Namanya Birendra Wijaya. Kirana sebenarnya bukannya tidak kenal dengan pria itu. Keluarga mereka cukup dekat, sejak dulu. Bahkan, Kirana mengenal Rendra sejak kecil. Orang tua mereka berteman dan memang bisa dibilang sangat dekat.
Rumah mereka tidak berdekatan. Meski begitu, bukan hal aneh jika mendadak Rendra datang ke rumah hanya untuk mengantarkan oleh-oleh atau kue buatan ibunya, begitu pun sebaliknya.
Namun, hubungan di antara mereka tidak istimewa. Kirana dan Rendra bahkan tidak bisa dikatakan berteman. Jika mereka mengobrol, itu juga cuma basa-basi. Makanya, Kirana memilih untuk merasa tidak tahu apa-apa soal Rendra.
Bagi Kirana, selama ini Rendra juga cenderung dingin padanya. Perjodohan ini memang sudah dibahas sejak 2 tahun lalu. Dulu, berbekal rasa penasaran, Kirana pernah mencoba melakukan pendekatan walau cuma dengan membangun komunikasi ringan. Hasilnya? Nihil.
Terakhir, sekitar enam bulan lalu, Kirana mengomentari unggahan Instagram story Rendra dan cuma dibalas dengan sebuah stiker. Hampir selalu seperti itu dan Kirana tak berminat melanjutkan jika tanggapannya cuma begitu. Nggak asyik, kan?
Jadi, biarpun sekarang terkesan acuh, sebenarnya Kirana curiga setengah mati dengan Rendra. Apa yang membuatnya berubah pikiran?
"Mandala Mall makin rame, ya? Kirana sering banget ke sana setelah pulang kerja," ayah Kirana, Janu, membuka obrolan santai di meja makan.
Kirana ingat sekarang. Rendra bekerja di Mandala Mall. Dia mendadak heran dengan dirinya sendiri, kenapa tadi bisa lupa saat ditanya Firda? Gejala pikun? Wah, umurnya bahkan belum genap 30 tahun.
"Iya, Om. Kadang saya lihat Kirana lagi jalan-jalan sendiri atau makan sama temannya. Mau menyapa tapi takut ganggu," jawab Rendra dengan nada yang luar biasa ramah. Dia sempat memandang ke arah Kirana sambil tersenyum sebelum kembali melanjutkan makan.
'Bilang aja males!' Celetuk Kirana dalam hati.
Sejurus kemudian, dia berkata dengan tak kalah manis, "Lain kali disapa, ya, Mas. Siapa tahu kita bisa lanjut makan bareng pas saya lagi ngemall sendirian."
Kirana sempat melihat tatapan kaget dari Rendra dan dia menyukai reaksi seperti itu. Dia jadi merasa tertantang untuk melemparkan kalimat pamungkas berikutnya.
"Mas juga pernah janji mau makan siang bareng, kan? Belum jadi terealisasi, nih."
Kali ini Rendra terlihat lebih kaget sekaligus bingung. Janji makan siang? Kapan dia mengatakan hal seperti itu? Lagipula, kenapa dia menawari hal seperti itu? Dia saja sering melewatkan makan siang kalau tidak diingatkan sekretarisnya.
Apapun itu, ucapan Kirana tentu saja disambut meriah oleh para orang tua. Mereka menganggapnya sebagai pertanda baik. Bahkan, saat berpamitan pulang, ibu Rendra, Yunita, tiba-tiba saja menyinggung soal rencana pernikahan. Lebih cepat lebih baik, katanya.
"Jangan buru-buru, Bu. Rendra sama Kirana butuh waktu untuk saling mengenal," jawab Rendra kalem.
Kirana cuma bisa ketawa hambar. Jangan-jangan dia benar-benar sudah jadi istri orang bulan depan, seperti prediksi ngawur Firda tadi siang.
"Kalian udah kenal sejak kecil. Mau kenalan yang kayak gimana lagi? Pacarannya setelah nikah aja, lebih berkah," Yunita membalas omongan anaknya dengan begitu lugas dan tepat sasaran.
Sepertinya besok atau lusa Kirana mesti menyeret Firda menemaninya survei baju pengantin.
