Vano baru saja keluar kelas saat mendapati seorang kakak kelas menghadang langkahnya.
"Bisa bicara?"
Mengernyitkan alis, Vano memilih untuk mengabaikannya.
"Lo tau apa yang mau gue bicarain kan?"
"Bukan urusan lo!"
"Cuma pengecut yang berani bikin perempuan nangis" ucapan itu sukses membuat Vano menghentikan langkah dan menatap kakak kelasnya tak suka.
Dan disinilah mereka berada, taman didekat tempat parkir.
"Maksud lo apa?" tanya Vano menatap kakak kelasnya yang ia tahu bernama Rava.
"Gue cuma gak suka cara bicara lo sama Aline!" balas Rava memicingkan mata.
Vano mendengus dan tersenyum miring, "jadi tuh cewek ngadu sama lo? Ngadu apalagi dia?".
"Gue denger pakai telinga gue sendiri tadi pagi, Aline itu saudara lo kan?" ujar Rava tak mengerti kenapa Vano terlihat sangat membenci Aline.
"Gue gak sudi punya saudara seorang pembunuh!" balas Vano meninggikan suara.
Rava yang tidak mengira akan mendengar hal seperti itu tentu saja membulatkan mata.
"Pembunuh?"
"Ya! Dia pasti gak cerita sama lo kan? Dia yang udah ngebunuh bunda gue! Karena dia gue harus kehilangan orang yang paling gue sayang!" terang Vano meremat kepalanya.
"Gak mungkin!" gumam Rava belum bisa percaya.
"Terserah kalau lo gak percaya, lo bisa tanya sendiri sama orangnya" ucap Vano sebelum pergi meninggalkan Rava yang mematung.
Pembicaraan keduanya juga mampu membuat seseorang yang mendengarkan di balik pohon membulatkan mata tak percaya.
#####
Karena tak menemukan obatnya di mana pun, Aline segera pergi ke rumah sakit untuk kembali membeli obat. Tak lupa gadis itu mengunjungi sang tante guna mencari tahu alamat rumah Tasya.
Setelah mendapatkan alamat Tasya, Aline segera pulang untuk mencarinya.
Ternyata tempat yang ia cari tak jauh dari tempat tinggalnya.
Membunyikan bel rumah, Aline menunggu untuk di bukakan pintu. Melihat Rava yang membuka pintu membuat gadis itu tersenyum senang karena itu artinya dia tak salah rumah.
"Hai Kak Rava, bisa Aline ketemu Tasya?" sapa Aline ramah.
Rava menatap Aline tak suka dan melipat kedua tangan di depan.
"Lo pikir gue bakal ngijinin Tasya main sama pembunuh kayak lo" hardik cowok itu.
Aline yang tak siap mendapat balasan kejam seperti itu sempat mundur satu langkah. Gadis itu menatap Rava tak percaya.
"Maksud kak Rava apa?" tanya gadis itu tak mengerti.
"Alaaahh, gak usah sok baik, gue tau lo itu seorang pembunuh, jadi lebih baik mulai sekarang lo gak usah nyari Tasya lagi" pinta Rava menutup pintu rumahnya keras membuat Aline terperanjat.
Dengan gemetar gadis itu melangkah pelan meninggalkan rumah Rava. Air mata sudah mengalir di pipinya.
"Aline bukan pembunuh! Aline bukan pembunuh" gadis itu terus menggumam. Segera menghentikan taksi untuk membawanya pergi.
Sementara itu Tasya yang mendengar sedikit keributan segera keluar kamar.
"Ada apa Sya?" tanya Rava menghampiri sang adik.
"Tadi siapa kak?" tanya gadis itu.
Menghela nafas, Rava berjongkok di depan adiknya.
"Mulai sekarang kakak harap kamu jauhin Aline ya, dia itu berbahaya" pinta Rava pada sang adik.
Sontak Tasya mengernyit tak setuju mendengarnya.
"Bahaya gimana kak? Kak Aline itu baik kok" ujar gadis itu membantah.
"Udah, kamu nurut sama kakak aja" pinta Rava.
"Jadi yang tadi kesini kak Aline ya kak, kenapa kakak nggak panggil Tasya?" keluh Tasya tak suka.
"Tasya, turuti apa kata kakak, mulai sekarang kamu harus jauhin Aline!" ucapan Rava sudah final dan tak ingin di bantah.
"Asal kak Rava tahu ya, cuma Kak Aline yang mau temenan sama cewek buta kayak aku, cuma kak Aline juga yang mau nemenin aku di saat aku sendirian di rumah sakit! Bahkan suster Jessy bilang.... "
"Cukup Tasya stop! Kakak nggak mau dengerin apapun!" pinta Rava, Tasya menggigit bibir bawah guna menahan tangis yang hendak keluar.
Di suatu tempat yang luas dengan batu nisan yang tertata rapi, disinilah Aline berada. Menangis memeluk nisan sang bunda. Tak memperdulikan apabila bajunya kotor oleh tanah.
