Yang akan terjadi, terjadilah.
Ginnan sudah tak peduli. Dia hanya harus mandi, keluar dari sini, dan menyelesaikan pekerjaannya kan? Lagipula hanya dua minggu. Selama ini dia bertahan dalam pekerjaan menjual kelamin, dan semua masih baik-baik saja.
"Eh?"
Anehnya, begitu Ginnan keluar dari kamar mandi, yang ada hanya sunyi.
Renji tidak ada. Pria itu entah kemana, bahkan jejak duduknya rapi-rapi saja. Nyaris tidak seperti pernah ditempati.
"Tidak ada..." gumam Ginnan. Begitu mengedarkan pandangan ke sekitar.
"Siapa yang kau cari?"
DEG
Ginnan berbalik, Renji baru saja menutup pintu. Pria itu entah baru dari mana, yang pasti atribut pakaiannya lengkap. Berlapis-lapis sweater, mantel luar selutut yang sangat hangat dengan syal abu-abu tebal.
Bahu dan pucuk kepala Renji dijatuhi bekas-bekas salju. Di tangan, pria itu menenteng sebuah tas kertas belanjaan.
Ginnan tidak mengenali logo toko berkilaunya. Yang pasti, dia yakin benda yang dibeli di dalam sana tidak mungkin berharga murah.
"Kau... darimana saja?"
Sebelum Renji menjawab, terdengar bel lagi yang ternyata adalah dari dua petugas hotel. Mereka masih muda, memakai seragam hitam putih dengan rok mekar, dan mendorong masuk meja makan malam yang beroda.
"Permisi..."
Renji menunjuk satu spot. "Taruh disana."
"Baik."
Dan mereka berdua langsung keluar lagi setelah menata semuanya dengan rapi. Walaupun Ginnan sempat merasa diawasi untuk beberapa lama.
"Kau sudah makan malam?" tanya Renji. Pria itu menoleh kepadanya dengan wajah datarnya yang masih sama.
"Belum," jawab Ginnan. "Tentu saja belum."
Renji lepas-lepas syal dan mantelnya. Lalu duduk. Pria itu meletakkan belanjaannya sembarangan di sebelah kakinya. "Kalau begitu duduk," katanya. "Kecuali kalau kau tidak lapar."
Ginnan bingung. Dia meremas bathrobe-nya sekilas sebelum benar-benar duduk di sebelah Renji. Seperti telah melupakan segalanya, pria itu menyasar sumpit dan pisau untuk menyantap bagiannya. Membuat Ginnan keki. Seketika.
Bukankah dia adalah pria yang sama, yang tadi menyuruhnya masuk kamar mandi seperti sedang melihat pengemis berbaju kumal?
"Kenapa?" tanya Renji lagi. Pria itu sampai berhenti mengunyah dagingnya dan menoleh.
"Kau yang kenapa."
"Aku?"
"Kau memesan porsi sebanyak ini untuk apa?" tanya Ginnan. Keningnya sampai membentuk kerutan-kerutan kecil. Dan jawaban Renji tak terduga.
"Makan saja yang kau suka," katanya. "Aku hanya tidak tahu seleramu." Lalu lanjut makan begitu saja.
"Apa?"
Renji tak menanggapi. Ginnan sampai mengusap tengkuk salah tingkah. Pasalnya... mungkin karena dia tadi sangat-sangat putus asa, sekarang di sofa ini dia masih ber-bathrobe putih tanpa memakai apapun lagi. Pikirnya, begitu keluar Renji pasti langsung menghancurkannya. Tapi, sekarang...
"Kau tidak lapar rupanya—"
"Tidak! Bukan begitu!" sahut Ginnan cepat. Dia segera mengambil sumpitnya sendiri tanpa sadar. "Aku lapar kok. Aku sangat-sangat lapar. Jadi, terima kasih..."
"Hn."
"Tapi..." Ginnan menatap piringnya yang masih kosong dan hidangan luar biasa banyak di depannya. "...tapi lain kali sebaiknya kau bertanya dulu. Maksudku, lihat semuanya. Mana mungkin kita sanggup menghabiskan. Walau kau tak perlu cemas, kalau daging pasti kumakan."
