"Tahukah kamu apa yang kamu bicarakan?"
Irwan mengerutkan kening sambil menatapnya dengan sepasang mata yang dalam, seolah ingin melihat ke dalam jiwa Intan.
Tentu saja Intan tahu apa yang dia bicarakan.
Membantu dia, berarti berhubungan suami dan istri dengannya.
Dia bukan anak kecil, dia tahu persis apa yang dia lakukan. Dia juga akan bertanggung jawab atas tindakannya. "Kamu membutuhkan aku, kamu tunanganku. Aku tidak bisa dan tidak boleh menolak."
Intan mendekat perlahan ke arah Irwan dengan kaki rampingnya. Setiap langkahnya seolah seperti menginjak ujung pisau, tidak mungkin untuk tidak terluka.
Karena bagaimanapun, sebentar lagi dia akan melepaskan semua harga dirinya saat ini karena ingin membantu Irwan mengatasi rasa sakitnya.
Giginya bergeletuk, suaranya bergetar, dan napasnya tersengal-sengal.
Intan berhenti di depan bak mandi dan menarik napas dalam-dalam sebelum melepas pakaiannya.
Irwan tidak berbicara atau membantu. Dia jelas-jelas hanya duduk di bak mandi dan menatapnya.
Namun, Intan merasa bahwa orang yang membutuhkan pertolongan adalah Irwan.
Dengan jari kaku, Intan melepas pakaiannya dengan susah payah. Seketika itu juga terungkap lekukan tubuh yang indah dari balik pakaiannya.
"Aku di sini," katanya menggigil.
Irwan bangkit dan tidak berkata apa-apa. Ekspresinya datar tapi menakutkan.
Dengan wajah datar, Irwan mengangkat tubuhnya dan berjalan keluar kamar mandi.
Intan langsung mengambil kesimpulan, bahwa dia akan melakukannya di atas tempat tidur.
Intan tidak bisa berkata tetapi dalam hatinya, dia sedikit berterima kasih kepada Irwan karena mengizinkannya memiliki kesan yang baik untuk pertama kalinya.
Intan ditempatkan di tempat tidur tapi dia tidak berani menatap mata Irwan. Jadi Intan menutup matanya.
"Tolong pelan-pelan, ya? Aku takut sakit"
Dia melontarkan kata dengan susah payah sambil berpikir bahwa apa yang terjadi berikutnya adalah sebuah sentuhan belaian lalu selanjutnya dia menjadi milik pria itu sepenuhnya.
Tapi, sebuah handuk dilemparkan ke kepalanya. Irwan berkata, "Lap bersih badanmu. Jangan berlarian, kalau tidak orang lain akan sedikit bingung apakah aku yang melukai kakimu. Intan membuka matanya dengan tergesa-gesa. Dia melihat Irwan sudah pergi ke kamar mandi lagi.
Hah?
Irwan sekarang dalam pengaruh obat perangsang, tapi dia lebih suka menahannya sendiri dari pada melampiaskannya ke tubuh Intan. Tidak masuk akal.
Intan berpikir keras, lalu kemudian dia menepuk kepalanya dengan keras hingga ingin membanting kepalanya ke dinding.
"Intan, apakah kamu bodoh? Bisa-bisanya kamu melupakan penyakit Irwan? Bahkan jika aku telanjang di depannya, dia tidak bisa melakukan "itu" kan? Ya Tuhan, bodoh sekali aku. Kenapa aku melupakan ini!" "
Intan tiba-tiba merasa malu dan kesal.
Irwan yang di kamar mandi bahkan tidak tahu hal-hal aneh apa yang ada di pikiran kepala kecil Intan.
Irwan takut akan menyakitinya.
Irwan tahu, dia adalah pria yang sangat bergairah. Itu saja efeknya sudah kuat, tapi sekarang bahkan lebih membius.
Obat yang diberikan ayahnya itu efektif dan sangat kuat. Jadi selagi dia masih waras, Irwan harus cepat menghindari Intan.