***
Ini adalah Minggu sekaligus cuti hari terakhir bagi Kirana. Besok dia harus bekerja lagi dan agendanya hari ini hanya rebahan seharian. Dia tak ingin melakukan apapun atau pergi ke mana pun. Kasur adalah sahabat terbaik, tentu saja bersama bantal dan gulingnya. Mereka adalah partner favorit hari ini.
Sudah lewat jam 1 siang dan dia bahkan belum berniat untuk mandi. Makan saja malas. Lebih berat membaca novel remaja yang secara acak dia beli beberapa pekan lalu. Ceritanya ringan, klise, tapi menyenangkan untuk dibaca dalam kondisi santai.
Sayangnya, akhir pekan yang nyaris sempurna itu tiba-tiba kacau begitu Sinta, sang ibu tersayang, masuk kamar dan menyampaikan kabar tak terduga.
"Kirana Agniya, ngapain kamu? Udah mandi belum? Ditungguin Rendra, tuh. Katanya mau ngajakin makan siang. Kamu belum makan dari pagi, kan?"
"Mas Rendra ngajakin aku kencan, nih, Bu?" Kirana merasa kedatangan Rendra yang mendadak hanya untuk mengajaknya makan siang itu terlalu janggal.
"Iya, mungkin," jawab Sinta. "Nanti abis makan sekalian survei cincin nikah atau nyicil belanja buat seserahan aja. Ini Bapak juga lagi dateng ke tempat Pak RT, ngomongin renovasi pos ronda sekalian minta surat pengantar ngurus nikahan kalian."
'Heh? Ini aku beneran dipaksa nikah?'
***
"Saya nggak ingat dulu pernah ngajakin makan siang. Ini seharusnya yang pertama kali," tanya Renda sebelum mulai melahap makan siangnya.
Kirana sudah mengunyah dengan tenang. Menu sarapan sekaligus makan siangnya hari ini adalah nigiri sushi. Favorit Kirana adalah sushi yang disajikan dengan irisan salmon.
Untungnya Rendra tidak sembarangan memilih Restoran Jepang, jadi Kirana tidak perlu mengomel soal kesegaran ikan mentah yang dia makan.
Kirana baru menjawab pertanyaan Rendra tadi setelah menelan suapan pertamanya. "Sekitar enam bulan yang lalu. Mas buka Q&A di Instagram Story, tanya makanan apa yang enak disantap pas hujan deres selain mi instan rebus pakai telur. Waktu itu saya ikutan jawab, saya tulis mi instan rebus pakai sosis."
Rendra bahkan tidak ingat jika dia pernah membuat pertanyaan tidak penting semacam itu. Apakah waktu itu dia mabuk? Tapi dia sudah lebih dari dua tahun tidak minum alkohol.
"Waktu itu, Mas Rendra cuma balas pakai stiker kucing yang bilang, 'Oke'. Terus, saya ngetik lagi, 'Yuk, kapan-kapan kita makan siang mi rebus pakai sosis bareng!' Lengkap dengan emoji senyum yang paling cerah dan lebar. Lalu, Mas ngirim stiker kucing lagi. Mirip yang sebelumnya tapi posisinya ganti sambil rebahan."
Rendra lumayan dibikin takjub dengan penjelasan mendetail Kirana. Dia akhirnya ingat pernah minta diajari sekretarisnya cara membuat Q&A di Instagram Story.
Pertanyaan soal mi instan rebus itu bukan idenya, melainkan si sekretaris. Seharusnya tidak benar-benar diunggah tapi tak sengaja terpencet dan berakhir membuatnya malu. Hancur sudah citranya sebagai bos berwibawa gara-gara pertanyaan receh seperti itu.
"Jadi, waktu itu kamu yang ngajakin, kan? Saya cuma mengiyakan, tapi bukan berarti jadi saya yang janji ngajakin kamu makan siang," kata Rendra.
"Lho, siapa yang bilang Mas Rendra janji ngajakin makan siang?" Kirana terlihat sangat tenang. "Semalam saya cuma bilang kalau Mas pernah janji makan siang bareng. Iya, saya yang ngajak, tapi Mas Rendra oke-oke aja? Bukannya itu sama aja dengan bikin janji makan siang bareng?"
"Wah, kamu luar biasa," Rendra mengatakannya sambil tersenyum begitu lebar. "Apa semua editor pintar membuat logika kalimat yang cukup kompleks hanya berdasarkan kiriman stiker emoji?"
