Chereads / The Lost Of Love / Chapter 11 - TLOL. 10

Chapter 11 - TLOL. 10

Malam itu meski kondisi Aline sangat lemah, dia memaksa untuk pulang kerumah. Soraya yang mengetahui kondisi Aline jelas melarangnya. Namun setelah memberi penjelasan bahwa gadis itu ingin merayakan ulang tahun di rumah, Soraya dengan berat hati pun mengijinkan.

Dihari ulang tahunnya yang mungkin akan jadi yang terakhir, Aline berencana memberi orang-orang yang ia kenal sebuah hadiah kecil. Gadis itu memutuskan untuk membua macaroon.

Kenapa? Karena dulu kue itulah yang sering ia buat bersama sang bunda.

Setelah selesai, tak lupa ia menyimpannya di beberapa kotak menyerupai kotak kado.

Esoknya, Bi Minah sudah menyiapkan sebuah tart untuk ulang tahun Aline.

"Selamat ulang tahun non Aline" ujar Bi Minah membuat Aline tersenyum hingga hampir menangis.

"Makasih Bi" ucap Aline memeluk Bi Minah, satu-satunya orang yang selalu menemaninya merayakan ulang tahun setelah kepergian sang bunda.

"Ucapin doa dulu Non" pinta Bi Minah saat Aline hendak meniup lilin.

Gadis itu pun memejamkan mata dan mulai melantunkan doa yang selalu sama tiap tahun.

'Tuhan permohonanku hanya satu, tolong berikan kebahagiaan untuk ayah dan juga Kak Vano-Amin'.

"Happy Birthday kak Vano" gumam Aline sebelum meniup lilin.

"Kalau begitu bibi siapin sarapan dulu ya Non" ucap Bi Minah mengusap kepala Aline penuh sayang sebelum beranjak meninggalkan kamar Aline.

Setelah kepergian Bi Minah, Aline segera meraih kamera record yang sudah ia siapkan sebelumnya.

Selesai dengan video yang ia buat, gadis itu segera bersiap untuk berangkat sekolah.

Aline bisa melihat sosok Afka yang baru saja keluar dari area parkir. Saat di rasa Afka melihat ke arahnya gadis itu melambaikan tangan menyapa. Namun bukannya balik menyapa, Afka justru melengos dan berlalu begitu saja.

Segera senyum Aline memudar melihatnya. Menghela nafas, Aline berpikir mungkin Afka tak benar-benar melihatnya.

Sesampainya di kelas Aline segera menyerahkan sebuah kotak pada Moza, kotak yang sama yang juga ia berikan pada Tasya melalui satpam.

"Makasih ya Line, ini lo sendiri yang buat? Dalam rangka apa?" tanya Moza setelah membuka kotak berisi kue macaroon.

Aline menganggukkan kepala sebagai jawaban, "bukan apa-apa, lagi pengen bikin aja" kilahnya, karena memang Aline tidak pernah memberitahukan perihal ulang tahunnya pada Moza.

"Trus yang itu buat siapa?" tanya Moza melirik satu kotak lagi yang ada di meja Aline.

"Ini mau aku kasih ke kak Afka" ujar Aline tersenyum malu.

"Lo suka ya sama kak Afka?" tanya Moza menahan senyum. Gadis itu ikut bahagia jika sahabatnya ini bahagia.

"Mungkin" balas Aline dengan wajah memerah.

"Akhirnyaa ada juga yang bisa bikin sahabat gue jatuh cinta" Moza yang senang segera meraih lengan Aline.

"Line, gue mau lo jujur sama gue?" pinta Moza yang entah kenapa berubah serius.

"Apa?" tanya Aline bingung.

"Bener lo punya penyakit kanker darah?" tanya Moza pelan.

Aline membulatkan mata tak menyangka Moza mengetahui tentang penyakitnya.

"Kamu tau dari mana?" tanya Aline ragu.

Moza mengeluarkan botol obat yang dia temukan. Aline pun paham dari mana akhirnya sabatnya itu tau.

"Jadi bener Line?" kekhawatiran terlihat jelas di wajah Moza apalagi setelah Aline menganggukkan kepala.

"Kenapa nggak pernah cerita Line? Gue kan sahabat lo" keluh Moza.

"Sudah cukup banyak kesedihan yang aku ceritain ke kamu Za, aku nggak mau nambah lagi" terang Aline berusaha tersenyum.

"Maafin gue Line, maafin gue yang nggak bisa jadi sahabat terbaik buat lo" sesal Moza.

Aline meraih Moza dalam pelukannya, "justru kamu sahabat terbaik yang aku punya Za".

Moza mengamati wajah sahabatnya dan mengernyit saat melihat wajah Aline yang terlihat pucat.

"Line, wajah lo pucet, lo mending istirahat di ruang kesehatan aja ya" ajak Moza yang langsung disambut gelengan kepala oleh Aline.

"Aku nggak pa-pa kok Za, tenang aja okey?" pinta Aline.

"Tapi kalau lo ngerasain sakit langsung bilang gue ya!"

