Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan perutku. Sedari tadi aku terus bolak balik di pintu kamar kecil. Rasanya perutku terus mules dan melilit. Terhitung sudah lebih dari 10 kali aku keluar masuk kamar kecil. Semua isi perutku sudah aku keluarkan. Namun, perutku terus minta mengeluarkan sesuatu lagi dan lagi.
Bayanganku yang sebelumnya menyenangkan saat menonton video live langsung, kini sirna tak berbekas. Harapanku ingin melihat penderitaan dua penyusup itu hilang entah kemana. Bukannya mereka yang bolak balik pintu, malah sebaliknya. Apakah ini yang dinamakan senjata makan tuan?
Atau ini adalah aksi balas dendam asistenku? Jika benar begitu maka aku akan memastikan dia dapat balasan yang setimpal! 'Jeymi tunggu saja!!!' batinku berapi api.
Setelah perutku sedikit mereda aku keluar lagi. Aku menatap tajam Jeymi yang tersenyum manis di depanku. Sedari tadi dia menungguiku didepan kamar mandi. Dan para pengawal ku menunggu di depan kamar ini. Aku menghampirinya dan hendak memakinya, bahkan aku lupa dengan rasa sakit perutku.
Baru mulutku akan terbuka, perutku sudah meronta lagi. Aku menurunkan tanganku yang hendak menjambak nya. Dan kembali memegangi perutku lagi. Aku berlari lagi ke kamar kecil, dan aku masih sempat melihat wajah penuh kemenangan Jeymi. 'Dasar asisten sialan!' maki ku semakin geram.
Sudah tak terhitung lagi berapa kali aku keluar masuk tempat laknat itu. Dan tubuhku sudah lemas dan semakin tak berdaya. Aku melangkah keluar dengan langkah gontai. Ada rasa benci sekaligus kesal saat mendapati Jeymi tersenyum. Aku tidak suka melihatnya tersenyum mengejek padaku. Dia mengejekku karena sedari tadi aku gagal memaki dan menjambaknya.
Aku menghampirinya lagi dan lagi, meski dengan tubuh yang sudah kekurangan cairan. Baru beberapa langkah aku sudah merasakan pandanganku mulai menggelap. Aku juga dapat merasakan ada sesuatu yang menarikku ke belakang. Aku terjatuh dan hampir menubruk lantai jika aku tak merasakan ada tangan yang memegangi ku.
Aku tak sempat melihat tangan siapa itu. Tapi dapat aku pastikan itu bukan tangan Jeymi. Tangan itu begitu kokoh dan berurat. Aku yakin itu adalah tangan seorang pria dewasa. Mungkin itu adalah salah satu tangan bodyguard ku. Aku merasa semuanya semakin gelap dan setelah itu aku tak sadarkan diri.
***
Ku pandangi ruangan ini sepanjang mata memandang. Ruangan ini adalah kamarku di mansion keluarga ku. Kulihat keluar menembus garis pertahanan kaca anti peluru. Dari sini aku dapat menyaksikan semburat oranye sudah pudar. Digantikan dengan rona malam yang kelam dan dalam.
Ku sandarkan badanku pada kepala ranjang Queen sizeku. Ku pegangi kepalaku yang terasa pusing dan berputar. Ku awasi sekitarku yang terasa ada yang berbeda. Tanganku yang sebelah kiri mencoba bergerak, namun terasa begitu berat. Sampai ku jatuhkan arah mataku ke bawah.
Kulihat wajah tampan itu tidur pulas menghadap kearah ku. Aku heran mengapa penyusup ini bisa ada disini. Tidak mungkin Jeymi akan membiarkannya. Dan mengapa tujuan para penyusup ini semakin tak dapat ku tebak saja. Bukankah akan muda jika dia ingin membunuhku!
Sungguh aku bingung apa alasan mereka datang menyusup. Dai adalah seorang CEO dan mengapa dia repot menjadi pengawal. Pasti ada alasan tertentu! Apakah ia ingin merebut perusahaanku? Atau dia ingin apa? Tolong bantu aku otak! Berpikirlah! Berpikir bodoh!
Mengapa susah sekali untuk menemukan jawabannya? Kayara, apa kau sudah menjadi bodoh? Belum sempat aku selesai memaki diriku sendiri dalam hati, seorang tadi telah bangun. Dia menatapku sejenak lalu buru buru berdiri. Aku menatapnya maklum, sebagai pengawal tidak layak duduk jika ada tuannya.
"Maafkan saya nona! Apakah nona butuh sesuatu?" tanyanya datar. Aku memutar bola mataku malas. Mengapa juga tidak ada dari pengawal ku yang murah senyum? Selama 27 tahun aku hidup, belum ada aku menemukan pengawalku yang tersenyum.
Aku hanya mengangguk kerena entah mengapa tenggorokanku terasa kering. Mungkin aku kekurangan cairan karena sudah aku buang pada toilet laknat tadi. Memikirkan ini aku jadi ingat ulah Jeymi lagi. Kedua tanganku terkepal, buku buku jariku mengeras. Aku mengambil minum yang disondorkan oleh bodyguard tadi.
