"Vano"
"Bunda" ujar Vano memeluk sosok yang sangat ia rindukan.
"Selamat ulang tahun sayang" ujar bunda Vano mengusap punggung anaknya.
"Vano kangen bun, kenapa bunda harus pergi ninggalin Vano?"
"Semua ini sudah ketetapan Tuhan sayang, tidak ada yang bisa mengubahnya"
"Tapi Vano gak rela bun"
"Vano harus berusaha rela, karena masa depan Vano masih panjang. Lalu kenapa Vano mengingkari janji Vano sama bunda?"
"Janji?"
"Eumm, bukankah Vano janji akan menjaga Aline? Kenapa kamu mengingkarinya sayang?"
"Karena gara-gara dia, bunda harus pergi"
Bunda Vano menggelengkan kepala tak setuju.
"Meski tak ada kecelakaan itu, suatu saat bunda juga harus pergi kerena penyakit bunda"
"Penyakit?"
"Iya, penyakit yang sama yang tengah dialami adik kamu. Kalian itu saudara Vano, apapun yang kalian rasakan saudara kalian pasti juga merasakan. Kesedihanmu pasti juga dirasakan oleh Aline. Kamu laki-laki Vano, perasaanmu pasti jauh lebih tegar dari pada Aline yang seorang perempuan. Adik kamu itu lemah, dia sangat rapuh. Dengan tidak adanya kamu dan ayah kamu disisinya coba bayangkan bagaimana dia bisa bertahan? Kembalilah Vano, sayangilah adik kamu seperti dulu lagi. Genggam tangannya dan jagalah dia. Atau jika memang kamu tak mau, biarlah bunda yang menjaga Aline.
"Apa maksud bunda? Bun.. Bunda... "
"Bunda!" ucap Vano terbangun dari mimpinya, nafas laki-laki masih memburu, mencoba untuk fokus, laki-laki itu beranjak untuk mencuci muka.
Melihat pantulan wajahnya di cermin, Vano kembali teringat dengan sosok Aline yang tadi siang ia lihat. Wajah sedih gadis itu dan perkataan bundanya di dalam mimpi mampu menyiksa perasaannya.
Tak menunggu lama, Vano segera meraih jaket dan kunci motornya, pergi berlalu meninggalkan apartmenya.
#####
Malam itu Aline pulang ke rumah dalam keadaan kacau. Setelah berjam-jam menangis di makam sang bunda dan berjalan tanpa arah di taman gadis itu memutuskan untuk pulang.
Bi Minah yang menunggunya sudah sangat khawatir, apalagi melihat penampilan Aline.
"Ya ampun, non Aline kenapa?" ucap Bi Minah panik.
"Aline nggak pa-pa kok Bi, Aline ke kamar ya" ujar Aline berlalu menuju kamarnya.
Sedangkan Bi Minah memilih ke dapur guna membuatkan makanan hangat untuk Aline tanpa tau bahwa Aline jatuh tak sadarkan diri sesaat setelah memasuki kamarnya.
Bi Minah segera berlari ke depan saat mendengar ada suara motor. Begitu membuka pintu, wanita itu langsung menutup mulut tak percaya.
"Ya ampun, den Vano? Akhirnya den Vano pulang, kasihan non Aline selalu sendirian den" ujar Bi Minah tanpa sadar menitikan air mata.
"Aline di rumah Bi?" tanya Vano mengusap bahu wanita yang dulu selalu merawatnya.
"Ada den, baru saja non Aline pulang, sekarang ada di kamar, dia pasti seneng lihat aden pulang lagi" terang Bi Minah semangat.
"Yaudah Vano ke kamar Aline ya Bi" pamit Vano segera berlari menuju kamar Aline yang berada di lantai dua.
Begitu memasuki kamar sang adik, Vano segera membulatkan mata menemukan sang adik sudah tidak sadarkan diri.
"Aline!" teriak cowok itu menghampiri sang adik.
Mendengar teriakan Vano, Bi Minah segera menyusul ke lantai dua.
"Ada apa den? Ya ampun non Aline" ujar Bi Minah histeris.
