Chereads / Revenge Of The Black Hare / Chapter 26 - Wanted

Chapter 26 - Wanted

Terjadi sedikit kecanggungan diantara calon sepasang suami-istri yang sedang menyantap makan siangnya di ruang makan.

Sang suami yang biasa dipanggil Sam tak bisa melepas pandangannya dari seekor kelinci yang sedang menyantap makanan yang sama di atas sudut meja. Ia merasa aneh, curiga dan kesal dengan kelinci itu karena ia masih ingat dengan kelinci kutukan yang pernah menjadi viral sekitar 4 bulan yang lalu.

"Kau tidak marah karena aku meletakkan Choco di atas meja dan makan bersama kita, kan?" tanya Kimberly.

Sam menggeleng. "Tidak," jawabnya. "Apa kau yakin dia bukan kelinci pembawa petaka itu?"

"Bukan sayang. Aku jamin itu. Buktinya, sampai saat ini aku sehat-sehat saja," kata Kimberly. "Juga, tidak ada yang meninggal di sekitarku."

Sam menghela napas lalu dihembuskan untuk menenangkan pikirannya dan mencoba untuk tidak terlalu cemas. "Baiklah. Tapi kalau kau ada apa-apa, langsung panggil aku, ok?"

"Ok."

"Oh ya, nanti sore, Ray dan orangtuaku akan datang ke sini," info Sam. "Kau sudah tahu itu, kan, sayang?"

"Aku sudah menyiapkan semuanya. Tenang saja." Kimberly menunjukkan ibu jarinya sambil tersenyum manis pada Sam.

"Kau memang bisa diandalkan!" Sam membalas senyum manisnya sambil mengelus kepala Kimberly.

"Mengganggu." Mungkin hanya Thomas yang tidak mendukung hubungan adiknya itu. "Kenapa tidak sama Chip saja? Kenapa harus sama dia?"

"Sudahlah, kau protes pun tidak akan mengubah tanggal pernikahan mereka," sambar Lizzie acuh.

Thomas hanya mendengus setelah mendengarnya.

•••

Saat waktu menunjukkan pukul 3 sore, sebuah mobil van cokelat terparkir di halaman depan rumah. Kimberly menyambut hangat ketibaan calon mertuanya dan keponakan laki-lakinya itu di halaman depan. Tapi, saat Mac melihat seekor kelinci melompat-lompat menghampiri mereka, suasana malah terasa berat.

"Itu... kelincimu, Kimberly?" tunjuk Mac pada Kelinci yang berdiri tepat di sebelah kaki Kimberly.

"Iya, namanya Choco." Kimberly mengangkat hewan pengerat itu. "Bukan-bukan. Ini bukan kelinci yang kalian maksud," katanya saat ia melihat pandangan tak biasa dari Mac, Marry dan juga Ray.

"Kami tidak berpikir seperti itu, sayang," timpal Marry sambil tersenyum. Mencoba menenangkan Kimberly yang nampak sedikit gugup karena takut mereka mengira kalau kelinci yang dipeliharanya itu adalah kelinci yang dicari-cari.

"Ayah, ibu, bagaimana kalau kita masuk ke dalam dulu? Kimberly baru saja selesai memanggang biskuit jahe," ajak Sam yang bermaksud mencairkan suasana.

"Ide bagus!" seru Mac.

Mereka pun masuk ke dalam rumah sederhana yang merangkap tempat praktik pengobatan hewan itu.

Mac dan Marry sedang asik mengobrol dengan Kimberly dan Sam di meja makan sambil menyantap hidangan yang disediakan. Mereka terlarut dalam obrolan orang dewasa yang tidak dimengerti Ray sama sekali. Setelah Ray selesai menghabiskan makanannya yang berupa kaldu ayam hangat dan meneguk segelas air mineral, ia langsung menuju ruang keluarga untuk memainkan PSP-nya dalam suasana damai.

"Hey, Lizz, rasanya aku ingin minta maaf padanya?" kata Thomas sambil memperhatikan Ray dari balik kotak kayu.

"Padanya siapa?"

"Ray."

"Ray? Kau yakin? Untuk apa minta maaf padanya?" Lizzie terdengar enggan untuk menemui bocah itu. Namun, Thomas tidak menggubrisnya dan ia langsung mendekati Ray. "Thomas! Jangan lakukan hal bodoh seperti ini!"

"Diam! Ikuti saja perintahku!" hardik Thomas.

Ray melihat ada seekor kelinci yang menghampirinya tapi ia tidak peduli dan fokus dalam permainannya.

Kelinci cokelat gelap yang dipanggil Choco itu mendaki sofa dan semakin mendekat pada Ray.

