°
°
°
Jika Alena menghabiskan malamnya bersama Rayna melalui sambungan telpon, lain lagi dengan Aditya yang sibuk menghabiskan malamnya dengan melamunkan sesuatu.
Di rumahnya, tepatnya di kamarnya Aditya tengah membaringkan tubuhnya dengan keadan terlentang. Ia menumpuk satu tangannya di atas keningnya kemudian satu tangannya lagi ia gunakan untuk memegang buku kumpulan soal matematika.
"Aghhhhh pokus Dit, lo harus pokus!." ucapnya geram pada dirinya sendiri karena sedari tadi terus saja gagal untuk memfokuskan dirinya.
Tok…tok…tok…
"Permisi, Den Adit…." ucap seseorang yang kini menampilkan kepalanya di ambang pintu.
Aditya menoleh ke arah pintu, setelah tahu siapa di sana ia langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Ia pun mengangguk mempersilahkan orang itu masuk.
"Ada apa?." tanya Aditya langsung setelah orang itu berdiri di hadapannya.
"Tuan besar bilang, Den Aditya harus ke kamarnya sekarang, ada yang harus dibicarakan."
"Oke, Bi. Makasih ya."
Orang yang dipanggil Aditya dengan sebutan Bi itu pun mengangguk kemudian langsung keluar dari kamar Aditya. Seperginya orang itu, Aditya menghela nafasnya. Ia menoleh ke arah jam dinding dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan frustasi.
"Aghhh! Pasti mau bahas itu lagi!." ucapnya kesal.
Meskipun ia kesal dan sudah mengetahui apa yang akan Ayahnya bahas, ia tetap saja bersiap menemui Ayahnya. Percuma untuknya jika terus membangkang, itu hanya akan mempersulit dirinya dan juga Ibunya. Ia pun menyimpan buku-buku soal yang berserakan di atas ranjangnya. Kemudian ia memakai sandalnya dan berjalan menuju kamar Ayahnya.
°°°
"Yah…" panggil Aditya dari celah pintu kamar Ayahnya yang terbuka.
"Masuk saja, Dit." jawab Ayahnya dari dalam.
Tanpa menjawab apapun lagi, Aditya langsung mendorong pintu itu dan masuk. Ia juga menutup pintu setelahnya, matanya memperhatikan kamar Ayahnya dengan teliti, lahirlah senyuman miris di wajahnya ketika menyadari tidak ada lagi poto Ayahnya bersama Ibunya. Sungguh miris untuknya.
"Aku terima keputusan untuk pindah sekolah." ujar Aditya tiba-tiba, ia tak lagi merasa bisa menahan semua kebohongan mengenai 'keluarga harmonis' di hadapan semua orang, dan menurutnya keputusan Ayahnya untuk memindahkannya ke luar negeri adalah hal yang sangat baik untuknya.
"Benarkah sekarang kamu menerimanya?." tanya Ayahnya memastikan.
"Secepatnya, Yah." jawab Aditya.
"Baiklah, kalau begitu sekarang kembalilah ke kamarmu."
"Cih, cuma itu?." tanya Aditya dalam hatinya.
Ia pun memfokuskan pandangannya kepada Ayahnya yang terus saja menatap layar komputer. Ia pun memberanikan dirinya untuk mendekat, lebih dekat sehingga ia berdiri di belakang kursi Ayahnya.
"Ada apa?." tanya Ayahnya dengan kening yang bertaut.
"Tidak tidur di kamar Ibu?."
Deg!
Keheningan pun dimulai, suasana kamar itu kini berubah drastis. Sepasang tangan Ayahnya Aditya yang dari tadi sibuk bergerak di atas keyboard kini berhenti, tangannya mengepal kuat hingga menunjukkan urat-uratnya nan kebiruan. Aditya dapat merasakan amarah yang masih Ayahnya pendam, namun sekeras mungkin ia mencoba untuk tetap tenang, baginya sudah terlanjur seperti ini keadaannya, ia tahu betul hal ini akan terjadi…setelah ia menanyakan hal itu.
"Kembalilah ke kamarmu." terdengar tegas, suara itu benar-benar membuat tenggorokan Aditya tiba-tiba terasa kering.
Namun, ia tak dapat mundur sekarang. Jika tidak sekarang, ia harus menunggu waktu 3 tahun lagi. Dan apakah sampai saat itu Ibunya akan terus hidup? Bersama laki-laki tanpa hati di hadapannya ini? Aditya benar-benar meragukan itu.
"Kenapa Ayah begitu keras kepala dan dingin hati? Kami adalah orang terdekatmu. Ayah pernah mencintai Ibu, maka itulah Ay-."
