Jakarta, 7 Juni 2019
Brukkk!
Pranggg!
Suara benda jatuh diiringi dengan suara pecahan benda berbahan kaca terdengar dari gudang yang berada di basement rumah mewah keluarga Julius sore hari itu. Penyebabnya tentu saja putri dari pemilik rumah bak istana, San Natasha Julius. Ia tanpa sengaja menyenggol tumpukan kardus di atas lemari saat hendak mengambil kardus mixer yang berada tepat di sebelahnya. Niat hati ingin membuat kue dengan asisten rumah tangganya, namun sepertinya harus tertunda karena kekacauan kecil yang baru saja ia ciptakan.
Sepasang netra karamel San menatap frustasi ke arah barang-barang yang berhambur keluar dari kardus yang terjatuh itu. Ia menyadari sebagian besar barang itu sudah tidak berbentuk setelah terjatuh cukup keras dari atas lemari yang cukup tinggi. Bahkan dapat dipastikan jika guci antik milik mamanya sudah hancur berkeping-keping karena ikut terjatuh bersama barang lainnya.
"Haduh! Apa yang sudah kulakukan?" erang gadis yang belum genap berusia 19 tahun itu kesal akan kecerobohannya.
"Sabar, San," peringat San berusaha menenangkan dirinya sendiri sembari mengatur nafas.
Terdengar suara beberapa pasang langkah kaki berjalan tergesa-gesa mendekati pintu gudang. Raut penuh kekhawatiran terpampang jelas di wajah para pelayan rumah mewah ini. Ketiga pelayan berpaut usia itu takut jika terjadi sesuatu hal pada nonanya setelah mendengar suara keras dari arah gudang. Bagaimanapun tugas utama mereka di rumah ini adalah melayani dan menjaga San. Jika ia sampai terluka, dapat dipastikan ketiga pelayan itu yang akan kena imbasnya. Mereka tentunya tidak ingin mendapat omelan dengan kemungkinan terberatnya diberhentikan kerja oleh majikannya karena tidak becus mengurusi putri tercintanya. Namun apalah daya, nona yang harus mereka jaga bukan tipe seseorang yang hanya diam menerima segala pelayanan diberikan. Ya, San termasuk seorang gadis yang aktif dan selalu ingin melakukan semua hal yang ia inginkan sendiri.
Salah seorang pelayan pribadi San, Mustika Wulansih, langsung meraih ganggang pintu dan membukanya setiba mereka di depan pintu gudang.
"Non, apa yang terjadi?" tanyanya panik seraya menghampiri dan memastikan kondisi majikannya.
Sebuah cengiran tanpa dosa terpatri di wajah San ketika melihat raut khawatir asisten rumah tangga yang paling dekat dengannya itu. "Hanya sedikit masalah. Aku gak apa-apa kok," jawab San meyakinkan Mustika untuk tidak khawatir.
Kekhawatiran perempuan yang berusia sepuluh tahun lebih tua dari San itu berkurang. Berganti dengan sorot kelegaan yang terpancar jelas dari wajah manisnya. Ia bergidik ngeri membayangkan bagaimana jika nonanya terluka tertimpa barang-barang yang jatuh dari atas lemari. Alamat dirinya tidak bisa membayar SPP bulan depan sekolah anaknya di kampung.
"Non, mixer-nya sudah ketemu?" tanya Mustika kalem.
"Sudah, Kak Mus," jawab San sambil memamerkan kardus mixer yang telah berhasil ia temukan. "Tebakanku benar kan kalau mixer-nya Kakak simpan di gudang," imbuhnya memuji diri sendiri yang hanya disahuti oleh gelengan makhlum dari para pelayannya, mengingat mereka sudah kebal dengan segala kelakuan sang nona muda.
"Iya, Non. Untung saja ketemu mixer-nya. Kalau tidak, Dik Mus pasti kena ceramah rohani Nyonya," timpal Lestari Ningsih, salah satu pelayan yang lebih lama bekerja di rumah San dibandingkan Mustika.
"Sudah-sudah!" lerai pelayan yang paling muda, Sari Dewanggi. Ia harus segera mengakhiri pembicaraan kurang berfaedah antara kedua senior dengan nona San sebelum melenceng ke topik yang lain. Bukannya ia tidak suka mengobrol santai dengan nona San yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Namun masih banyak yang harus mereka lakukan. Pekerjaan harian mereka masih menumpuk dan pasti harus membereskan kekacauan di gudang ini terlebih dahulu sebelum menyelesaikan tugas yang lain.
"Kerjaan kita masih banyak yang belum kelar. Ayo kita cepat bereskan ini semua sebelum tuan dan nyonya sampai rumah!" ajak Sari setelah mengingatkan kedua seniornya untuk bergegas melanjutkan pekerjaan mereka.
