Chereads / Rotasi Bulan / Chapter 3 - Masalalu Enggan Beranjak

Chapter 3 - Masalalu Enggan Beranjak

Secangkir susu coklat panas mengurangi kegelisahan malam ini. Walaupun susu coklat instan lumayan membuat perasaan lebih hangat. Beruntung aku masih memiliki satu sachet susu, kalau tidak mungkin tubuhku sekarang menggigil karena dinginnya Kota Malang. Selama ini, aku masih belum bisa beradaptasi dengan dinginnya Malang. Sejak sore tadi memang sudah diguyur hujan deras. Padahal sekarang menunjukkan pukul 19 lewat 15 menit namun hujan tak kunjung reda. Aku berjalan menuju jendela untuk membetulkan tirai yang tak tertutup rapat. Di depan tirai tak sengaja melihat kaca yang tertutup embun walaupun tak penuh. Kuambil ponsel dan melihat applikasi weather 16C. Ah, pantas saja dingin. Ku lanjutkan melihat keluar jendela. Walaupun terlihat samar-samar dari atas sini karena terhalang embun tapi aku masih bisa melihat beberapa orang diluar sana berlalu lalang dengan memakai payung. Mereka masih beraktivitas disaat ujian seperti ini. untuk malam ini suasananya sangat berbeda. Redupnya lampu jalan memberian kesan pantulan warna mencolok untuk payung mereka dan itu sangat cantik.

Tiba-tiba handphoneku berdering. Dari layar muncul nama seseorang yang sangat aku kenal. Rasanya untuk saat ini aku terlalu malas untuk menjawab panggilannya. Di lain sisi aku sedikit penasaran dengan alasan dia menghubungiku kembali. Dengan ragu-ragu aku menjawab telephonnya. Terdengar suara riuh dari sana.

"Halo, dimana?" tanyanya

"Di kos, Kenapa?"

"Kalau hujan reda temenin makan ya?."

Seolah – olah ajakannya itu perintah. Seakan aku tak punya kuasa untuk menolaknya. Aku terdiam sesaat. Sedikit tersentak ketika dia menggangilku "Lan, masih disana kan?."

"Iya, nanti aku temenin." Jawabku dengan hati-hati

"Oke, kamu mau makan apa nanti?"

"Apa aja boleh, no seafood plis."

"Siap, nanti kalau aku mau berangkat aku kabarin. Dah"

Seketika telp dimatikan tanpa suara apapun. Rasanya antara sesak dan senang. Sesak karena tiba-tiba dia muncul kembali tanpa beban dan rasa bersalah. Senang karena waktu bisa mempertemukan kembali agar aku bisa mengetahui kabarnya. Mungkin ini yang dinamakan masa lalu yang enggan berlalu. Rasanya sulit ketika harus bertemu kembali dengan kamu, Bagas Putra Prabaswara.

Aku menoleh ke arah jam dinding, sudah pukul 8.30 malam. Padahal waktu makan malamku tak pernah selarut ini. Aku mencoba bersabar untuk menunggu. Sudah lewat 15 menit dari kabar pertamanya. Sethuku jarak tempat nya dengan tempatku tak terlalu jauh hanya butuh 8 menit. Tapi aku bersyukur dengan waktu selambat ini. Karena aku masih punya waktu untuk menyiapkan hati. Handphoneku berdering pertanda ada pesan masuk. Siapa lagi kalau bukan orang yang ku tunggu.

"Aku di depan." pesan singkat darinya.

Aku segera keluar kamar. Sebelum turun aku melewati balkon. Dari atas sini aku mampu melihat dia sedang memainkan handphonenya. Tampilannya masih seperti dulu. Masih suka memakai jaket denim. Aku turun melawati tanggga dengan menenteng helm ditanganku. Seperti biasa saat di depanku dia tersenyum dengan manis.

"Maaf lama tadi, masih kumpul club di kampus" jelasnya singkat.

"Club fotography?" tanyaku meyakinkan hobinya apa masih seperti dulu

"Iya, ayo naik keburu malam."

Sepanjang jalan Bagas mulai bercerita banyak tentang kegiatan perkulihannya. Sepanjang jalan pun aku juga hanya bisa menjawab iya dan tidak. Rasanya otakku ngga mau berkerja dengan baik. Hanya jawaban itu yang keluar dari mulut. Mungkin ini cara kerja otak ku untuk menutupi rasa canggung dan gelisah hati. Untungnya jarak tempat makan cukup dekat, aku terselamatkan. Untuk pilihan makan malam hari ini adalah sate Pak Sabar. Aku sudah sering makan disini. Entah makan sendiri maupun dengan gerombolan si berat. Tempat ini lumayan terkenal dikalangan mahasiswa dengan rasa yang enak dan harga terjangkau.

"Ngga papa kan makan di sini?"

"No problem. Aku sudah sering makan disini kok."

"Aku pesenin aja dulu. Ngga pedas kan?"

