Setelah ditinggalkan dengan segala drama yang menguras energinya, Kirana memang pernah bertekad mendapatkan pasangan baru yang jauh lebih baik. Tentu saja bukan hanya urusan tampang, melainkan juga kecerdasan hingga kekayaan.
Terlepas dari betapa enggannya Kirana menjalin hubungan, beberapa tahun belakangan, banyak pria lain yang datang dan memenuhi hampir semua kriteria itu. Mereka secara umum lebih baik ketimbang pria tak tahu diri dari masa lalunya.
Jika Kirana mau, mungkin dia sudah menikah sejak dulu. Nyatanya, bertemu dengan pria yang tampak lebih baik tidak lantas membuat dirinya bisa berdamai dengan trauma.
Semua orang bisa berubah menjadi jahat, bahkan meski awalnya bagai malaikat. Kirana tidak pernah benar-benar yakin bahwa mereka akan berbeda setelah sekian waktu berlalu.
Lalu, kenapa Kirana menerima kehadiran Rendra? Mengapa pria itu menjadi pengecualian?
Entahlah. Kirana juga tidak tahu. Mungkin dia hanya sudah lelah dengan omongan orang. Bisa jadi karena kebetulan dia telah sampai pada titik di mana menikah atau tidak juga akan sama saja.
Lagi pula, Rendra terbukti unggul dalam hal apa pun dibanding semua pria sebelumnya. Dia punya wajah rupawan, selera busana menawan, otak cerdas, dan tentunya banyak uang. Walau tidak tahu jumlah pastinya, gaji yang diterima Rendra sebagai General Manager Mandala Mall jelas berkali-kali lipat dibandingkan editor seperti Kirana, kan?
Hanya saja, ini terasa berlebihan sekarang. Presiden Direktur Mandala Property Land? Kirana benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Sepertinya dia memang terlalu cuek tentang Rendra sehingga bisa-bisanya melewatkan informasi sepenting itu.
"Kalau tahu dia seorang presdir, aku nggak bakal mau sama dia. Apa aku minta dibatalin aja lamarannya?"
Kirana sebenarnya hanya menggumam dan berbicara dengan dirinya sendiri. Namun, ternyata orang-orang masih bisa mendengar ucapannya dan heboh seketika.
"Lhoh, jangan, Mbak! Rejeki nomplok itu namanya."
"Kenapa nggak mau? Udah sempurna banget ini, tuh."
"Lamarannya kapan, sih? Kirain malah udah, tinggal ijab doang."
"Kapan lagi bisa jadi istrinya bos tajir melintir kayak di drama-drama?"
Komentar terakhir sukses membuat Kirana memutar bola mata saking jengahnya. Menjadi istri bos kaya raya memang terlihat indah di drama romansa. Iya, tapi cuma di drama, bukan kehidupan nyata. Kirana malah yakin hidupnya bakal lebih rumit jika menikah dengan orang yang terlalu luar biasa.
***
Sambil makan siang tadi, Rendra sudah membaca beberapa artikel yang memuat tips memilih cincin tunangan. Ternyata, semua itu terasa sia-sia begitu dia sampai toko perhiasan. Rendra tetap kebingungan saat melihat begitu banyak cincin berkilauan.
Rendra mencoba mendengarkan penjelasan sang pramuniaga soal beberapa model cincin yang direkomendasikan dengan saksama. Namun, Rendra sungguh tidak tahu cincin seperti apa yang cocok atau setidaknya disukai Kirana.
Bobby yang berdiri di belakang Rendra menyadari kesulitan bosnya. Rendra bahkan terlihat lebih serius ketimbang saat pria itu mengamati detail maket proyek kondotel dan apartemen untuk pertama kalinya beberapa tahun lalu.
Bobby sendiri mulai waswas karena Rendra sebenarnya mesti memimpin rapat penting secara daring pukul 1 siang. Waktunya kurang dari 20 menit lagi, tapi si bos masih sibuk memilih cincin tunangan.
Semua keperluan rapat memang sudah disiapkan. Bobby bahkan telah menyerahkan beberapa dokumen yang menjadi bahan rapat siang ini sejak pagi tadi. Namun, tetap saja dia cemas karena Rendra masih betah di toko perhiasan.
Pikir Bobby, haruskah rapat ditunda beberapa menit? Masalahnya, setelah itu Rendra juga sudah punya jadwal lain. Belum lagi dengan persiapan menuju bandara sore ini. Semua bisa berantakan jika ada yang tidak dimulai tepat waktu.
"Maaf, bisa dijelaskan calonnya Pak Rendra orang yang seperti apa?" tanya manajer toko yang berdiri di samping sang pramuniaga.