"Apa maumu?" kata Ray ketus dengan mata masih terfokus pada layar PSP.

Tiba-tiba saja kelinci itu menancapkan gigi-gigi serinya di paha Ray.

"Auch! Kau ini!" Ray langsung mengejar kelinci yang sudah berlari menjauhinya itu. "Sudah kuduga! kau pasti kelinci pembawa sial itu!" seru Ray sambil mengejarnya menuju keluar ke halaman belakang. Saat ia tiba, ia mencari-cari kelinci itu tapi tak ia temukan.

Sampai kedua matanya beralih ke wujud anak laki-laki sekitar seusianya yang sedang membelakanginya di depan pohon akasia di sudut halaman belakang. Ray terbelalak saat ia melihatnya. Itu karena ia masih mengenali anak laki-laki yang membunuh adiknya itu.

Ray pun segera menghampirinya untuk memastikan. Saat tinggal 5 langkah lagi, tiba-tiba anak laki-laki itu berbalik badan dan membuat Ray berhenti.

"Ka-kau?!" Ray sudah menduga kalau ia adalah orang yang dicari-cari selama ini.

"Kau itu, Ray kakaknya Lindsey, kan?" tanya Thomas dengan wajah dinginnya.

Ray tidak menjawab. Ia benar-benar geram dengan sosok di depannya itu. Kedua tangannya mengepal dan alisnya bertaut dalam. Wajahnya merah padam karena emosi yang akan dilampiaskan.

Saat Ray ingin menghampiri Thomas untuk menghabisinya, tiba-tiba saja ada yang menahannya dari belakang. Sebuah tangan kiri melilit lehernya dan tangan yang satu lagi ditampakkan. Tangan kanan mengerikan dengan jari-jari tajamnya yang bisa mengambil nyawanya.

"Bergerak satu senti saja, aku tidak segan-segan memenggal kepalamu," ancam Lizzie sambil tersenyum lebar seperti psikopat.

Emosi Ray meluap habis tak tersisa saat ia melihat tangan dan wajah Lizzie yang pastinya tidak ingin dilihat oleh anak-anak seusianya. Rasa takut yang hebat menggantikan emosi yang meluap itu.

"Hei," panggil Thomas pada Ray, "aku ingin bicara padamu."

Sambil memandang mata hitam Thomas, Ray masih terdiam karena rasa takut yang menguasai tubuhnya.

"Aku ingin minta maaf karena sudah membunuh adikmu, Lindsey," kata Thomas sambil tersenyum menyesal. "Aku tak sengaja dan benar-benar diluar perkiraanku. Aku pernah menemui arwahnya dan dia sangat baik ternyata."

"Si-siapa namamu?" Ray mencoba bersuara.

"Jangan kau beritahu namamu! Nanti akan kacau dan adikmu bisa semakin tertekan!" seru Lizzie. "Aku tahu kau pasti ingin memberitahu pamanmu itu, kan?" Lizzie menempelkan kuku tajamnya di leher Ray.

"Ooh jadi kau ingin melaporkanku pada pamanmu?" kata Thomas sambil melipat tangan. "Jangan coba-coba melakukan hal sia-sia seperti itu, Ray! Karena makhluk menyeramkan di belakangmu itu selalu mengawasimu dan tak segan untuk mencabut nyawamu kapan saja," ancamnya.

(Kurang kerjaan sekali aku mengawasinya,) batin Lizzie.

(Sudah diam saja, Liz,) balas Thomas.

(Kau... mendengarku?) mata merah Lizzie beralih pada Thomas. Begitu juga sebaliknya.

Beberapa saat Thomas terdiam sambil memandangnya sebelum beralih pada Ray kembali. "Mengerti?" kata Thomas.

Ray mengangguk cepat. Ia benar-benar tidak tahan dalam ketakutannya dan cepat-cepat pergi dari tempat itu.

"Asal kau tahu, Ray," Lizzie angkat suara, "dia akan terus menemuimu kalau kau tidak memaafkannya. Apa kau sudah memaafkannya sekarang?"

Lagi-lagi Ray mengangguk cepat dan berkata, "iya!" Walau hatinya tidak sepenuhnya memaafkan Thomas dan ingin sekali melaporkan ini pada Sam. Tapi ia perlu berkipir ratusan kali karena makhluk mengerikan di belakangnya yang mengancam nyawa itu.

"Cepat pergi dari sini sebelum aku berubah pikiran!" seru Lizzie sambil membebaskannya. "Tapi ingat! Jangan coba-coba kau adukan ini pada pamanmu!"

Ray pun segera lari terbirit-birit masuk ke dalam rumah.