"Kenapa sesakit ini bunda? Jika Aline bisa memilih, Aline memilih untuk menggantikan tempat bunda saat itu. Agar kak Vano tetap bahagia dan ayah tidak kehilangan cintanya. Bunda yang harusnya masih disini dan Aline yang berbaring didalam sana. Aline nggak kuat bunda, bahkan sakitnya penyakit ini tak semenyakitkan saat kehilangan orang-orang yang Aline sayang. Jika memang Tuhan akan mengambil nyawa Aline saat ini, Aline siap bunda. Akan lebih baik jika Aline menghilang dengan begitu tidak akan ada lagi kebencian di hati kak Vano, dan ayah bisa pulang untuk mengunjungi makam bunda. Aline menyerah bunda" dan setelahnya hanya kegelapan yang dirasakan oleh Aline.
######
Moza menutup mulut tak percaya mendengar penjelasan dari apoteker yang ia tanyai perihal obat yang ia temukan. Gadis itu tak menyangka sahabatnya menderita penyakit mematikan seperti itu. Bahkan selama ini Aline hidup sebatang kara, bagaimana bisa dia melewati semua rasa sakitnya.
Setelah mengucapkan terima kasih, Moza segera berpamitan dan menuju ke rumah sahabatnya. Namun Bi Minah bilang Aline pergi untuk mengunjungi teman, sedangkan Moza tahu sahabatnya itu tak mempunyai banyak teman.
Akhirnya Moza memutuskan untuk pulang dan berbicara dengan Aline esok hari.
Sementara itu Dirga yang baru saja berkunjung di makam sang adik, mengernyitkan alis melihat ada seseorang yang tertidur di makam. Mencoba mendekatinya, cowok itu membulatkan mata saat mengenali siapa orang tersebut.
"Aline!" ucap Dirga menghampiri sang adik kelas yang tak sadarkan diri.
Dirga mencoba menepuk pipi Aline namun tak ada balasan apapun. Segera ia angkat gadis itu kedalam mobil dan langsung ia bawa ke rumah sakit.
Tak langsung pulang, Dirga memutuskan menunggu hingga kejelasan kondisi Aline keluar.
Tak lama cowok itu melihat seorang dokter keluar dari ruang UGD dan segera menghampirinya.
"Gimana kondisi teman saya dok?" tanya Dirga.
"Jadi kamu yang membawa keponakan saya kemari? Terima kasih saya ucapkan" ujar Soraya tersenyum kecil.
"Keponakan?" bingung Dirga.
"Iya, nama saya Soraya, adik mendiang bundanya Aline" terang Soraya.
Dirga menganggukkan kepala paham, "tadi saya menemukan Aline tak sadarkan diri di makam".
Soraya menghela nafas lelah, "gadis itu pasti mengunjungi makam bundanya" ujarnya pelan.
"Sebenarnya Aline sakit apa dok? Saya juga pernah menemukan dia mimisan disekolah" tanya Dirga menuntut.
Soraya memutuskan mengajak Dirga ke ruangannya agar bisa menjelaskan dengan nyaman.
"Jadi?" ucap Dirga memulai.
"Aline mempunyai penyakit kanker darah, dan itu sudah stadium akhir" ucap Soraya pelan.
Dirga sama sekali tidak menyangka bahwa penyakit berbahaya seperti itu yang tengah dialami oleh Aline.
"Kanker darah? Tapi bagaimana bisa?" bingungnya.
Soraya mulai menceritakan tentang kecelakaan yang dialami Aline dan ibunya. Wanita itu juga menceritakan tentang kondisi Aline yang dibenci oleh ayah dan saudara kembarnya.
"Setelah acara pemakaman kakakku, hasil pemeriksaannya keluar. Disana aku mengetahui bahwa kakakku ternyata mempunyai penyakit kanker darah, dan karena penyakit itu berpotensi untuk menurun di anaknya. Akupun segera melakukan pemeriksaan pada Aline yang saat itu belum sadarkan diri. Dan ternyata dugaannku benar, Aline menuruni penyakit tersebut meski baru tahap awal. Aku sudah berulang kali meminta Aline untuk melakukan operasi atau kemo, namun gadis itu menolaknya. Ia berfikir bahwa ini hukuman yang pantas untuknya dan juga karena di dunia ini sudah tidak ada yang menginginkan keberadaannya" air mata menetes di pipi Soraya saat menceritakan kondisi sang keponakan.
"Apakah anda sudah mencoba menghubungi ayah Aline?"
"Tentu saja, tetapi setelah kematian kakakku, ayah Aline memutuskan pergi keluar negri untuk mengurus perusahaan dan menolak apapun yang berhubungan dengan Aline. Begitu juga dengan Vano yang sudah tertutup hatinya untuk peduli pada sang adik".
Dirga sama sekali tidak menyangka bahwa Aline menjalani hidup yang sangat sulit. Di usianya yang seharusnya mendapat perhatian dari orang tua, justru kehilangan sosok ibu bahkan saudara dan ayahnya juga lebih memilih untuk menghilang. Bahkan harus menghadapi penyakit mematikan itu seorang diri.
Jika dia gadis yang lemah mungkin sudah sejak lama Aline memutuskan untuk bunuh diri, pikir Dirga.
Tbc