"Siap ibu komandan"

Saat istirahat Aline mencari Afka untuk memberikan kue buatannya. Setelah berkeliling ternyata laki-laki yang ia cari berada di kantin bersama kedua sahabatnya.

"Kak Afka, aku ada sesuatu buat kakak" ucap Aline mengangsurkan sebuah kotak pada Afka.

Sesaat cowok itu menatap kotak yang dibawa Aline sebelum menepisnya membuat kotak itu jatuh dan isinya berhamburan.

Melihat kue buatannya di tolak sekejam itu oleh Afka sukses membuat Aline merasakan sakit di hatinya.

"Kenapa?" gumam Aline pelan. Saat ini mereka menjadi pusat perhatian warga kantin.

Dirga yang duduk disamping Afka menatap sahabatnya itu tak mengerti.

"Lo bilang kenapa?" ujar Afka pelan mengabaikan air mata yang mengalir di pipi Aline.

"Lo kira gue mau nerima pemberian dari seorang pembunuh macam lo?" hardik Afka menunjuk Aline tak suka.

Gadis itu sudah menutup mulut menatap Afka kecewa.

"Gue gak mau deket-deket sama pembunuh macam lo, lebih baik sekarang lo pergi!" pinta Afka menunjuk jalan keluar kantin.

Aline memundurkan langkah perlahan dan menggelengkan kepala sebelum berbalik berlari meninggalkan kantin. Langkah gadis itu berhenti tepat didepan Vano yang menatap kejadian di kantin dalam diam.

"Aline harap setelah ini kak Vano bisa hidup lebih bahagia" gumam gadis itu kembali berlari dan kini gadis itu berlari meninggalkan sekolah.

Dikantin sontak Aline menjadi bahan perbincangan. Dirga yang kesal menarik kesal kerah Afka.

"LO GILA!!" bentak Dirga.

Afka segera menepis lengan Dirga, "buat apa lo belain cewek pembunuh itu Ga?" ujarnya keras.

"Lo gak tau apapun!" desis Dirga menahan amarah.

"Apa yang diucapkan Afka bener Ga, lo gak pantes belain tuh cewek pembunuh!" kini Rava yang berucap.

"DIAM!!" sentak Dirga menatap kedua sahabatnya bergantian, "lo berdua gak tau apapun! Aline bukan pembunuh, semua itu kecelakaan, bahkan jika gadis itu bisa milih, dia lebih milih buat gak selamat, dari pada harus menerima kebencian dari saudara dan ayahnya sendiri" terang Dirga sebelum beranjak meninggalkan kantin.

Moza yang mendengar kabar tentang Aline segera mencari keberadaan sahabatnya itu. Namun setelah berkeliling sekolah gadis itu masih belum bisa menemukan Aline.

Saat hendak kembali ke kelas dia melihat Vano berjalan bersama Ricky, segara saja ia menghampirinya.

Plak!!!

Sebuah tamparan langsung Moza layangkan pada Vano.

"Lo gila!" ujar Ricky tak terima sementara Vano hanya menatap Moza kesal.

"Temen lo yang gila!" sentak Moza menunjuk Vano.

"Lo punya masalah sama gue?" tanya Vano pelan tak suka.

"Bukan gue, tapi Aline" Vano sontak memutar mata karena kembali mendengar nama adiknya.

"Dia lagi" gumam Vano malas.

"Lo bener-bener gak punya hati ya Van, bertahun-tahun lo tega nelantarin saudara lo sendiri dan sekarang lo tega sebut dia seorang pembunuh?" ujar Moza tak bisa menahan kesabaran.

"Lo gak tau apapun! Gara-gara dia gue kehilangan nyokap gue!" balas Vano meninggikan suara.

"Tapi bukan cuma lo aja yang kehilangan Van, Aline juga kehilangan! Bukan keinginan dia kecelakaan itu terjadi dan bukan keinginan dia pula untuk selamat. Dan asal lo tahu, dari pada hidup dengan menanggung kebencian dan kesendirian, Aline lebih milih buat Mati!" perkataan Moza itu mampu menyentak hati Vano, namun laki-laki itu lebih memilih mengeraskan hatinya.

"Kalau gitu kenapa dia gak mati sekalian?" ujar Vano tanpa ekspresi di wajahnya.

Bugh!

Sebuah pukulan mendarat di pipi Vano mengakibatkan cowok itu terjatuh.

"Lo bakal nyesel!" ucap Dirga tajam.

"Gue harap lo nggak bakal nangis di pemakaman Aline nanti" desis Moza sebelum berbalik meninggalkan Vano dan juga murid lain yang sejak awal melihat.

Dirga beralih pada kedua sahabatnya yang juga berada di tempat yang sama.

"nyesel kan sekarang lo berdua" cibir Dirga pada kedua sahabatnya.

Setelahnya cowok itu lebih memilih menyusul sahabat Aline guna mencari sang adik kelas.

Moza benar-benar dibuat khawatir dengan ketidak beradaan Aline di sekolah. Bahkan Dirga juga ikut membantunya mencari keberadaan Aline namun tetap saja hasilnya nihil.

Telfon Moza juga tidak di angkat oleh Aline.

Tbc