Surabaya, 31 Desember 2020
"Aku yang membunuhnya."
Sebuah ungkapan yang tak pernah San bayangkan akan terucap dari mulut pria yang sudah menemaninya selama setahun ini. Seolah menolak percaya atas apa yang ia dengar, gadis cantik itu masih terdiam untuk beberapa saat. San blank. Otaknya seolah berhenti bekerja. Bahkan kebisingan warung kaki lima tempat keduanya singgah untuk meneduh dari hujan saat hendak pulang dari kampus tak dapat ia rasakan. San tenggelam ke dalam pikirannya sendiri.
Perasaannya kini terasa begitu abstrak, tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. San harusnya bahagia karena di pergantian malam usianya akan bertambah. Ditambah lagi kini ia bersama dengan orang yang dicintainya. Namun bagaimana ia bisa bahagia jika harus mengetahui fakta yang selama ini berusaha ia cari?
"Dia tidak akan kehilangan nyawanya jika bukan karena aku." Suara baritone yang biasanya terdengar begitu menyenangkan dan menggetarkan hati, entah mengapa kini terdengar begitu menyakitkan di telinga San. "Aku yang menjadi penyebab kejadian itu," lanjut pria yang seumuran dengannya.
San masih membisu dengan mata memerah dan berkaca-kaca, siap untuk menumpahkan air matanya.
"Aku tahu ini pasti berat untukmu. Namun semua telah terjadi dan berlalu. Kedua orang tuamu pasti ingin kamu bahagia. Bahkan dia yang sudah jauh di sana, aku yakin tidak ingin membuatmu sedih berlarut karena kepergiaannya. Aku harap mulai sekarang kamu bisa mulai melanjutkan hidupmu lagi, San." Terdengar samar helaan nafas berat pria itu di akhir kalimatnya. Sejujurnya, semua yang ia katakan juga tidak mudah untuknya.
Pria bermata sipit namun tajam itu menoleh ke arah San yang masih terdiam. Sorot matanya yang biasanya tajam tanpa ekspresi, kini menatap San sarat akan rasa bersalah dan penyesalannya. Setelah menimbang-nimbang dengan cukup lama, pria tampan itu memutuskan untuk mengambil sebuah amplop dari ranselnya. Ia taruh amplop itu di meja yang ada di hadapan San. Kertas amplop itu terlihat sudah sedikit termakan usia namun masih mulus, nampak pria itu menyimpannya dengan baik selama ini. "Itu adalah pesan terakhirnya untukku. Mungkin dengan membacanya, kamu dapat melengkapi puzzle-mu yang hilang."
Petir menggelegar di langit yang kini telah menggelap karena jam telah menunjukkan pukul 17.48 WIB. Matahari telah sepenuhnya tengggelam jauh di ufuk barat dan bintang pun bersembunyi di balik gelapnya awan yang kini sedang menangis. Semilir angin berhembus lumayan kencang diiringi dengan semakin derasnya tetesan hujan yang turun. Seolah mengerti kesedihan San dan mewakilinya untuk menangis.
Merasa tak kunjung mendapat respon dari San yang masih syok, pria itu beranjak dari bangku yang ia tempati. "Pak, habis berapa semuanya?" tanya pria berparas rupawan itu sopan ke pemilik warung yang sedang meracik kopi pesanan pelanggannya.
"Tunggu sebentar, Mas ganteng," respon pemilik warung itu ramah sembari menyelesaikan kesibukannya membuat kopi. Seusai menyerahkan kopi tersebut ke meja si pemesan, ia mendekat ke pria yang telah menunggunya untuk membayar jajanannya. Tak lupa si pemilik warung membersihkan tangannya mengggunakan serbet yang menggantung di kantung celananya terlebih dahulu sebelum mengambil kalkulator yang tergeletak di meja kasir. "Sama punya Mbak cantik sekalian?" tanya pria paruh baya itu memastikan.
"Iya, Pak. Sekalian saja semua dihitung." Pria itu mengeluarkan dompetnya dan mengambil uang lima puluh ribuan. Anggap saja dia cari praktis karena cukup dengan selembar uang itu pasti akan menerima kembalian. Hal yang harus kalian ingat jika pria yang menjadi salah satu idola di kampusnya ini adalah tipe orang yang tak suka ribet.
