sekarang. "Ini masih sore," katanya. "Apa harus sekarang juga?"
"Kau yakin sudah jadi professional?" tanya Renji retoris. "Kudengar usiamu melebihiku dan sudah dididik wanita itu sejak lulus."
Ginnan pun mengusap matanya dengan punggung tangan. Gerakkannya cepat dan tak seolah tak ingin membuang waktu. "Kalau begitu tunggu sebentar..." katanya. Lalu mendorong Renji kesal seperti ketika kalah judi.
"Bagus."
Renji bahkan tak peduli suara langkah kakinya yang menghentak ketika menyasar kamar mandi. Pria itu hanya duduk di tepian ranjang, menyibak rambut separuh basahnya ke belakang dan menyulut rokok dari laci nakas.
Mata emas itu separuh gelap.
Kelopaknya turun ketika diburu sinar sunset yang mulai hilang. Dari celah tirai itu, tak ada satu menit. Salju yang semula serupa kapas diterpa angin... kini memadamkan pesona itu dengan badai lebat yang tak habis.
Saat terdengar makian keras dari kamar mandi, Renji pun melempar puntung rokoknya ke pojokan kamar.
.
.
.
"Aku bisa gila..."
Ginnan merosot di balik pintu kamar mandi. Keramiknya dingin. Dan dadanya jadi panas melihat tanda-tanda baru di tubuhnya. Padahal beberapa yang kemarin sudah mulai pudar perlahan-lahan. Tapi sungguh meski ada tanda dari klien lain, milik Renji lah yang membuat tubuhnya terasa menjijikkan.
Ginnan mengeluarkan ponsel. Dia masih ingin mengubah kejadian hari ini jika masih ada harapan. Sampai-sampai nama Madam Shin di kontaknya tak pernah terlihat sebersinar itu selama ini.
Tapi, sial.
Dewa-dewi mungkin sedang mengutuknya sambil tertawa. Bersamaan dengan suara operator yang memberitahu bahwa nomornya diblokir sementara.
"Shinhye Nara Germo Sialan! Aaaarrrgh!"
Teriakan Ginnan sampai menggaung pecah di dalam kamar mandi seluas rumah minimalis itu. Wajahnya merah, nafasnya bersengalan, dan ketika dia mengedarkan pandangan ke sekitar... semua kemewahan memang tersedia disini. Bath-up, shower berbagai pilihan fungsi, jacuzzi luas berhias keramik yang didesain seperti zaman Yunani kuno, ruang ganti di balik partisi kaca tiga lapis dan tentu bathrobe-bathrobe terbaik sudah disediakan disana.
Ginnan yakin Renji memang tipe yang insecure bercinta dengan pasangan yang berdebu sedikit saja, sampai-sampai menyuruhnya menceburkan diri di air dengan tatapan setajam itu. Dan entah kenapa... mendadak dia mengingat wajah berkerut-kerut Yuki tiga tahun lalu. Yang menatapnya tak kalah tajam dengan kekecewaan yang sangat dalam.
"Jadi sejak kapan kau masuk ke pekerjaan kotor ini, hah?!" bentak wanita berambut sepunggung itu. Ah, ya... dulu Yuki memiliki aura sangat anggun dengan wajah mungilnya. Namun semenjak mereka putus, rambutnya dicat hitam kembali dan tak pernah lebih panjang dari bahu.
Yuki membara dengan mengepalkan tangan. Wanita itu tampak ingin menghancurkan mukanya dengan lebih dari satu tamparan, kalau perlu. Dengan begitu semua pelanggan yang dia rawat baik-baik di belakang hubungan mereka pasti akan lari. Tapi melihatnya hampir menangis dan memeluk wanita itu erat... Yuki sudah kehilangan nuraninya
Yuki hanya diam dan membiarkan isak tangisnya menjerit keras di bahunya. Di tengah malam, musim panas. Saat harusnya mereka berencana pergi bersama ke Osaka. Menghabiskan waktu dengan liburan setelah sekian bulan sibuk dengan urusan masing-masing... wanita itu justru mengangkat telepon dari salah satu pelanggannya.
Ginnan sudah putus asa waktu itu. Jadi jika Yuki meninggalkannya, bukankah wajar?
Yuki tidak pernah salah. Wanita itu adalah kekasih terbaik yang pernah dimilikinya selama ini. Hanya saja dia yang jahat, tidak punya hati, sampai membohonginya sekian tahun sebelum semuanya terbongkar habis.
"Kau bilang karena kekurangan uang dan tidak mau mengandalkanku? Bah! Lalu menurutmu apa begini lebih baik?!" bentak Yuki. "Dulu tidak, tapi kau sekarang tidak lebih dari laki-laki pecundang di mataku."
"Yuki, tidak—maksudku... aku minta maaf—"
Ginnan pun maju, tapi wanita itu menampik tangannya, mundur, dan tertawa seperti orang gila.