"Aku tidak yakin dia bisa memegang janjinya," gumam Thomas sambil tersenyum penuh misteri. "Kita awasi dia sampai dia pulang dari sini. Kalau ia benar-benar memberitahukan keberadaanku, aku akan senang kau bisa membunuhnya dalam sekejap, Lizz."

Lizzie tertegun saat melihat mata hitam Thomas mulai kemerahan ketika rencana jahat berputar di pikirannya. Senyuman jahat Thomas yang tampak mempesona di mata Lizzie. Kemudian senyumnya ikut mengembang, melihat Thomas yang mulai sejalan dengannya.

"Tidak masalah."

•••

Ray langsung memeluk Marry dan menangis sejadi-jadinya.

"Kau kenapa, sayang?" Marry tampak cemas sambil memeluk balik cucunya itu.

"Ray kenapa?" Sam dan Mac terheran.

Marry hanya mengedikkan bahu dan meminta waktu pada mereka untuk menenangkannya.

Setelah cukup tenang, Ray pun mencoba menjelaskan pada Merry, Mac, Sam dan Kimberly yang sudah berkumpul di ruang keluarga.

"A-aku ba-baru bertemu..." dengan terbata-bata Ray berbicara pada mereka. Ia terdiam sesaat karena merasa sangat ragu untuk melanjutkannya.

"Bertemu siapa?" cecar Sam.

Ray masih terdiam dengan mulut bergetar ketakutan.

"Siapa yang kau temui, sayang? Ceritakan saja apa yang membuatmu ketakutan seperti ini," kata Marry lembut sambil mengelus rambut Ray untuk membuatnya semakin tenang.

"Pembunuh? Perampok? Hantu? Apa yang kau temui?" sambar Mac.

"A-aku bertemu dengan--"

Ucapan Ray kembali terhenti saat melihat kelinci itu sudah hadir mengawasi dari balik kotak kayu. Mata merah hewan pengerat itu nampak tajam dan mengintimidasi bagi Ray. Namun, ia berusaha untuk memberanikan diri. Ia mencoba untuk melampiaskan amarahnya yang sempat hilang. Ray pun menghampiri kelinci itu dan menendangnya sekuat tenaga.

Hewan itu pun terpental cukup jauh dan menabrak dinding pembatas ruangan dapur.

"Ray! Apa yang kau lakukan!" pekik Kimberly sebelum ia menghampiri hewan peliharannya.

"Itu adalah kelinci Lindsey! Aku baru bertemu dengan orang yang membunuhnya dan dia bersama dengan makhluk jahat!" Amarah Ray memuncak. Ia melupakan apa yang Lizzie dan Thomas ancamkan itu. Ia yakin jika selama ia berada di sekitar keluarganya, ia akan baik-baik saja.

Beberapa saat Mac, Marry dan Sam terdiam mendengar berita dadakan itu. Antara percaya dan tidak percaya.

"Kau baik-baik saja, Thomas?" Lizzie terdengar khawatir karena hantaman itu cukup keras dan mungkin saja bisa mematahkan punggungnya.

"Cukup baik," kata Thomas sambil meringis. "Anak itu sudah melanggar janjinya. Liz, kau tahu apa yang kau lakukan setelah ini?"

"Membunuhnya dengan cepat?"

"Tepat sekali."

"Tapi setelah ini, berjanjilah padaku. Tanyakan adikmu di mana keberadaan Nataline saat ini."

"Ya, aku janji."

•••

Sang Raja Siang sudah kembali ke tempat peristirahatannya sementara. Membentangkan perpaduan warna biru dongker dan sedikit jingga di hamparan langit yang luas. Mac, Marry dan cucu laki-lakinya itu sudah berada di halaman depan untuk berpamitan pada Sam dan Kimberly.

"Kami pamit dulu, ya, sayang," kata Marry sambil memeluk calon menantunya itu.

"Iya, terima kasih sudah datang," balas Kimberly.

Marry membalas senyuman manis yang Kimberly berikan sebelum ia juga memeluk Sam dan berbisik di telinganya, "suruh dia buang kelinci itu dan menggantinya dengan yang lain."

Sam mengangguk samar sebagai jawaban.

"Sam, jangan lupa nanti malam ada rapat untuk membahas kasus perampokan bank," info Mac.

"Aku tahu," balas Sam.

Dari balik jendela lantai dua kamar Kimberly, terlihat Thomas dan Lizzie sedang mengawasi.

"Apa yang kau lakukan untuk membunuh mereka?" tanya Thomas dingin sambil memandang bosan perpisahan antar keluarga yang mungkin tidak akan ada lagi.