"Kalau begitu, Nona San lanjutin saja dulu bikin kuenya sama Bibi Lestari," saran Mustika pada majikannya. "Biar saya sama Sari saja yang bersihin ini, Non," tambahnya sembari mulai memunguti barang-barang yang berceceran.
"Eh? Gak usah, Kak Mus. Aku aja yang beresin ini sendiri," tolak San menahan pergerakan Sari dan mengambil-alih barang-barang yang ada di tangan pelayan itu.
"Tap_" Perkataan Mustika terpotong saat San memberikan isyarat untuk diam dengan menempelkan jari telunjuknya ke bibir pelayan itu.
"Ssttt!" hardik San. "Tugas kamu beres-beres masih banyak. Nanti kalau gak selesai, kamu bakal diomelin Mama loh. Udah sana-sana!" usirnya sambil mendorong paksa ketiga pelayannya agar keluar dari gudang. Tentunya ia langsung menutup pintu itu agar tak ada lagi yang mengganggunya beres-beres.
"Yosh! Cepat selesaikan, San!" serunya menyemangati diri sendiri.
Gadis berparas cantik itu segera menata barang-barang yang masih utuh kembali ke kardusnya. Ia juga memisahkan barang-barang yang hancur ke kardus agar bisa langsung dibuang setelah ia selesai membereskan semua ini. Jangan heran mengapa ia tidak menyuruh para asisten rumah tangganya dan memilih membereskannya sendiri. Tentu saja karena San termasuk tipe gadis yang tidak suka menyusahkan orang lain selagi ia bisa melakukannya sendiri. Terlebih jika tentang bertanggung jawab akan kesalahan yang ia perbuat. Bisa dibilang dia adalah gadis yang sangat mandiri untuk ukuran anak orang berada.
###
Setelah sekitar tiga puluh menit berkutat merapikan kembali barang-barang yang San jatuhkan. Kini tinggal kardus terakhir berisi buku-buku. Sepertinya bagian bawah kardus itu robek sehingga tidak bisa digunakan lagi. Akhirnya, San memutuskan untuk menata buku-buku itu ke bagian rak lemari yang masih kosong.
"Yay! Bentar lagi kelar," seru San bahagia dengan senyuman manis terukir di bibir peach-nya. 'Setelah ini selesai, aku bisa langsung membuat kue stroberi favoritku,' batinnya senang sembari membayangkan tekstur lembutnya cake dan asam-manisnya buah stroberi.
Seolah energinya terisi kembali setelah membayangkan bagaimana nikmatnya kue kesukaan gadis itu, San menata buku-buku lebih cepat. Namun sesekali pekerjaannya terhenti karena tertarik membaca judul buku yang hendak ia letakkan di rak lemari. Sebagian besar buku-buku itu adalah buku pelajaran maupun novel sewaktu ia masih SD dan SMP. Buku yang sudah sangat lama tidak pernah ia jamah karena kini dirinya akan masuk sebagai mahasiswi di salah satu universitas bergengsi di Surabaya.
Jangan heran mengapa ia memilih untuk melanjutkan kuliah di Surabaya padahal di Jakarta sendiri banyak universitas yang lebih bagus dari kota terbesar nomor dua se-Indonesia itu. Tentunya karena San ingin mencoba hidup mandiri dan bebas dari pengaruh kedua orang tuanya yang selalu memanjakannya. Ia ingin seperti anak-anak seumurannya yang bebas melakukan apa pun yang mereka inginkan. Ia ingin mencoba banyak hal yang selama ini dilarang kedua orang tuanya dengan alasan keselamatan padahal San yakin ia akan baik-baik saja. Alasan ia memilih kota Surabaya tentunya bukan hanya karena letaknya yang cukup jauh dari Jakarta, tapi di sana juga tempat dimana neneknya tinggal. Kedua orang tuanya tidak mungkin sanggup melarangnya jika San menjadikan alasan ingin menemani neneknya sebagai alasan utamanya.
Aktivitas San menata buku di lemari terhenti saat pandangan sepasang netra indah itu terfokuskan pada sebuah buku bersampul bunga matahari. Entah mengapa, San merasa jika buku yang terasa sangat familiar itu seolah sedang memanggilnya. Perlahan namun pasti buku itu seolah menyerap seluruh eksistensinya.
San dapat membaca sebaris huruf berinisial, SNJ, tertulis indah dengan tinta emas di cover buku tersebut. Dugaannya sementara yang paling masuk akal jika itu adalah nama inisial dari si pemilik buku tersebut. Namun sedetik kemudian, San terhenyak saat menyadari sesuatu yang janggal.
"Apa-apaan ini?!" kagetnya saat menyadari hal yang terlewat.
"Mengapa inisial pemilik buku ini sama dengan inisial namaku?" tanyanya bingung.
San segera membuka buku itu dengan cepat dan mencermati beberapa bait tulisan pada setiap lembarnya. Dari raut wajahnya yang terlihat sangat syok setelah membaca isi dari buku yang ternyata adalah sebuah buku harian milik seseorang. Sepertinya apa yang ditemukannya bukanlah hal bagus dan akan membawa pengaruh untuk kehidupannya.