Kirana tersenyum. Merasa dipuji walau sebenarnya barusan Rendra melemparkan kalimat sindiran.
"Saya juga suka berdebat. Mas mungkin bakal kewalahan menghadapi saya. Kalau Mas cari yang kalem dan penurut, tolong setelah ini minta Tante Yunita coret nama saya dari daftar kandidat calon menantu."
Rendra hanya kembali tersenyum tapi tidak membalas kalimat panjang Kirana. Mereka akhirnya hanya melanjutkan makan siang dengan tenang dan tanpa obrolan apapun lagi.
Tentu saja Kirana tahu jika makan sambil berbicara bukan hal yang baik. Namun, dia juga tidak suka dengan keheningan yang berlebihan. Situasi seperti ini hanya membuatnya merasa canggung dan ingin kabur saja.
"Ibu bilang, kamu yang terbaik."
Rendra hanya mengucapkan satu kalimat itu sebelum menyantap sushi terakhirnya.
"Bagaimana jika ternyata bukan? Bagaimana jika seandainya Tante Yunita salah?"
Pertanyaan itu membuat perhatian Rendra tertuju sepenuhnya kepada Kirana. "Kenapa kamu meragukan dirimu sendiri?"
"Karena walaupun saya perempuan yang baik, belum tentu bisa jadi yang terbaik untuk Mas Rendra."
"Kamu mungkin juga berpikir bahwa saya pria yang baik, tapi saya merasa belum tentu bisa menjadi yang terbaik untuk kamu."
Kirana menghela napas, mencoba menahan emosi yang entah kenapa mendadak tersulut. Dia lalu segera meminum ocha dingin yang masih tersisa di gelasnya hingga habis. Berharap minuman itu bisa membantunya mengendalikan perasaan negatif dalam dirinya sendiri.
"Maaf karena mengatakan hal seperti ini," Rendra kembali bersuara.
Dia mengambil jeda yang cukup lama sebelum kemudian berkata, "Kamu tahu kalau saya pernah gagal, kan? Sejak itu, rasanya saya tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun lagi karena terus berpikir kalau saya tidak akan pernah bisa jadi yang terbaik untuk orang itu."
"Hari ini... rasanya menyenangkan bisa bertemu dengan seseorang yang tampak memiliki kecemasan serupa," Rendra kembali tersenyum untuk kesekian kalinya selama bersama Kirana hari ini.
Rendra terlihat bahagia, sedangkan Kirana justru merasa aneh karena Rendra tiba-tiba menyinggung soal kegagalan pria itu di masa lalu.
Dulu, hal pertama yang membuat Kirana tidak tertarik dengan rencana orangtuanya adalah status Rendra sebagai duda. Ya, dia pernah menikah tapi rumah tangganya berakhir bahkan tak sampai setahun setelah resepsi mewah digelar.
Dia pernah gagal. Anehnya, sampai sekarang Kirana tidak mendapatkan jawaban yang cukup logis tentang penyebab hancurnya pernikahan Rendra dan mantan istrinya. Sudah tidak ada kecocokan lagi jelas cuma alasan klasik. Pasti ada sesuatu yang tidak beres, bisa dari salah satu pihak atau malah keduanya.
Meski begitu, setahu Kirana, Rendra adalah pria baik. Itulah mengapa pada akhirnya Kirana juga tidak menolak ketika rencana perjodohan mereka kembali dibahas.
Namun, barusan Rendra membuatnya menyadari satu hal. Kirana selama ini mencoba menyangkal bahwa dia memiliki kecemasan tentang konsep pasangan terbaik. Dia selalu menganggap dirinya tidak cukup baik untuk siapapun. Itulah mengapa dia tidak pernah mau berkomitmen dengan siapapun selama hampir delapan tahun belakangan.
Lalu, mengapa pria di depannya ini malah mengaku senang karena bertemu orang seperti dirinya? Bukankah kecemasan yang sama-sama mereka rasakan berpotensi membuat keduanya menjadi pasangan yang penuh drama? Kirana benci hubungan rumit seperti itu.
"Besok pulang kerja jam berapa? Makan malam bareng, yuk!"
Kirana lagi-lagi merasa aneh saat Rendra mengajaknya makan bersama. Apa yang sebenarnya dipikirkan Rendra tentang dirinya?