Aku mengangguk. Ternyata Bagas masih ingat kalau aku ngga bisa makan pedas.

"Oh ya, mau pakai lontong apa nasi?"

"Lontong aja,setengah porsi ya."

"Yaudah kamu cari tempat duduk dulu."

Ketika menunggu makanan datang. Bagas sudah membawa dua botol air mineral dan menyodorkannya. " nih, minum dulu."

Aku segera meneguk.

Tiba-tiba Bagas tertanya kembali. "Gimana kuliahnya Lan? semester akhir pasti lagi sibuk dengan tugas akhir."

"Bener, alhamdulilah lancar."

"Aku denger kabar dari Mita kamu sudah seminar hasil?"

"Iya sudah, sebulan yang lalu tepatnya." Jawabnya singkat

"Wah cepet ya, selamat. Anak-anak SMA pada heboh kamu ujian duluan. Kenapa ngga ngasih kabar kalau mau seminar sih."

"Kalau aku ngasih kabar,kamu mau dateng Gas ?"

"Pastilah." Jawabnya sungguh-sungguh

"Kabarmu rame tau diperbincangkan teman-teman SMA. Katanya kamu menjauh dari anak-anak Lan."

"Kata siapa?"

"Aku lupa siapa. Anak-anak susah ngubungi kamu."

Memang bener selama mengerjakan tugas akhir aku menarik diri dari grup teman-teman sekolah dulu. Inginku agar bisa fokus sama tugas akhir saja. Hanya orang terdekat yang tau kabarku. " Iya, biar fokus ngerjain tugas akhirnya."

"Kok aku terus yang tanya. Kamu ngga penasaran kabarku selama ini Lan? Tanyanya

Aku tersenyum kecut mendengar pertanyaannya. "Aku lebih penasaran kenapa selama ini hilang Bagas Putra Prabaswara?" tanyaku dengan nada yang sangat lirih.

"Kamu tanya apa tadi?" tanyanya penuh serdik

"Ngga kok, yang penting sekarang kamu baik-baik aja. Satenya udah dateng tuh." Jawab ku berusaha untuk mengalihkan perhatian. Jujur, ini sangat membingungkan. Logiku berpikir untuk bertanya semua tentang alasan Bagas menghilang. Tapi aku terlalu takut. Hatiku takut kecewa dengan jawabannya. Seenggaknya untuk saat ini aku ingin baik-baik. Baik-baik saja karena kita bertemu kembali. Entah dengan status yang masih sama atau berubah. Perihal perasaan aku memang bodoh.

"Yaudah ayo makan dulu Lan. Ngobrolnya dilanjut nanti."

Setelah kami selesai makan. Bagas beranjak berdiri untuk membayar. "Dua porsi mas, sama 2 botol air mineral."

"Totalnya 45ribu mas."

Sebelum Bagas menyerahkan uang,tangan Bagas aku sergah. "Aku bayar sendiri aja."

"Ngga usah Lan, aku yang ngajak."

"Aku ngga mau ada hutang." Jawabku sambil menyerahkan uang ke kasir. Aku melihat sedikit raut kesel diwajahnya.

"Kamu ikut aku bentar mau?"

"Kemana?"

"Ketemu temen bentar buat ngasih flashdisk. Isinya ternyata penting kebawa waktu kumpul club tadi"

"Oh oke.

Sesampainya ditempat ini aku sedikit terkejut.

"Kamu sering kesini Gas?"

"Ya ngga lah, ngapain juga." Aku sedikit tidak percaya dengan jawabannya. Bagaimana tidak aku sekarang berada ditempat yang menurutku sangat tidak pantas. Menyinjak kaki disini disini aja sudah sangat salah. Disini merupakan salah satu bar yang cukup terkenal di Kota Malang. Aku sedikit tau. Banyak teman-temanku yang selalu bercerita tentang tempat ini. Kadang mereka saat kelas pagi pun masih belum sadar karena efek minuman keras ini. Dan aku benci aroma mereka. sangat mengganggu. Bagas paham dengan expresiku saat ini.

"Aku ngga pernah kesini Lan. Apa lagi minum sampai mabuk. Namanya juga banyak teman. Orangkan beraneka ragam ya memang ada beberapa di circle pertemananku yang begitu. Tapi aku selalu menghindar, karena aku paham ini ngga bener. Kalau ngasih flashdisk ini ngga urgent aku ngga bakal kesini. Bisa aku tunda kapan-kapan." Jelasnya

"Iyasih,paham. Tapi kan..."

"Udah diem dulu. Aku mau ngasih ini. Kamu tunggu disini bentar ngga usah masuk. Cukup diem disini dan ngga kemana-kemana bisa kan?''