"Apa ini sebuah lelucon?" tanyanya masih tidak dapat mempercayai apa yang baru saja ia ketahui.
"Tulisannya sama persis dengan tulisanku. Apa benar aku yang menulisnya?" ungkapnya dengan disertai tawaan hambar yang malah terdengar sumbang.
Berbagai pemikiran berkecambuk dalam otaknya. San berusaha mengingat-ingat kembali ingatan masa lalunya. Namun anehnya tak ada satupun ingatan yang memberinya petunjuk tentang buku ini. "Tapi jika iya, kapan aku menulis semua ini?"
"Aku bahkan tak mengingat pernah punya hobi menulis," selorohnya sembari membuka kembali halaman pertama buku harian tersebut hendak membacanya dengan lebih seksama.
---
Surabaya, 16 Septemer 2015
Hai…
Mungkin terdengar konyol, tapi ini adalah pertama kalinya aku menulis buku harian.
Tiba-tiba aku ingin mengabadikan setiap momen indahku. Untuk itu aku memutuskan membeli buku harian ini.
Kuharap aku bisa mengisi buku ini dengan sesuatu yang berarti di hidupku.
Apa aku takut melupakannya suatu hari nanti?
Atau malah aku yang takut terlupakan?
Entahlah, aku sendiri tidak mengerti.
Untuk hari ini, sekian dulu yah.
SNJ
---
Halaman pertama buku itu pun berakhir. Seulas senyum tipis terukir di bibir San. 'Apa benar ini milikku?' batinnya ragu. Karena rasa penasarannya terhadap buku harian yang baru saja ia temukan, San akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamar dan meneruskan untuk membaca halaman selanjutnya. Ia bahkan melupakan acara membuat kue yang begitu ia inginkan tadi.
Setiba gadis itu di kamar, ia langsung berbaring di ranjangnya dan membuka halaman kedua dari buku harian itu.
---
Surabaya, 20 September 2015
Terima kasih…
Sebenarnya itu yang ingin kukatakan saat kamu menyelamatkanku tadi sore. Tapi yang kulakukan malah langsung berlari meninggalkanmu tanpa sepatah kata. Aku tidak mengerti mengapa bibirku seolah terkunci saat bertatapan denganmu. Salahkan diriku yang terlalu pemalu walau hanya sekedar bertegur-sapa. Kuharap kamu tak membenciku dan menganggapku aneh.
Jika saja kamu tidak menolongku, mungkin aku akan terjatuh dan berakhir di rumah sakit karena melamun saat menaiki tangga jembatan penyeberangan. Banyak masalah yang kualami hari ini sampai aku tak memperhatikan langkahku.
Saat ini aku tidak tahu namamu, tapi setidaknya aku tahu dimana sekolahmu dari seragam yang kamu pakai. Sayang sekali kita berbeda sekolah. Tapi paling tidak jarak sekolah kita berdekatan. Kuharap suatu saat nanti kita bisa berkenalan.
Untuk saat ini aku akan menyebutmu, Sunflower. Jangan salahkan aku karena senyummu secerah matahari saat aku menatapmu tadi.
Terima kasih juga karena kamu, aku bisa mengisi buku harian ini.
SNJ
---
'Pertemuan macam apa ini? Seperti di drama-drama Korea saja,' pikir San mengomentari cerita pertama dari si penulis buku harian itu. Ketika hendak membaca halaman ketiga buku harian itu, terdengar suara ketukan pintu yang membuat ia terpaksa menghentikan aktivitasnya.
Tok! Tok! Tok!
Sari salah seorang pelayan San membuka pintu kamar nonanya. "Non San, maaf mengganggu. Non Mila sudah datang. Katanya Non San sudah janji mau pergi sama Non Mila."
"Eh? Mila? " tanya San bingung sembari mengingat-ingat hal yang ia lupakan.
"Astaga, Mila!" San kaget ketika teringat janjinya untuk menemani Mila membeli gaun untuk prom night di SMA mereka. Bagaimana pun ini adalah prom night terakhir karena sebentar lagi mereka bukan pelajar SMA lagi. Tentunya kedua gadis cantik itu ingin tampil maksimal di prom night.
"Sudah dulu yah, Non. Saya mau lanjut bantuin Bibi Lestari masak makan malam," pamit gadis itu seraya pergi kembali ke dapur untuk melanjutkan aktivitas memasaknya.
Tanpa ba-bi-bu lagi, San langsung bangkit dan siap-siap untuk pergi. Tentunya ia tidak ingin ketahuan melupakan janji dengan sahabat dekatnya itu. Ia sedang malas berurusan dengan omelan Mila karena dirinya sering ngaret saat akan berpergian dengan gadis itu.
TBC