Dia takut dia akan berubah menjadi rakus dan gila ketika dia mencicipi kecantikannya, tapi dia tidak tahu lagi apa yang akan terjadi selanjutnya.
Hanya sekali saja kejadian seperti ini terjadi. Lain kali, dia tidak boleh dirasuki seperti ini. Dia ingin menunggu hingga Intan siap.
Irwan membenamkan seluruh tubuhnya ke dalam air dingin hingga otaknya kekurangan oksigen. Dia segera mengangkat kepalanya karena malu lalu melihat dirinya di cermin dengan senyum pahit. Dia berbicara sendiri di depan cermin "Irwan, Irwan, kamu belum pernah menjadi seorang pria sejati, tetapi sekarang kamu tidak mau melakukan hal seperti itu. Kamu memang gila!"
Setelah tersenyum pahit, Irwan berangsur-angsur menjadi lebih baik.
Jadilah gila. Menjadi gila juga bukan hal yang buruk.
Waktu berlalu, Irwan telah tinggal di kamar mandi selama satu jam penuh. Kini wajahnya menjadi lebih normal.
Irwan keluar dari kamar mandi. Dia mengeringkan rambutnya lalu duduk di tepi tempat tidur.
"Apakah aku baru saja membuatmu takut?"
Dia bertanya sambil memandang lembut gadis yang duduk diam di tempat tidur.
"Tidak, mengapa harus takut, kualitas mentalku bagus. Itu kamu.... Um, tidak apa-apa, kudengar ... itu bisa melukai tubuhku."
Dia merasa kejadian tadi itu sangat memalukan.
Ketika Intan sudah begitu baik ingin mengabdikan dirinya ketika tubuh Irwan memanas, Intan tidak menyangka bahwa Irwan tidak melakukan apapun. Dia benar-benar tidak menghargai Intan sama sekali.
[Istri berdiri telanjang di depan suaminya, yang lebih suka berendam di air dingin daripada berhubungan seks.]
Kalau topik ini dirilis oleh media massa pasti seru banget!
"Apakah kamu merasa kasihan padaku?"
"Tidak. Aku ... aku lebih mencintai diriku sendiri." Jawab Intan sambil berbisik.
"Apa?" Dia mengangkat alisnya sedikit karena tidak mendengar perkataan Intan dengan jelas.
"Bukan apa-apa, tidurlah. Kamu telah bekerja keras, jadi tidurlah lebih awal."
Intan pindah posisinya dan membiarkannya pergi tidur.
Ujung jari Intan secara tidak sengaja menyentuh lengan Irwan. Ternyata kulitnya masih terasa panas.
Setelah Irwan pergi tidur, Intan tidak berani menyentuhnya lagi. Irwan masih selalu bisa menyalakan api jahat di tubuhnya dengan mudah.
Karena Irwan harus menunggunya hingga berusia dua puluh tahun, dia tidak bisa berbicara apa-apa lagi.
Untuk benar-benar bisa memiliki seseorang, jangankan dua tahun, sepuluh atau dua puluh tahun pun dia bisa menunggu.
Saat larut malam, Intan sudah tertidur.
Intan yang merasa agak kedinginan, secara alami ingin dekat dengan "kompor" di sebelahnya agar tetap hangat.
Intan seperti kucing kecil yang lucu. Dia bergeser pelan hingga masuk ke dalam pelukan Irwan. Intan mengusapkan kepalanya ke badan Irwan sambil membuat gumaman kecil yang nyaman.
Irwan tidak memiliki nafsu jahat di dalam pikirannya saat ini, dadanya sepertinya dipenuhi dengan sesuatu. Hatinya yang dingin akhirnya merasakan kehangatan yang sudah lama tidak dia dapatkan.
Ada kekuatan magis pada gadis ini, yang membuat orang ingin ... memiliki sekaligus menghancurkan.