Mengomel-ngomel. Renji sampai tak berkedip meliriknya, kali ini. Ginnan sendiri tidak sadar dan segera memperbaiki ucapannya.
"Yeah... barusan aku hanya beri saran yang terbaik. Daripada kau boros parah seperti ini"
"Kalau begitu makan saja."
Setelah itu, Ginnan pun mengikuti alur. Dia ikut makan dalam diam. Tapi memperhatikan gerak-gerik Renji sesekali.
Pria itu tak seburuk kelihatannya, dan Haru memang benar. Dia bisa memperlakukan seseorang dengan baik asal tertarik. Ralat, bahkan cenderung berlebihan.
"Dagingmu hampir jatuh." kata Renji.
Ginnan segera sadar sudah tak mengunyah sejak tadi. "Eh, ya." Lalu melahap potongan paha ayam di sumpitnya.
Di depan, televisi berubah channel beberapa kali. Renji memindah-mindahnya dengan tatapan mata malas. Sesekali sambil minum jus dan berdehem, sampai menemukan siaran ulang film Naruto Shippudden entah jaman apa. Yang pasti, adegan yang ditampilkan masih masa kecil tokoh itu dan sialnya... sampai masa ciuman pertamanya dengan Sasuke di bangku Konohagakuen.
Adegan kecelakaan yang legendaris.
Ginnan sudah pernah menonton bagian ini dengan Hiro dan mereka berdua menertawakannya waktu itu. Tapi tentu, sekarang tidak mungkin bisa.
"Mn... ngomong-ngomong... kapan kau akan menggunakanku?" tanya Ginnan. Begitu program siaran itu sudah berakhir.
Renji meletakkan piring kosongnya dan menyulut rokoknya dengan raut muka heran. "Kenapa?"
"Mn... maksudku, aku bisa jadi mulai mengantuk."
Ginnan mengalihkan pandangannya ke piring, Renji justru menjawab dengan santai. "Kalau mengantuk, tidur saja."
"Apa?"
"Kau tuli?"
Ginnan menggeleng keras. Mereka lantas saling bertatapan.
"Tidak. Tentu saja tidak."
"Jadi, kau ingin bercinta denganku?"
DEG
"Tidak! Tentu saja juga tidak!" seru Ginnan secepat angin. Tapi sial, pria itu sudah beralih fokus dan meraih sisi wajahnya saat ini.
"Masokis..." katanya. Lalu meniup wajah Ginnan dengan asap. Membuat lelaki itu terpejam erat dengan bulu mata bergetaran. "Kau bukan perokok rupanya. Bagus sekali."
"Mn—hei...tentu saja," kata Ginnan. Begitu kepulan itu mulai hilang. "Aku tidak suka menjalani hidup kurang sehat."
"Ho..." kata Renji. "Tapi kau baru saja memanggilku."
"M-Memanggil? Apa?!"
Wajah Ginnan pias seketika.
"Memang kau mau kalau sungguhan kumintai seks?"
DEG
"Kapan aku—"
"Siapa yang tadi gemetaran di bawahku?"
Dan pias itu mulai dihiasi rona merah.
"Aku... aku tidak gemetaran."
Mata Ginnan langsung menegang. Tak mau asal diremehkan.
"Ho... oke. Anggap saja tidak begitu."
Ginnan meremas sendoknya tanpa sadar. "Yah aku... setelah kupikir-pikir... ini memang kerjaanku. Kalau terpaksa harus kuberikan, mau bagaimana lagi."
"Kalau begitu tutup matamu."
"Apa?"
Bola mata Ginnan melebar.
"Aku menyuruhmu untuk tutup mata."
"Oh, oke."
Sejujurnya, Ginnan benci dirinya sendiri. Jika tadi dia sudah membangun kepercayaan diri, itu seperti hanya percuma. Nafas Renji sudah mendekat ke lehernya saat ini. Beraroma nikotin memabukkan. Tapi kali ini minus asap. Pria itu pasti sudah mematikan ujung rokoknya.
"Jantungmu berisik."
Kalau bisa, Ginnan ingin punya tiga mata untuk melihat apa yang terjadi di luar sana.
