Chereads / Rotasi Bulan / Chapter 2 - Perselisihan

Chapter 2 - Perselisihan

Aku pikir dengan dinyataan lulus akan mempermudahku hengkang dari kampus ini. Nyata tidak semudah itu ferguso. Masih banyak kendala yang harus aku hadapi. Kendala pertama pasti mengenai revisi-revisi ujian. Jujur, Ini cukup melelahkan. Bayangkan aku harus menemui ketiga dosen secara berturut-turut. Kalaupun revisi dari salah satu dosen telahku selesaikan belum tentu beliau akan memberikan acc untuk melanjutkan tahap selanjutnya. Bisa jadi mereka akan menambah kembali revisi yang baru. Kesal kan. Padahal mereka sebelumnya tidak mempermasalahkan hal tersebut. Belum lagi ketika beliau-beliau sulit untuk ditemui. Entah sedang ada tugas dinas, penelitian, atau seminar diluar kota. Permasalahan ini seperti kembali di masa awal aku mengerjakan skripsi tapi tingkatannya lebih sulit. Yang bisa aku lakukan hanya menguatkan tekat. Tak lupa memohon kepada Tuhan agar dijauhkan dari orang yang ingin mempersulit jalanku. Aku komat-kamit lirih dengan membawa setumpuk kertas revisi dan mempercepat jalan menuju ruang dosen.

Setelah beberapa minggu aku menjalani rutinitas yang sama, akhirnya aku bisa lepas dari tahap revisi. Membawa selembar kertas acc dari ketiga dosen. Kalau sudah gini harus segera cetak nih biar bisa minta tanda tangan sakti dari dekan, wakit dekan, dan ketua jurusan. Kalau sudah dapat tanda tangan aku bisa segera yudisium pikirku. Kalau sudah yudisium kan tinggal nunggu waktu wisuda. Biar produktif saat unggu wisuda mungkin bisaku buat magang lagi atau aku pulang kampung saja ya. Tiba-tiba lamunanku terbuyar saat terdengar suara seseorang memanggilku.

"Bengong terus noh, sampai aku ngga disapa."

"Maaf Vin lagi banyak pikiran."

"Pasti pikirin mas foto ya?." Godanya

"Iya, lagi mikirin dia. Soalnya kan kamu belum bayar jasanya foto kemarin." Jawabku dengan sewot

"Astaga lan. Itukan udah lama. Lagian mas fotonya juga ngga minta ganti. Ada kamu mah gretong." Jawabnya dengan enteng

"Enak aja."

"Udah dong muka jangan ditekuk. Kenapa sih kenapa? belum dapet acc?."

"Bukan, itu udah beres semua Vin."

"Lha terus apaan?."

"Aku takut ngga bisa lulus semester ini, waktu yudisium kan mepet banget." Jawabku lirih

"Setahuku batas yudisium minggu depan masih cukup Lan. Gausah khawatir."

"Tapi Vin, surat yudisium kan bisa mundur. Tergantung Koutanya. Bisa jadi aku bakal di ikutin bulan depan. Soalnya ini udah akhir bulan."

"Udah tenang, bisa kok. Lagiankan kalaupun mundur bulan depan juga gapapa Lan. Orang jangkanya cuma seminggu aja."

"Tapi itu udah terlalu molor Vin."

"Apaan sih orang molor seminggu doang, tenang."

"Aku tuh pengen buru-buru biar selesai. Kalau nunggu dan molor kan jadi lama ngga tau sampai kapan." Jawabku dengan kesal

"Sumpah aku kesel sama kamu Lan. Udah ditenangin malah ngajak debat. Kamu tuh harus lebih tenang udah ujian dan lulus. Yang seharusnya khawatir itu aku, Lili, Ola dan Yona. Boro-boro sidang semester ini, yang ada bisa nambah semester depan lagi. Kita belum bisa ngelesaiin skripsi. Kamu seharusnya lebih bersyukur. Kalau kayak gini kamu jadi bikin insecure." Vien menjawab dengan nada marah

Aku tercekat dengan perkataannya. Apa aku salah ngomong tadi?. Kenapa Vien begitu marah? Padahal aku ngga bermaksud seperti itu. Pikirku kalau semua selesai berarti tanggungan disini udah kelar. Jadi aku bisa ngelakuin hal yang lainnya. Lagian kalau udah selesai semua ngga akan jadi beban pikirankan. Tanpa berkata apapun Vien langsung meninggalkanku. Ah, sudahlah.

Setelah insiden itu aku tak bisa bertemu dengan Vien. Tapi hari ini saat di lobby kampus aku berpapasan dengan Vien. Aku mencoba untuk memanggilnya. Tekat ku sudah bulat untuk meluruskan semuanya. Tapi nihil. Hasilnya sama saja seperti sebelumnya. Vien menolakku dengan berbagai alasan. Entah dengan alasan bertemu kelompoknya, ada deadline mengerjakan tugas, atau bertemu dengan dosen pembimbingnya. Aku paham benar jika Vien mencoba untuk menghindar. Dia enggan bertemu denganku. Mungkin saat ini, memang belum waktu yang tepat untuk menjelaskannya. Aku berusaha mengalihkan pikiran. Lebih baik aku pergi ke kantin. Mungkin mie ayam Mang Oleh bisa mengurangi rasa kesal ini. Di tengah jalan aku sudah bisa membanyangkan mie ayam Mang Oleh dengan tambahan topping bakso dan pangsit goreng.

Namun, tiba-tiba langkahku terhenti. Aku melihat Vien sedang makan bersama pacarnya, Galih. Suasana hatiku langsung berubah. Padahal saat akan ke kantin aku bersemangat.Sekarang perasaanku berubah. Untuk kedua kalinya aku berusaha menenangkan diri. Aku pun memilih tempat duduk yang jauh. Sehingga tak mudah dilihat oleh Vien maupun Galih. Tak perlu terlalu lama pesananku datang. Sudah setengah jalan aku mengahbiskan mie ayam ini. Namun Yona datang menarik kursi agar bisa duduk disampingku.

"Makan sendiri ceritanya." sindirnya dengan melirik ke arah Vien

"Gak tuh, orang aku lagi makan rame-rame." jawabku dengan mulut penuh

"Orang semeja Cuma ada kamu sendiri Lan."

"Ya kan meja ini, meja lainnya penuh. Jadi aku gak makan sendiri tapi rame-rame."

"Ngeles aja nih bambang." Aku hanya tersenyum kecut

"Masih marahan kalian?"

"Entahlah." jawabku singkat

"Buruan baikan, biar bisa main bareng-bareng lagi. Ngga enak kalau ada yang marahan. Kalau kumpul bakal awkward moment."

"Orang Vien menghindar terus. Gimana aku mau kasih tau dia. Kamu bisa bantuin Yon? Tanya ku dengan penuh harap

"Ogah ah, aku lihat dari jauh aja. Takut dikira condong sebelah. Salah kamu juga Lan kenapa dulu belum sempat cerita ke dia."

Aku tak mengelak. Perkataan Yona benar. Memang dari ke empat sahabatku hanya Vien yang belum mengetahui cerita sebenarnya. Tapi aku juga tak patut disalahkan. Menurutku Vien juga salah karena terlalu dalam memasukkan perkataan ku kedalam hatinya.

***