"Cepat cari taksi bi" pinta Vano yang langsung dilaksanakan oleh Bi Minah.
Wanita paruh baya itu langsung menghubungi taksi yang biasa mengantar Aline ke sekolah. Beruntung supir taksi tersebut tak jauh dari rumah Aline.
Vano segera membawa tubuh Aline ke dalam taksi dan membawa adiknya itu ke rumah sakit.
Afka yang kebetulan ingin ke rumah Aline tak sengaja melihatnya dan segera menyusul taksi tersebut ke rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit, Aline segera di tangani di ruang ICU. Soraya yang melihat keberadaan Vano pun menghampiri keponakannya itu.
"Akhirnya kamu ingat jika masih memiliki saudara ya Vano" ujar Soraya menatap Vano tanpa ekspresi.
"Sebenarnya Aline sakit apa Kak?" tanya Vano, terlihat jelas kekhawatiran di wajahnya.
"Leukimia stadium akhir" ucap Soraya sebelum memasuki ruang ICU.
Vano sama sekali tak bisa merasakan kekuatan di kakinya. Cowok itu jatuh terduduk di kursi tunggu. Sementara Afka yang juga mendengarnya hanya bisa diam mematung. Kedua cowok itu kini tengah dilanda perasaan bersalah dan penyesalan yang sangat besar.
Di benak Afka saat ini terlintas berbagai kenangan tentang Aline. Tentang dia yang dekat dengan para penderita cancer dan juga dia yang sangat bahagia ketika pergi bersama Afka.
Sementara yang bisa di ingat oleh Vano adalah sosok Aline yang semakin lama semakin pucat dan kurus serta wajah penuh kesedihan dari gadis itu.
Tak lama, terlihat Moza datang bersama Dirga dan Rava. Melihat ada Vano, gadis itu langsung menghampirinya dan memukuli lengan Vano.
"Puas lo sekarang ha? Puas? Ini kan yang lo mau? Lo bahagia pasti kan sekarang?" cerca Moza yang langsung di tahan oleh Dirga.
"Udah Za, udah!" ujar cowok itu menenangkan sahabat Aline.
"Kenapa kak? Kenapa Aline harus punya saudara seperti dia?" keluh Moza menutup wajahnya menangis.
Dirga meraih Moza dalam pelukannya dan mengusap punggung gadis itu.
"Aline sahabat gue yang paling baik kak, kenapa dia harus nanggung semua kebencian yang bukan karena kesalahannya?"
Tangisan Moza membuat Vano, Afka dan Rava menunduk menyesal.
Terdengar bunyi ponsel dari Vano, segera cowok itu menjawabnya.
"Hallo Yah?"
"Kenapa Van? Kamu tadi nelfon ayah?".
"Vano mohon ayah pulang!"
"Buat apa? Kamu butuh uang? Biar ayah transfer"
"Bukan yah, Aline sakit"
"Pasti ini hanya akal-akalannya dia kan?"
"Bukan yah, Aline beneran sakit, sekarang Vano juga lagi dirumah sakit"
"Buat apa kamu membohongi ayah Vano, kamu tahu kalau ayah tidak peduli kan"
"Vano mohon kali ini aja ayah pulang! Aline sakit yah, kondisinya sudah parah! Bahkan Vano nggak tau sampai kapan dia bertahan, demi Tuhan Ayah, Vano mohon, Aline masih anakmu, dia satu-satunya saudara Vano" bahkan Vano sampai berlutut meski sang ayah tidak bisa melihatnya.
"... "
"Yah?"
"Kamu tidak berbohong kan?"
"Ya ampun Yah, nyawa Aline lagi kritis mana mungkin Vano bohongin Ayah"
"Ayah pulang sekarang"
Setelah menutup telfon Vano menangisi segala penyesalannya. Kenapa dia begitu dibutakan oleh kebencian. Kenapa dia tega meninggalkan adiknya seorang diri melawan penyakitnya.
Berjam-jam mereka menunggu di depan ruang ICU dengan keheningan. Tak ada yang berniat untuk beranjak sedikitpun. Hingga akhirnya Soraya keluar bersama dokter yang lain, mereka pun segera mendekatinya.