Pertanyaan itu malah membuat Rendra semakin bingung. Nah, orang seperti apa Kirana sebenarnya?
"Dia...," Rendra merasa harus berpikir keras untuk mendapatkan deskripsi yang tepat. "Dia orang yang sangat rumit dan suka membantah omongan saya. Cincin seperti apa yang bagus untuk orang seperti itu?"
Bobby nyaris gagal menahan tawanya saat mendengar perkataan Rendra, sedangkan si pramuniga dan manajer toko tampak mengernyitkan dahi mereka secara berbarengan karena tak yakin bagaimana harus menjawabnya.
Mencoba memberikan solusi karena jadwal rapat semakin dekat, Bobby akhirnya inisiatif bertanya kepada Rendra, "Maaf, Pak. Ini rencananya mau jadi kejutan atau bukan? Kalau misalnya tidak ada yang perlu dirahasiakan, mungkin Pak Rendra bisa bertanya langsung tentang model seperti apa yang diinginkan kepada yang bersangkutan."
"Benar juga. Coba saya telepon dia."
Detik berikutnya, Rendra langsung melakukan panggilan video. Saat wajah Kirana tampak di layar ponselnya, tanpa basa-basi Rendra segera menunjukkan apa yang sedang dia lakukan.
"Coba lihat baik-baik. Kamu paling suka yang mana?"
Rendra bertanya sambil memperlihatkan beberapa cincin berlian yang direkomendasikan pihak toko perhiasan.
"Untuk apa?" tanya Kirana kemudian.
"Untuk acara besok Minggu. Kita butuh cincin tunangan, kan?"
"Mas mau beli cincin tunangan?"
Rendra hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Kirana.
"Khusus untuk tunangan? Atau sekalian dijadikan cincin kawin?"
"Kenapa sekalian? Bukannya beda, ya? Sekarang yang tunangan dulu, cincin nikah nanti lagi belinya."
"Kenapa harus dibedakan?" tanya Kirana lagi.
"Kenapa tidak?"
Interaksi Rendra dan Kirana lagi-lagi membuat Bobby tersenyum. Walaupun hanya via panggilan video, apakah pasangan ini akan benar-benar bertengkar di depan semua orang?
Di sisi lain, Kirana merasa tak suka dengan cara Rendra menanggapi pertanyaannya. Pria itu seolah tidak memikirkan berapa banyak uang yang bakal dia keluarkan untuk membeli cincin berlian.
Ah, Kirana hampir lupa. Level kekayaan Rendra tentu berada jauh di atas dirinya. Bagi Rendra, membeli cincin berlian mungkin hanya seperti jajan batagor di pinggir jalan. Tak perlu banyak pertimbangan karena dianggap murah.
Kirana ingin mengungkapkan apa yang dia pikirkan, tapi mendadak sadar kalau itu berisiko membuatnya dinilai tidak sopan dan bisa menyinggung pihak toko perhiasan. Jadi, tanpa berkata apa pun, Kirana memutuskan panggilan video Rendra.
Sikap Kirana tentu membuat Rendra kaget. "Kenapa malah dimatikan?"
Tak lama kemudian, giliran Kirana menelepon Rendra. Namun, dia memilih melakukan percakapan via telepon biasa, bukan panggilan video. Jadi, setidaknya apa yang akan dia katakan tak bakal jadi konsumsi publik.
"Kita mungkin bisa saja menikah hanya sepekan setelah lamaran, jadi kenapa harus membeli cincin berbeda? Nggak peduli sekaya apa pun Mas Rendra, bagi saya itu namanya pemborosan," kata Kirana.
"Bukankah setiap momen membutuhkan simbol yang berbeda?"
"Simbol? Mas mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk simbolis? Astaga...."
Rendra tidak mengerti. Memangnya apa yang salah dengan membeli cincin berbeda untuk momen tunangan dan pernikahan? Setidaknya itulah yang dia lakukan dulu.
"Ya, udah. Kalau cuma kayak gitu tujuannya, saya aja yang beli cincin buat lamaran besok. Nanti saya cari yang harganya lebih masuk akal," ujar Kirana.
Saat Rendra hendak membalas perkataan Kirana, Bobby menahannya dengan membisikkan jadwal Rendra selanjutnya.
"Bos, rapat dengan tim perencanaan dimulai sebentar lagi," bisik Bobby.
Rendra menghela napas, lalu memandangi beberapa cincin berlian di hadapannya. Mengapa Kirana tidak mau memilih satu di antara mereka saja? Berdebat dengan Kirana memang tak akan ada ujungnya.
"Oke, lakukan semau kamu, Ran. Pilih cincin apa pun yang kamu suka."