"Mn... i-ini kan pertama kalinya aku dengan pria," jawabnya refleks. "Jadi... menakutkan."
Setelah itu, sesuatu yang lembut melumat bibirnya perlahan-lahan. Rasanya basah, dan agak pedas. Saus daging yang masih sarat ikut andil merasai lidah Ginnan. Tapi hanya sebentar, lumatan itu sudah pergi.
Ginnan menyadari hanya nafasnya yang berubah agak berat.
"Sekarang kutanya, kau mau aku menggunakan pengaman atau tidak?"
DEG
"P-Pengaman?"
Mata Ginnan terbuka seketika.
Dan sialnya, potret ekspresi menggelikan terpantul jelas di bola mata emas Renji yang ada tepat di depannya.
"M-Maksudku... aku tidak tahu," Ginnan membuang muka. "Tapi biasanya hal seperti itu ditentukan klien."
"Kalau begitu tidak usah."
DEG
Ginnan sampai terbeku menatap lantai mendengarnya.
"Lagipula kau masih steril."
Ginnan meremas sendoknya lebih erat. Dan Renji pasti melihat semua jejak kegugupannya. "T-Terserah saja..." katanya. Tapi masih tetap diam hingga Renji bertanya seringan angin.
"Kau mau kutelanjangi atau lepas-lepas sendiri?"
"Aku..." Ginnan meletakkan piringnya ke meja dan meneguk ludah. "S-Sendiri. Kalau boleh aku mau melakukannya sendiri..."
Renji pun hanya memperhatikan. "Jangan lama-lama."
Ginnan menatap pria itu dan menguatkan diri. "Apa aku boleh menutup mata juga."
"Ck. Terserah."
Ginnan pun langsung menutup mata. Namun, dia sendiri menyadari bahwa jemarinya gemetaran saat melepaskan tali bathrobe.
Pria ini melihatnya. Melihatnya. Melihatnya dengan sangat jelas. Dari ujung kepala hingga kaki. Menelanjangi diri sendiri untuk dijadikan wanita di atas ranjang—
TIDAK!
DEMI APAPUN HATI NURANINYA MENOLAK UNTUK ITU!
"T-Tunggu... aku berubah pikiran," kata Ginnan. Masih dengan menutup mata. "Bisa kau saja yang lakukan? Aku... aku benar-benar tidak bisa—"
"Merepotkan."
DEG
Ginnan menahan napas kala merasakan tangan itu menarik talinya dalam satu hentakan. Membuat simpulnya berantakan dan kerahnya meluncur sebelah jatuh ke bahu.
Ya tuhan! Ya tuhan! Ya tuhan!
Tuhan Buddha! Tuhan Hindu! Tuhan Kristen! Tuhan mana saja!
Saat ini Ginnan baru menyesal tidak percaya adanya tuhan!
"Rileks. Aku belum menyentuhmu."
Ginnan tahu itu. Tapi jadi tegang memang maunya? Tidak! Tentu saja tidak!
"B-Bisa kau lebih cepat?"
"Tidak."
"Kau sangat senang menyiksaku."
Detik-detik berikutnya, mungkin karena terlalu tegang... Ginnan sibuk dengan isi pikirannya sendiri. Sampai-sampai dia tak menyadari gerakan Renji jauh dari bayangannya.
"Sudah."
"Apa?"
"Kubilang sudah dan buka saja dua matamu."
Dari mata kiri, Ginnan memicing baru membuka mata kanan. Disana, Renji tetap ada di depannya. Tapi pria itu tampak baru usai menyimpulkan tali yang baru saja dia tarik.
Kali ini tampak lebih rapi dari sebelumnya. Bahkan kerahnya yang jatuh pun dikembalikan ke tempat semula.
"Kenapa?"
Renji menatapnya.
"Aku harus menjawab pertanyaanmu?"
"Tidak," kata Ginnan. "Sebenarnya aku ingin tahu. Tapi kau mungkin tidak mengatakannya."
"Benar."
"Apa... kau benar-benar tidak jadi melakukannya?"
"Menurutmu?"
Ginnan keki. Dia sampai tetap terpaku ke pria itu... bahkan hingga seringai jahilnya muncul sambil menyesap wine merah.