"Gadis kecil, kau milikku, dan kuncupmu sedang menunggu untuk dilepaskan. Kau hanya bisa menjadi milikku, mengerti?"
Irwan berbisik di telinga Intan, nadanya sedikit ditekankan.
"Hmm ... aku tahu ..."
Intan menggerutu dan menanggapi perkataannya. Irwan tidak tahu apakah itu sebuah tanggapan.
Dua orang di dalam kamar sedang tidur dengan hangat, sementara orang tua di luar itu berkeringat dengan cemas.
"Paman Har, apa kamu yakin membeli obat yang benar?"
"Saya sudah membelinya sendiri di apotek, tidak mungkin ada kesalahan. Kualitas emas asli, dengan tambahan ekstra!" Paman An juga terbaring lama di pintu, masih tak terdengar gerakan dari dalam.
Pak Wijaya semakin mempertanyakan hidupnya sekarang. Apakah anaknya benar-benar memiliki penyakit tersembunyi dalam hal itu?
Irwan tidak memiliki seorang wanita di sisinya selama bertahun-tahun. Mungkinkah ... benar-benar ada yang tidak beres?
Pak Wijaya dengan penuh kebencian menghentakkan kakinya dan berkata, "Paman Har, aku akan menyerahkan tugas penting ini kepadamu. Apakah anak ketigaku dapat melanjutkan silsilah keluarga Wijaya atau tidak, itu semua terserah padamu. Kamu harus mengawasinya sendiri. Makanannya dan semua keperluannya pastikan untuk menyiapkannya dengan baik."
"Tuan, percayalah. Saya pasti akan menyelesaikan tugas ini."
Kedua lelaki tua itu langsung membentuk aliansi.
Ketika Pak Wijaya akan kembali ke kamarnya, dia melihat ke pintu kamar Irwan yang tertutup dengan sedikit kekesalan. Dia benar-benar ingin segera masuk untuk memberikan omong kosong tentang prinsip-prinsip kehidupan.
Jika ibunya Irwan masih ada dan masih hidup di usia empat puluhan, Pak Wijaya yakin masih bisa mencintainya lagi. Bagaimana anaknya bisa ...
"Sungguh, keluarga ini malang, bagaimana aku bisa tahan dengan ibumu?"
Orang tua itu menggelengkan kepalanya lagi dan lagi. Dia jelas frustasi.
Jika Irwan tahu tentang kesalahpahaman yang terjadi di rumahnya, dia mungkin akan disekolahkan lagi selama tiga tahun untuk mengajarinya menjadi pria dewasa.
Keesokan harinya, Intan dan Irwan turun untuk sarapan. Tapi mereka melihat lelaki tua itu telah mengemasi semua barang bawaannya.
"Ayah, apakah kamu akan kembali?"
"Jangan membuatku menunggu. Aku takut jika aku tinggal di sini beberapa hari lagi, hidupku akan semakin menjengkelkan."
"Ayah, siapa yang membuatmu marah?" Irwan sedikit bingung. Ayahnya yang telah membuat tangannya hitam karena memukul ubin kamar mandi tadi malam. Tapi Irwan tidak mengatakan apa-apa tentang ini.
Pak Wijaya memelototi Irwan, kemudian menarik Intan ke sisinya. Dia mengeluarkan gelang giok biru dan transparan dari saku bajunya.
Gelang ini sangat indah saat dilihat pertama kali, kualitas gioknya juga sangat bagus. Pak Wijaya meletakkan gelang itu di tangan Intan dan berkata, "Gelang ini ditinggalkan oleh ibunya Irwan dan kakak keduanya. Ini adalah satu-satunya peninggalannya. Gelang ini seharusnya untuk istri anak kedua dan ketiga ... Ah, sudahlah, jangan bicarakan itu sekarang. Pakai saja. Gelang itu adalah simbol anggota keluarga kami. Kamu sekarang adalah menantu keluarga ini dan istri anak ketiga. Kamu tidak bisa menolaknya. "