Chapter 3 - A Friendly Person

12 Agustus, 2018

.

Terhitung sudah seminggu lamanya, aku bertemu denganmu untuk pertama kali. Dan sudah seminggu lamanya aku selalu mendengar sebuah perkataan, yang menyebutkan bahwa dirimu mulai didekati oleh banyak orang.

.

Saat itu aku belum menjadi siapa-siapamu, bahkan tidak pantas untuk disebut sebagai teman dekat ataupun teman biasa. Namun, aku memutuskan untuk mengakhiri status tersebut dengan mencoba mengirim pesan singkat kepadamu, melalui aplikasi LINE.

.

Haloo, apa kabar? Sebuah sapaan singkat yang ku kirim, dan membuatku teringat akan keluguanku sebagai laki-laki pada masa itu. Lega rasanya, ketika kamu membalas sapaan itu dengan cepat. Aku pun langsung membeberkan alasan, mengapa aku ingin memulai sebuah obrolan denganmu pada hari itu.

.

Tak kusangka, alasanku tersebut nyatanya dapat membawa kita menuju ke berbagai macam topik yang tidak terpikirkan olehku. Layaknya 2 orang yang sudah berkenalan sejak kecil, obrolan kita mengalir begitu saja. Aku tidak bisa menjelaskan perasaan ku pada hari itu, karena orang lain pasti tidak bisa memahaminya.. bahkan dengan Tuhan sekalipun.

.

Obrolan kita berlanjut hingga beberapa hari kedepan, dan aku memutuskan untuk tidak membeberkannya kepada teman-temanku. Hari-hari ku saat itu terasa seperti mimpi, disaat diriku sedang jatuh ataupun stress, hanya pesan darimu yang membuatku semangat, dan semakin percaya akan adanya suatu harapan di dalam setiap masalah.

.

Apakah kamu ingat saat aku mengajarimu bahasa jawa? Apakah kamu masih ingat arti dari kata "wangun" yang sebenarnya? Sampai-sampai dirimu bertanya kepada ibumu, hingga membuatku tertawa seperti orang gila di rumah. Kebahagiaanku itu terus berlanjut, aku rela mengorbankan beberapa tugas maupun penilaian, hanya demi memiliki waktu untuk mengirimkan pesan kepadamu. Buru-buru membeli pulsa data hanya untuk sekedar menanyakan keadaanmu, hingga memaksakan diriku untuk belajar matematika.. meskipun besoknya aku ulangan Biologi, demi bisa membantumu untuk mengerjakan soal-soal sulit, dan memiliki kesempatan untuk mengobrol denganmu hingga larut malam.

.

Namun, aku telah membuat suatu kesalahan yang akan menjadi salah satu penyesalan terbesar di dalam hidupku. Aku terlalu membawa perasaan ke dalam obrolan kita, saat dirimu memberi tahuku.. bahwa ada salah satu temanmu yang menaruh perasaan kepadaku, aku hanya bisa berharap kalau seseorang itu adalah kamu. Ku mencoba untuk mengajak mu melakukan sebuah penggilan, namun kamu menolaknya dengan halus.

.

Saat itu aku sadar, bahwa aku masih belum menjadi seseorang yang berarti di dalam kehidupanmu, dan kamu hanya menganggapku sebagai teman biasa. Hari-hariku yang terasa seperti mimpi, berubah menjadi sesuatu yang terlalu hancur untuk diceritakan. Hingga aku harus menerima kenyataan, bahwa dirimu memang memiliki sifat fleksibel kepada semua orang.

.

Betapa bodohnya aku, memutuskan untuk menyerah begitu saja.. hanya karena harus berhadapan dengan saingan yang begitu banyak. Aku akui saat itu diriku masih menjadi lelaki dengan mental tempe, yang ingin mendapatkan segala hal secara instan. Saat itu, aku memang belum pantas untuk menyebutmu sebagai gebetan, karena egoku yang masih terlalu besar, dan sifat kekanak-kanakan yang masih melekat erat di dalam diriku.

.

Hingga pada akhirnya, aku memutuskan untuk memendam perasaanku dalam-dalam.. dan mencari berbagai macam pelarian, hanya demi melupakanmu.

.