"K-Kau!"
Seketika wajah Ginnan merona hebat. Sadar dia baru saja dipermainkan sangat parah.
"Hahaha... wajah yang sangat-sangat hebat," celutuk Renji sambil geleng-geleng kepala. "Reaksimu bahkan seperti perawan umur belasan."
"APA KATAMU?!"
"Hahaha..."
Renji justru beranjak dari sana. Pria itu membawa gelas wine-nya malas-malasan dan menuju tempat tidur. Disana, dia menghabiskan minuman itu sebelum kemudian membanting diri tanpa peduli. Tubuhnya melintang di atas ranjang. Tak rapi. Lalu menutup mata dengan lengan.
Tidur. Begitu saja.
Ginnan langsung mengumpat sekasarnya.
"KEPARAT! APA-APAAN YANG BARUSAN?!" teriaknya tak habis pikir. Dia justru langsung merasa sangat murahan. Sudah keluar dengan bathrobe seperti ini. Putus asa. Malah hanya dikerjai?
Ginnan bersumpah ingin menggigit pria itu meski sekali dalam hidup.
"Ya sudah aku mau ganti piama! Awas saja kalau kau ingin menyentuhku!" bentak Ginnan. Dengan bersungut-sungut, dia beranjak ke ruang ganti Renji... yang tentu seperti lemari wardrobe orang kaya pada umumnya. Luas, penuh baju, dan ditata dalam struktur.
Sudah bisa ditebak kalau dalamnya berlapis-lapis. Kebanyakan tuksedo, kemeja, dan mantel. Tapi sepatu, aksesori, dasi, dan piama juga tak kalah banyak. Ginnan sampai tak heboh lagi melihat semua motifnya yang penuh dengan kartun imut. Ah, ralat. Beberapa juga dari muka legendaris Naruto, Luffy, dan Conan si Detektif. Ginnan pun mengambil satu yang Naruto. Warnanya kuning terang dan dia keluar masih dengan emosi berat.
"Awas saja kau—"
BRAKH! CTAR!
Itu adalah setumpuk buku. Yang jatuh dari nakas bersamaan. Diikuti suara gelas pecah dan kacamata patah.
Dia atas lantai itu, cairan wine yang tersisa pun meluber pelan-pelan. Lalu semua kekacauan yang ada diperparah dengan isi perut yang dimuntahkan oleh Renji. Pria itu mencengkeram pinggiran nakas dengan napas bersengalan dan nyaris jatuh jika saja Ginnan tidak segera memburunya.
"HEI JANGAN BERCANDA!"
Ginnan memegangi bahu Renji, pria itu justru mendorongnya mundur dan muntah sekali lagi.
Semua makan malam yang baru dikunyahnya beberapa menit lalu ikut keluar tanpa sisa. Ginnan sampai ingat pemandangan Yuki di kamarnya beberapa hari lalu. Tapi, tidak. Muntah kedua orang ini beda sebab.
Yuki hanya terlalu mabuk dan lambungnya tidak kuat dengan alkohol. Sementara Renji terlalu terguncang dan seluruh tubuhnya menolak untuk berjalan dengan normal.
Lagi-lagi, pria itu tidak memperlihatkan gejala bulimia yang berarti hingga taraf mulai parah. Dan sekarang wajahnya kembali sepucat ikan mati. Padahal beberapa saat lalu masih berlagak sebagai orang brengsek.
"KAU INI KETERUSAN!" bentak Ginnan. Dia benar-benar tidak tahan. Didorongnya Renji hingga bersandar pada bantal yang bertumpuk. Lalu mengguncangnya seperti sedang mengadili. "KALAU ADA MASALAH CURHAT SEPERTI BIASA TIDAK BISA YA?! BUKANKAH KAU MANUSIA PALING TIDAK TAHU MALU?!"
Renji justru menyeringai dan terkekeh. "Bodoh..."
Ginnan sampai panas seketika.
"Apa sih yang kau pendam?!" tanya Ginnan sebal. "Masalah mantanmu lagi? Pekerjaan terlalu berat? Teman brengsek atau ada hubungannya dengan manajermu?"
Renji justru pingsan setelahnya.
.
.
NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karean di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.