"Tadi habis apa saja, Mas?" Si pemilik warung bersiap untuk menghitung dengan senjata perang kesayangannya.
"Satu susu hangat, satu jeruk hangat, dua bakwan sama satu nasi goreng mawut," sebut pria bertubuh cukup atletis itu santai karena dia mengingat jelas apa yang mereka pesan.
"Sudah semua yah, Mas. Totalnya tiga puluh dua ribu," ucap pemilik itu setelah selesai dengan hitungannya di kalkulator usang termakan jaman yang ada di genggamannya.
Pria itu menyerahkan uang yang telah ia siapkan sebelumnya. "Ini, Pak."
Pemilik warung dengan cekatan menerima uang itu dan segera mengambil kembalian untuk pelanggannya. Pelayanan cepat dan baik, itu adalah motonya selama ini. Tak heran jika warungnya terus ramai meski semakin bertambahnya saingan di area kampus Universitas Goldwill tiap tahunnya. "Makasih ya, Mas." ucapnya sembari memberikan uang kembalian itu.
Pria itu hanya menerima dan menjawabnya dengan seulas senyum. Atensi pria itu kembali ke gadis cantik yang berada di sebelahnya. Pria itu melirik ke derasnya hujan sembari berpikir tentang kemungkinan dirinya untuk menerobosnya saja. Tentunya ia tahu pasti jika San butuh waktu sendiri dan tak ingin melihatnya saat ini.
Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi karena kemungkinan hujan akan bertambah deras, pria itu segera mengambil jaket yang tersampir di ranselnya. Dengan cekatan ia memakainya dan menutupi rambutnya dengan tudung jaket itu. Saat hendak mengambil ranselnya, ia menoleh sejenak menatap San. Ditepuknya pelan bahu gadis cantik yang selama ini telah menemaninya, mewarnai hidup kelabunya, dan tak lupa juga mencuri hatinya. "San," panggil pria itu lirih namun cukup jelas untuk di dengar.
"Kamu bisa membenciku, menyalahkanku atau apapun itu. Semua itu adalah hakmu. Aku telah bersalah padanya dan sekarang padamu." Ada jeda sebentar untuknya mengambil nafas sebelum melanjutkan perkataannya. "Aku bersyukur dan bahagia telah mengenalnya. Aku juga berterima kasih padanya karenanya aku bisa bertemu dan mengenalmu. Terlepas dari perasaanku terhadapnya, aku menyayangimu. Aku harap kamu bisa menjaga dirimu dengan baik, San. Aku pergi dulu."
Pria itu memutuskan untuk melangkah pergi meninggalkan gadis yang sangat ia cintai itu sendirian. Meski berat ia paham harus meredam keegoisannya untuk tetap menemani San karena sadar jika San membutuhkan space untuk sendiri. Dengan langkah mantap, ia menerobos derasnya hujan tanpa ragu. Ia mengabaikan keinginannya untuk menoleh ke belakang tempat gadis itu berada. 'Semoga keputusanku kali ini benar. San berhak bahagia,' doanya tulus.
San bukan dungu atau bodoh hanya karena ia diam saja saat mendengar penjelasan pria itu bahkan saat dia memutuskan untuk pergi. San hanya masih belum siap menerima potongan puzzle terakhirnya yang akan melengkapi teka-teki yang selama ini berusaha ia selesaikan. Ditatapnya sendu sepucuk surat berbalut amplop berpita bunga matahari yang tergeletak di meja depannya. Setetes air mata akhirnya berhasil lolos dari sudut matanya yang kini telah memerah karena sedari tadi menahan agar tidak menangis. Ia mengusapnya asal dengan punggung tangannya, namun percuma karena tetesan-tetesan lainnya terus membasahi pipi mulus bak porselen.
Tangan ramping gadis cantik itu meraih amplop yang berisikan tentang kenangan terakhir si penulisnya. Digenggamnya dengan kedua tangan dan dibawanya ke dalam pelukan tubuh mungil gadis itu seolah tak ingin surat terakhir peninggalannya rusak. San mulai terisak, kali ini ia menangis tanpa bisa menahannya lagi. Hujan turun bertambah lebatnya, petir menggelegar semakin kencang. Langit meraung selayaknya raungan hati gadis itu.
TBC