"Tan gimana kondisi Aline?" tanya Vano tak sabar.
Soraya menetap mereka satu-persatu sebelum menggelengkan kepala lemah membuat tangis Moza pecah seketika.
"Kalian bisa menemuinya, ucapkan apa yang ingin kalian sampaikan untuk yang terakhir kali" ucap Soraya mempersilahkan.
Moza yang pertama kali mendekati Aline. Dilihatnya sang sahabat yang membuka mata dan tersenyum lemah menyambutnya.
"Aline maaf, gue belum bisa jadi sahabat yang baik buat lo, tapi lo harus tau kalau gue sayang banget sama lo" ujar Moza meraih tangan Aline dan menempelkan di pipinya.
"Aku juga sayang sama kamu Za, makasih udah nemenin aku selama ini" ucap Aline lemah.
"Line, gue minta maaf buat semua perkataan kasar gue" ucap Rava menggenggam tangan Aline.
"Iya kak, nggak pa-pa, salam buat Tasya ya, semoga sebentar lagi dia bisa melihat" balas Aline.
"Gue bersyukur Tuhan ngenalin gue ke lo meski cuma sebentar, lo ngasih banyak pelajaran buat gue Lin, da lo juga ngingetin gue sama almarhum adik gue" kini Dirga yang berucap sambil mengusap kepala Aline.
"Aku juga bersyukur kak, makasih ya" balas Aline.
Dan kini Afka yang mendekati Aline, "gue tau gue gak pantes dapat maaf dari lo, tapi gue tetep minta maaf Line, perkataan gue pasti udah nyakitin perasaan lo. Gue cuma mau lo tau kalau gue sayang sama lo, sejujurnya gue gak mau kehilangan lo Line" tuturnya penuh sesal.
"Aku udah maafin kak Afka, makasih kak udah mau nemenin hari-hari terakhir Aline, Aline juga sayang kak Afka" ucap gadis itu tersenyum menatap Afka.
Sebelum beranjak Afka mencium kening Aline.
Dan kini giliran Vano yang mendekat, Aline tersenyum bahagia melihat kakaknya.
"Kak Vano disini?"
"Maafin kakak Line, maaf untuk semua perkataan kasar kakak, maaf karena sudah meninggalkanmu, maaf karena sudah membencimu, maaf karena telah memarahimu, maaf karena sudah membiarkanmu berjuang sendiri, walau seribu maaf tak akan cukup tapi kakak tetap memohon maafmu" sesal Vano mencium tangan Aline berkali-kali.
"Aline nggak pernah marah sama kakak, kak Vano nggak perlu minta maaf"
"Kak Vano rela nuker separuh nyawa kakak untuk kesembuhanmu Line, apa aja akan kakak lakuin, kakak sayang sama kamu" Vano mencium seluruh wajah Aline penuh sayang.
"Aline juga sayang kak Vano, Aline juga sayang ayah, tolong beritahu ayah ya kak"
"Ayah bentar lagi sampai Line, kakak mohon kamu tunggu ya"
Sesaat Aline mencoba menarik nafas pelan sebelum menggelengkan kepala.
"Kak Vano, Aline lelah, Aline juga kangen bunda, bunda udah jemput Aline, Aline mau ikut bunda, boleh ya?" balas Aline lirih, Vano menangis mendengar perkataan sang adik.
"Bunda udah jemput Aline?" tanya Vano di telinga Aline dan gadis itu menganggukan kepala dengan tangan terulur seolah menyambut uluran tangan seseorang.
"Tolong bilang ke bunda, kak Vano minta maaf ya, kak Vano gak bisa jagain kamu, sekarang kamu boleh tidur, kamu bisa istirahat dengan tenang" ucap Vano yang setelahnya melihat Aline menghembuskan nafas terakhir. Cowok itu memeluk Aline erat mengeluarkan segala tangisnya.
Moza menangis di pelukan Dirga yang setia berada disampingnya. Rava dan Afka menundukkan kepala. Di pintu terlihat ayah Aline dan Vano yang baru saja datang dan jatuh berlutut penuh sesal.
End