"Yang kamu pikirkan itu salah Aditya, ini semua hanyalah akal-akalan Kakekmu untuk mempertahankan perusahaan keluarga kita. Ayah tak pernah mencintai Ibumu, puas? Kamu sudah cukup dewasa untuk memahami ini." jelas Ayahnya yang semakin merobek perasaan di hati Aditya.
Jika bukan karena mengingat gendernya sebagai laki-laki, ingin sekali rasanya Aditya menumpahkan segala rasa sesak di hatinya, ingin sekali ia menangis sekarang juga. Mengeluarkan semua unek-unek di dalam hatinya, betapa irinya ia ketika melihat semua orang didampingi walinya ketika pembagian raport tiba. Betapa irinya ia ketika mendengar semua teman-temannya bercerita akan keharmonisan keluarga mereka, keharmonisan yang sesungguhnya bukan seperti keharmonisan yang selalu Aditya banggakan kepada semua orang.
"Setidaknya setelah aku lahir harusnya Ayah bisa mencintai Ibu. Melihat bagaimana Ibu begitu mencintai Ayah, hatiku terus saja terasa sesak. Mencintai seorang manusia batu yang bahkan sifatnya lebih keras daripada batu!." Aditya semakin meninggikan suaranya dengan kedua tangannya yang sudah terkepal kuat-kuat.
"Keluarlah Aditya." ucap Ayahnya penuh penekanan.
"Ibu mencintai orang yang salah!." tak menghiraukan ucapan Ayahnya, ia semakin mendekat.
Ia berdiri di samping Ayahnya dengan tatapan penuh amarah, kedua bola matanya sudah memerah, pertanda ia benar-benar menahan semua perasaannya. Ayahnya menoleh ke arahnya, ia menarik napas dalam dan membuangnya secara perlahan. Kemudian ia menatap putranya itu.
"Aku tahu rasa cintamu kepada Ibumu begitu besar. Aku tahu, aku paham. Tapi, bukan berarti kamu bisa menghujaniku dengan pertanyaan dan penyataanmu itu. Aku tidak memintamu untuk mencintaiku layaknya seorang Ayah pada umumnya, anggap saja kita adalah orang asing yang saling berhutang. Kamu berhutang pendidikan kepadaku dan aku berhutang kehormatan yang terus kamu berikan padaku."
Penuturan panjang itu benar-benar menusuk hati Aditya, sudahlah jika saja hati Aditya seperti kaca yang menempel pada lemari lebarnya di kamar, mungkin kaca itu sudah pecah menjadi bagian-bagian kecil yang tak beraturan. Bayangkan saja, bagaimana Ayahnya bisa mengatakan hal itu? Orang asing yang saling berhutang katanya? Sungguh tak berperasaan.
"Jika benar begitu, baiklah," ucap Aditya menggantung, ia menarik napasnya dalam dan…
"Artinya kamu juga berhutang pada Ibuku, hutang yang tidak akan pernah bisa kamu bayar...." sambung Aditya yang berhasil membuat ekspresi Ayahnya berubah menjadi kebingungan.
"Hutang apa?." Tanyanya.
"Hutang akan kasih sayangnya kepadamu, itu tidak akan pernah bisa kamu bayar, meski dengan nyawamu sekali pun. Aku tidur." Aditya menunjukkan senyum miring yang miris kepada Ayahnya sebelum ia keluar dari kamar Ayahnya, meninggalkan laki-laki yang kini sudah menginjak umur kepala empat sendirian.
Laki-laki itu membenarkan ucapan Aditya barusan di dalam hatinya, ia sendiri bahkan menyadari kasih sayang dan ketulusan yang telah Ibu Aditya berikan padanya, namun…tetap saja ia tidak dapat mencintai wanita yang sudah menyandang status sebagai istrinya sejak 17 tahun lalu. Kenapa? Ia sendiri tidak tahu.
Namun, jangan dikira bila…rasa tidak sukanya Ayah Aditya kepada Ibunya Aditya sama dengan rasa tidak sukanya Ayah Alena kepada Ibunya Alena, keduanya sangat berbeda. Meskipun Ayahnya Aditya tidak menyukai istrinya itu ia tidak pernah bermain gila satu kali pun di belakangnya, ia masih tahu batasannya sebagai suami. Berbeda sekali dengan ayahnya Alena, bukan?
°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Assalamualaikum.
Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam.
Happy reading
Instagram : @meisy_sari
@halustoryid
Maafkan bila terdapat typo🙏🏻
Tinggalkan saran kalian❤