Aku tak peduli air itu beracun atau tidak. Yang ada dalam pikiranku sekarang hanyalah menghukum Jeymi sialan itu. Setelah aku meneguk air sampai kandas, aku berkata, " Panggilkan Jeymi sekarang juga!" titahku. Dan kulihat dia hanya mengangguk sebelum perlahan keluar.
Aku mengambil handponeku yang terletak di nakas. Aku mengetik kode di sana dan keluarlah sebuah file yang terdapat beberapa hal. Aku mengerjakannya sembari menunggu kedatangan Jeymi. Dalam hati aku masih berpikir alasan dua penyusup itu menyusup.
"Kau sepertinya sudah cukup kuat untuk memarahiku," ucap seseorang. Aku menoleh kearahnya dan terlihatlah wajah ayu dari seorang asisten laknat. Aku menatapnya tajam, walau sebenarnya aku tidak terlalu marah padanya. Bukan alasan obat pencahar itu yang membuat ku memanggilnya kemari.
" Kau tau, aku sudah menjalankan perintahmu itu. Sayangnya tuhan terlalu menyayangi pengawal itu. Dan berakhirlah kau yang salah mengambil gelas. Aku hanya senang saja menyaksikan ulah mu yang berbalik itu. Pa ya istilahnya? Ah, ya! Bukankah itu dinamakan senjata makan tuan?" ujarnya mengejekku.
Aku tak tersinggung dengan ucapannya lagi pula aku marah padanya bukan karena itu. Aku marah karena alasan lain, aku berdiri meski dalam keadaan tubuh yang masih lemah. Aku mengambil alat diatas meja dekat sofa. Menekannya dua kali, lalu menghampiri Jeymi lagi.
Tanganku menunjuk wajahnya sebelum aku berkata, "Kenapa kau membiarkan penyusup itu yang menjagaku? Mengapa bukan pengawal lain? Kau tahu dia penyusupkan? Bagaimana jika dia berniat jahat padaku?" tanyaku geram.
"Ya itu karena dia yang meminta, kedua kerena pengawal lain aku suruh melakukan sesuatu, ketiga ya aku memang tahu. keempat bukankah kau tidak takut mati?" Tanyanya balik padaku setelah menjawab pertanyaan dariku tadi.
"Aku memang tidak takut mati! Tapi bagaimana jika dia melecehkan ku?" Teriakku marah. Darahku sudah berpacu dengan segala kemungkinan buruk. Siapa yang akan percaya dengan muda pada penyusup. Pikiran negatif terus masuk dalam otak bersih nan suciku ini.
Kulihat dia tersenyum mengejek lagi, " Bukankah tanganmu sendiri yang menggenggamnya erat. Kau bahkan tidak ingin melepaskan tangannya. Padahal waktu itu kau pingsang!" Ucapnya mengejek.
Kali ini kedua alisku berkerut. Pikirku bertanya dalam hati, aku? Menggenggam tangannya? mana mungkin itu terjadi? Tapi jika nyata, oh tidak!!! itu sungguh memalukan. Tidak! tidak! mungkin saja Jeymi sedang mencoba membohongiku. Oke, jangan percaya apapun ucapan asisten laknat itu! Tapi tatapannya begitu menyakinkan, apa benar begitu?
Aku memandangnya yang kini tersenyum lagi, kali ini dia tersenyum kemenangan. Di mungkin senang melihat aku yang linglung dan kacau seperti ini. Aku menatapnya tajam sebelum hanya mengalah. Kali ini aku kalah lagi darinya, tapi semua itu tidak akan terjadi lagi. Aku menyuruhnya pergi agar tidak menganggu istirahat nona ini. Dan tidak lupa menyuruhnya mengantar makanan untukku.
Aku kembali pada sofa ku sebelum mendengar suara tembakan. Suara senjata api itu mengenai kaca anti peluruku. Lalu juga ada bunyi yang lebih kuat dari sebelumnya. Kali ini semua pengawalku masuk ke dalam. Mereka membentuk formasi pertahanan melindungi ku.
Suara tembakan dan ledakan semakin banyak dan semua diarahkan pada kaca kamarku. Dari luar kamar aku juga dapat mendengar suara perkelahian. Para bodyguard ku sudah menyiapkan baju Anti peluru untukku. Mereka juga sudah memengang perisai tentara.
Aku juga mendengar pintu kamarku yang di gedor dan ada yang mencoba mendobraknya. Cukup lama suara itu menganggu suasana, ada juga teriakan histeris dari seorang yang sudah mendekati ajalnya. Pintu itu mulai berlubang di tembus peluru. Perlahan peluru mulai mendekati aku dan puluhan pengawal yang mengelilingiku.
Pintu terbuka dan menampilkan satu wajah yang mengerikan di ambang nya. Aku menatap orang itu dengan geram, walau tidak jelas tapi ada celah diantara pangawalku ini. Aku kenal dengan jelas sosok itu, aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Dia adalah...
.
.
.
.
***