Aku mengangguk. Aku duduk di kursi depan dengan memainkan handphone. Kenapa Bagas lama sekali. Terlalu gelap disini. Paham kan tempat bar lampunya pasti redup. Aku sudah tidak betah. Terlebih disini banyak nyamuknya. Udah bentol-bentol kakiku. Masa tepat elite gini banyak nyamuknya. Jatuhnya ngga elite lagi. Aku kembali memainkan handhphoneku walaupun ngga ada notifikasi masuk. Ketika sendirian seperti ini, aku mendengar siulan. Pasti dikira aku perempuan yang ngga baik-baik. Awalnya aku biarkan. Tapi lama-kelamaan aku merasa risih. Rasa sebalku sudah menumpuk. Terlebih karena menunggu Bagas terlalu lama. Langsung aku mendongak mencari asal suara itu. Dan ketemu segerombolan pria. Huh, beraninya menganggu saat beramai. Aku langsung mendelik kearah mereka dan mengeluarkan kepalan tangan. Seakan- akan aku mau meninju mereka.

Tiba-tiba ada suara cekikikan dibelakangku. Siapa lagi kalau bukan Bagas. "Hahaha, hati-hati mas. Sabuk hitam ini. Bisa dibanting sampean."

Aku menoleh kearahnya. "Siapa yang sabuk hitam?"

"Ya kamu Lan."

"Boro-boro sabuk hitam."

"Hust,diam. Tuh, lihat mereka pergi Lan."

Aku melihat mereka pergi kocar-kacir.

"Ampuh kan."

Belum aku mengeluarkan kalimat untuk memprotes. Bagas langsung menyela. "Maaf kalau lama. Tadi temenku sekalian minta tolong benerin filenya. Ngedit-ngedit bentar."

Aku menggela napas.

"Sumpah ya, nunggu kamu sampai aku bisa donor darah tau."

"Hah, kamu donor darah dimana? Mana mobil PMInya?" tanyanya dengan celingukan

Aku langsung menunjukkan tanganku yang memerah dan bentol. "Nih liat hasilnya."

"Ya allah Lan. Sampai bengakak gini, yaudah ayo balik."

Bagas langsung menggandeng tanganku menuju parkiran. Sesampinya di parkiran. Dia segera memakaian helm di kepalaku. Awalnya aku bengong dengan perlakuannya. Namun tersadar ketika dia menyuruhku naik. "Ayo naik."

Aku segera naik. Sebelum Bagas menghantarkanku pulang. Dia berhenti dia salah satu mini market. "Bentar Lan, aku mau beli minum." Aku pun menunggu diatas motor.

"Nih, makan eskrimnya."

"Ngaco kamu, orang lagi dingin-dinginnya."

"Asyik tau makan eskrim dingin-dingin gini, cobain dulu. Biar ngga kesel gara-gara tadi."

Memang sih makan eskrim bikin mood membaik. Karena udah dibelikan mau ngga mau aku harus memakannya. "Enak kan, di otak dan hati langsung dingin ngga panas lagi. Terus ini kamu olesin biar ngga merah-merah tangannya." Ternyata Bagas membelikanku minyak oles.

"Ngga usah nanti, sekarang aku pakai aja. Aku pun segera mengoleskan ke tangan dan kaki. Rasanya lega. Yang tadi terasa gatal, sekarang sudah berkurang. Setelah menghabiskan es krim. Kami langsung menuju pulang.

Sesampainya dikos aku mengembalikan minyak oles tadi. "Bawa aja. bisa kamu pakai lagikan."

"Oke,yaudah makasih. Aku masuk ya." Pamitku

"Aku seharusnya yang ngomong makasih. Udah menemin tadi. Buruan masuk. Keburu dingin."

"Sama-sama, kalau balik hati-hati." Ucapku

"Yaudah,aku balik dulu. Nanti dicek handphonenya." Aku sedikit curiga dengan perkatannya. Tapi aku mencoba tenang dan segera menuju kamar, sesampainya dikamar. Aku langnsung membersihkan muka dan berganti pakaian. Kalau diingat-ingat kupikir hari ini bakal terasa canggung. Hanya awalnya terasa canggung, tapi lama-kelamaan malah ngga sama sekali. Padahal kami sudah lama ngga bertemu. Malah tetap asyik-asyik aja. Walaupun ketika bertemu hatiku merasa tidak tenang. Sebelum tidur aku tiba-tiba teringat perkataan Bagas. Aku langsung membuka tas lalu mengambil handphone. Ternyata ada beberapa pesan darinya. Aku baca dengan perlahan.

"Terimakasih untuk hari ini."

"Have, dream.'

"Ku harap esok lebih menyenangkan."

Aku tersenyum membaca pesannya. Pesannya memang singkat dan simple tapi ada kesan tersendiri bagiku. Pikiranku berusaha menerka-nerka maksud dari pesannya " besok lebih menyenangkan" apa maksudnya kami akan bertemu kembali atau dia berharap aktivitas kami untuk esok baik-baik saja walaupun ngga bertemu? Entahlah. Untuk saat ini aku cukup senang. Walaupun kedepannya masih menjadi misteri.

***