"—yeah! Hahaha... dan kalau ingin semua itu cepat selesai, kenapa tidak jadi gigolo umum saja?! Lumayan kan... bayaranmu dua kali lipat, kerjamu tak akan selama ini, dan mungkin... kau sudah kaya sebelum aku tahu semuanya."
"Yuki, bukan begitu—"
Setelah itu, entah apa yang terjadi. Yang pasti hubungan mereka berakhir dan Ginnan hanya mengingat memori buram. Yuki yang mencegat bus dengan wajah masih penuh tangisan, dan setelah duduk di dalam memalingkan muka dari dirinya.
Bus pun melaju.
Pergi.
Meninggalkannya di atas trotoar sendirian.
Tidak ada germis atau apa saat itu. Hanya mendung dan angin malam yang tak berhenti berdesau kencang. Membuat telinganya sakit jika mengingatnya sekali lagi.
Ginnan tak pernah bertemu Yuki lagi setelahnya. Wanita itu menghilang selama hampir dua tahun sampai muncul kembali dengan penampilannya yang baru. Ralat, juga perangainya.
Yuki berubah kasar dan seenaknya. Dia juga hampir tak punya urat malu jika mendekati seseorang... bahkan sekarang memperlakukannya seperti mantan yang bisa dimanfaatkan setiap waktu.
Padahal Ginnan tahu, semua itu tidak berarti. Dan sekarang Renji. Pria brengsek ini mendadak terus ada di sekitarnya setelah tak ada masalah serius dalam bekerja. Tapi mungkin, ini semacam penebusan dosa. Atau hukum karma. Yang mana saja lah.
Dia telah mengecewakan Yuki sampai berubah sedrastis ini. Mungkin wanita itu sampai lelah dengan segala hal yang terjadi. Jadi, Renji datang pasti untuk membuatnya merasakan hal yang sama.
Hanya saja.... dengar-dengar semua masalah yang serius akan terasa mengerikkan jika seseorang hanya mengikuti arus emosinya. Seperti dirinya beberapa menit lalu. Memberontak, memaki dan memohon kepada Renji untuk melepaskannya hanya karena ingin tetap suci.
Haha... apanya yang suci.
Bukankah selama ini tubuhnya lebih dari layak disebut kotor dan menjijikkan?
Apa buruknya bercinta dengan laki-laki? Buktinya Renji baik-baik saja dengan itu. Bahkan menikmatinya. Dan Haru... dia tidak pernah merasa keberatan meski diperlakukan agak tak hormat selayaknya sahabat pada umumnya.
Mereka sama. Mereka juga tidak suci, tapi mereka tak pernah terlihat bermasalah dengan itu.
Mereka hanya... menerimanya.
Menerima diri sendiri, situasi yang ada, menjaga hubungan baik, dan juga perasaan abstrak yang bisa dipertahankan entah sebagai apa.
"Haha... bodoh sekali..." tawa Ginnan. Mendadak kewarasannya mulai menguap separuh-separuh. Dari memandangi kontak Madam Shin yang telah mati, dia keluar menuju aplikasi pencarian dan mengetik kata kunci tak terduga.
-Seks gay-
Dan dalam sedetik, keluarlah gambar-gambar tak senonoh yang dulu nyaris mustahil menghiasi history-nya.
Tangan Ginnan jadi dingin. Lelaki itu mengumpat dalam bisikan sebelum meletakkan ponselnya di atas lantai. Dia menjambak rambutnya sendiri, berusaha mendapatkan akal sehatnya kembali, tapi sepertinya sudah terlambat.
Mungkin Deby benar. Selama ini dia hanyalah pria polos. Yang tidak pernah menyadarinya samasekali. Dan Renji adalah... adalah...
"Kau pikir aku amatiran?" kata Renji waktu itu.
Ginnan mendesis tanpa sadar mengingatnya.
"Aku bisa menggaulimu seperti kepada para perjaka."
Yang benar saja…
Lalu kalau kepada bukan perjaka yang bagaimana?!
Arrrgh... rasanya semakin bodoh jika dipikirkan.
Mendadak Ginnan tak bisa berpikir lurus lagi. Isi kepalanya penuh dengan gambaran Renji mencium Haru, Renji menyeret Yuka keluar dari mobil, Renji membentaknya dengan menggenggam liontin Jean, dan terakhir ketika pria itu mencumbunya sebentar di atas ranjang.
Pria itu pengelana. Dan Ginnan lebih dari mengerti ada lebih banyak tubuh lain yang pernah dijamahnya. Meskipun begitu, pada dasarnya mereka sama. Di sendiri pun pekerja seks yang telah menjamah entah berap ratus pelanggan. Jadi, bukankah ini tidak terlalu buruk?
Yang akan terjadi, terjadilah.
.
.
.
NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.