"Wah, ilustrasi bunga aster ternyata bisa keliatan secantik ini, ya. Suka sama desainnya."
Kirana sedang mengomentari rancangan sampul buku yang ditunjukkan Damar kepadanya. Dia cukup puas melihat ilustrasi yang dibuat tim desain. Benar-benar sesuai seleranya.
Ilustrasi tersebut memperlihatkan seorang perempuan berambut pendek sebahu mengenakan gaun lengan panjang berwarna putih. Perempuan itu tampak tengah tersenyum menatap buket bunga aster ungu yang dia pegang.
Kirana tentu tahu bahwa ilustrasi itu diambil dari salah satu adegan yang dia tulis dalam novelnya. Sebelumnya, dia sempat beberapa kali berbincang via telepon dengan tim desain untuk membahas sampul seperti apa yang diinginkan Kirana sebagai penulis.
Ada alasan khusus kenapa Kirana memilih aster ungu. Dia sebenarnya tak begitu yakin pernah membacanya di mana, tapi Kirana sangat suka dengan bahasa bunga aster ungu.
Secara umum, bunga aster sendiri kerap disebut melambangkan keberanian, kesetiaan, dan harapan. Ada pesan cinta di balik kecantikannya.
Kirana kini terlalu asyik memilih desain sampul mana yang paling dia suka. Tim desain memang memberikan tiga pilihan dan keputusan akhirnya ada di tangan si penulis.
Damar tersenyum melihat betapa antusiasnya Kirana. Saking asyiknya memilih, perempuan itu bahkan tak menyadari kalau tatapan Damar terus tertuju padanya.
"Aku mencintaimu lebih dari kamu mencintaiku," kata Damar kemudian.
Masih dengan senyumnya yang lembut, Damar melanjutkan, "Jadi aku sangat yakin bahwa apa pun yang terjadi nanti, aku bakal bertahan di sisimu."
Kirana langsung terdiam begitu mendengar apa yang dikatakan Damar kepadanya. Senyum yang sedari tadi terus menghiasi bibirnya pun memudar seketika. Kenapa tiba-tiba Damar berkata seperti itu?
***
Rendra mendadak merasakan sesak di dadanya. Dia refleks membuat gerakan untuk melonggarkan dasi dengan tangan kirinya, tapi lalu menyadari bahwa dirinya hanya mengenakan kaus oblong di balik jaket kulit cokelatnya.
Jadi, apa yang membuat dia tidak baik-baik saja? Mengapa tiba-tiba Rendra merasa ada yang tidak beres dan sesak napas begini?
"Ada apa, Bos?"
Pertanyaan itu jelas diucapkan oleh sang sekretaris. Gelagat Rendra dengan mudah terbaca Bobby yang berjalan di belakangnya.
Beberapa saat yang lalu, mereka baru saja turun dari pesawat. Keduanya kini hendak meninggalkan kawasan bandara untuk menuju hotel tempat Rendra menginap.
"Entah. Tiba-tiba perasaan saya nggak enak aja. Kenapa, ya?"
Jika Rendra sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, apalagi Bobby? Namun, tak disangka Bobby segera bisa menemukan jawaban paling masuk akal begitu melihat ke arah jam tangannya.
Bobby lalu berpikir, menggoda sang bos sepertinya bakal terasa menyenangkan. Lumayan ada sedikit hiburan di tengah kesibukannya mendampingi Rendra sepanjang hari.
"Oh, ternyata sudah jam segini. Sekarang Mbak Kirana pasti lagi ngobrol berdua sama editornya. Bos ada firasat buruk? Mungkin Mbak Kirana lagi digombalin sama editornya."
Kata-kata Bobby membuat Rendra tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia langsung ingat jika malam ini Kirana ada janji bertemu dengan pria lain.
'Damar sialan!' kutuk Rendra dalam hati.
***
Kirana menatap Damar dengan pandangan penuh tanda tanya. Ekspresinya sangat kontras dibandingkan Damar yang tetap tersenyum sambil menatap lembut ke arahnya.
"Kamu lupa sama tulisanmu sendiri? Itu salah satu monolog yang ada di novelmu. Adegan saat si perempuan membeli buket bunga aster sebelum menjenguk cinta pertamanya di rumah sakit."
"Aku mencintaimu lebih dari kamu mencintaiku. Wah, kalimat itu layak masuk daftar kutipan paling romantis. Iya, kan?"
Penjelasan Damar langsung membuat Kirana merasa konyol. Ada apa dengan dirinya? Mengapa barusan dia merasa Damar benar-benar mengatakan kalimat-kalimat manis itu untuknya?
Damar cuma mencuplik apa yang ditulis Kirana sendiri, tapi kenapa detak jantungnya sekarang bahkan terasa lebih cepat? Kendalikan dirimu, Kirana Agniya!
"Hahaha.... Kamu mengingatnya sampai sedetail itu? Kamu pasti baca tulisanku sampai ribuan kali, ya...," ujar Kirana yang secepatnya mencoba bersikap biasa saja.
"Oh, jelas. Kamu bilang, jangan sampai ada yang salah. Jadi tanpa sadar, aku udah menghapal sebagian besar tulisanmu."
Kirana tak membalas ucapan Damar. Dia malah langsung fokus pada desain sampul bukunya kembali.
"Aku pilih desain nomor satu. Warna yang digunakan untuk latar belakangnya terkesan lebih kalem, jadi ilustrasi si tokoh perempuan kurasa juga tampak lebih hidup dan menonjol," tukas Kirana beberapa saat setelahnya.
"Oke. Lainnya kamu juga udah oke, kan? Berarti kita siap naik cetak," kata Damar menanggapi.
"Oh, terima kasih juga, ya. Kamu bilang desainnya siap pekan depan, tapi ternyata udah siap dalam beberapa hari. Mantap!" puji Kirana sambil menunjukkan dua jempol tangannya untuk Damar.
Damar tahu kalau Kirana berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Ya, Damar akui dia memang baru saja mencoba merayu Kirana dan wajah gadis itu sempat merona sesaat.
Di mata Damar, Kirana sungguh jadi tampak cantik dan menggemaskan dalam waktu bersamaan. Damar berharap bisa lebih sering melihat ekspresi malu-malu dan salah tingkah dari gadis itu.
Sayangnya, Kirana bakal jadi istri orang.
***
"Iya, mereka berdua di sini. Lagi ngobrol sambil senyum-senyum bahagia."
Satya berbicara dengan seseorang yang baru saja meneleponnya. Dia melakukan itu sambil mengamati Damar dan Kirana dari kejauhan. Kafenya memang cukup luas dan dua tamu spesialnya itu duduk di salah satu pojokan.
"Senyum-senyum bahagia? Ngapain?" tanya seorang pria yang menelepon Satya.
"Nggak kedengeran mereka ngomongin apa, tapi paling soal buku. Tadi katanya mereka janjian ketemu di sini karena mau bahas buku, sih. Gimana, Ren?"
Sudah bisa ditebak sejak awal, kan? Orang yang menelepon Satya adalah Rendra. Gara-gara itu, Satya tiba-tiba merasa dirinya berubah menjadi mata-mata untuk teman lamanya.
Sebenarnya Rendra bisa saja minta Bobby bertanya pada orang yang sudah ditugaskan untuk mengawasi Kirana. Namun, pria itu tampaknya tidak cukup sabar menunggu laporan walau hanya sebentar sehingga memutuskan untuk mencari tahu sendiri.
"Sat, anterin Kirana balik, dong. Jangan sampai dia balik sama si Damar."
Tentu saja Satya langsung paham situasi macam apa ini. Rendra cemburu mengetahui Kirana sedang bersama Damar.
Oh, tapi jangan harap Rendra mau mengaku cemburu. Dia jelas bakal berkilah dengan berbagai alasan.
"Mau-mau aja, sih. Cuma aku ragu Kirana mau. Kenapa nggak kamu jemput sendiri aja?"
"Lagi di Jakarta," jawab Rendra singkat.
Satya bukannya tidak ingin membantu Rendra, tapi bagaimana bisa dia menawarkan diri untuk mengantar Kirana pulang sedangkan Damar juga berpeluang melakukan hal yang sama?
Jadi, siapa yang harus dia dukung sekarang? Damar yang beberapa tahun belakangan menjadi sahabatnya atau Rendra si teman lama?
Untungnya, Satya mendadak ingat salah satu kebiasaan Kirana saat bertemu Damar.
"Eh, kamu nggak tahu Kirana biasanya kayak gimana, ya? Tenang aja, sih. Dia nggak bakal mau dianter pulang sama Damar. Aku berani jamin, dia malah lebih milih naik ojek."
Rendra meragukan omongan Satya. "Bukannya mereka dekat?"
Satya sekali lagi melihat ke arah Damar dan Kirana. Keduanya tampak akrab mengobrol santai sambil menikmati makan malam mereka.
"Iya, tapi cuma sebagai teman curhat."