"Aku buat rem mobil itu tidak berfungsi," jawab Lizzie. "Dengan begini, mereka meninggal karena murni kecelakaan." Ia terdengar bangga dengan apa yang ia lakukan itu.

"Hmm... bagus." Thomas meresponnya datar. Hal itu cukup membuat Lizzie kecewa.

Tiba-tiba terlintas suatu pertanyaan di benak Lizzie. "Kenapa kau mau repot-repot bertemu dengan Ray untuk minta maaf padanya, kalau pada akhirnya kau juga akan membunuhnya?"

"Itu karena...," Thomas terdiam sesaat dan memikirkan sesuatu, "Lindsey. Aku melihatnya seperti Kimberly. Dan aku melihat Ray seperti diriku sendiri."

"Maksudmu?"

"Lupakan saja."

"Kenapa?" Lizzie benar-benar tidak mengerti. Baik apa yang diucapkan Thomas maupun apa yang dipikirkannya.

"Lihat, mereka sudah pergi." Thomas mencoba mengalihkan topik sambil menunjuk mobil van cokelat yang mulai melaju. "Setelah ini, kita tunggu kabar duka dari mereka."

Lizzie mengedikkan bahu. Tidak terlalu peduli dengan ungkapannya itu. Lagi-lagi ia teringat suatu pertanyaan yang cukup penting untuk ditanyakan. "Sejak kapan kau bisa mendengarku, Thomas?"

"Sejak Alice memberitahu semuanya padaku," jawab Thomas sambil memandang Lizzie. "Kau tahu, ada banyak sekali yang kau tutupi dariku."

"Kau sendiri juga banyak yang kau tutupi dariku," balas Lizzie sambil melipat tangan. "Dari awal kita bertemu, hampir setiap saat aku mendengar pikiranmu. Namun, sekarang, kau jadi lebih pendiam sejak bertemu Alice," tambahnya.

Thomas mengedikkan bahu. "Ok, berarti kita impas," ucapnya santai sambil kembali memandang keluar jendela.

Kedua mata Lizzie menyipit ke arahnya. Rasa bencinya pada Alice semakin tak terkira. Thomas yang juga terlihat mulai cukup menyebalkan itu membuat perasaan Lizzie menjadi tidak enak. Ia merasa kalau Thomas merencanakan sesuatu tanpa campur tangan siapapun.

•••

"Kim, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," kata Sam setelah ia melihat mobil van itu pergi.

"Apa?"

"Tentang Choco mu itu," jawab Sam sambil menghadap Kimberly.

Beberapa saat ia terdiam dan menerka apa maksud dari Sam itu. "Kau mau aku membuangnya?"

"Iya, karena--"

"Aku tidak akan membuangnya," sela Kimberly.

"Bagaimana kalau kita beli anjing atau kucing saja?" usul Sam.

"Boleh. Tapi aku tetap tidak akan menggantikan Choco dengan hewan peliharaan lain."

"Ayolah Kim," erang Sam sambil mendekat ke arahnya.

"Aku bilang tidak, Sam," balas Kimberly sambil menjauh darinya. Saat ia menoleh ke belakang, ia melihat seekor kelinci keluar melewati pintu yang terbuka. Kimperly pun segera menghampiri kelinci itu dan menangkapnya.

"Kim, jangan--"

"Kamu kenapa sih?" Kimberly mulai lelah dengan sikap Sam yang menurutnya berlebihan itu.

"Karena aku mengkhawatirkan keselamatanmu!" seru Sam. Emosinya sedikit membludak menghadapi calon istrinya yang keras kepala itu.

Kimberly tertegun mendengar Sam yang tiba-tiba saja berteriak padanya.

"Maaf. Bukan bermaksud membentakmu, tapi..." Sam tertunduk dan tidak tahu ingin bicara apa.

"It's Ok," kata Kimberly sambil tersenyum menenangkan. "Aku mengerti, Sam. Tapi maaf, aku benar-benar tidak bisa membuangnya. Jangan terlalu mengkhawatirkanku, ok? Karena aku sudah banyak belajar ilmu bela diri saat menjalani ekspidisiku kemarin."

"Ilmu bela diri?"

"Iya. Untuk jaga-jaga saat di hutan kalau bertemu dengan beruang dan hewan buas lainnya," jelas Kimberly dengan sumringah lebar. "Aku pernah melawan beruang dan aku menang. Ya walau saat itu beruangnya bohongan. Chip rela memakai kostum beruang yang besar untuk sesi latihanku itu."

"Wow aku kira beruang sungguhan," komentar Sam sambil tertawa sekilas.

"Kalau sungguhan pun, aku juga bisa melawannya!" kata Kimberly opitimis sambil ikut tertawa. "Jadi, Sam, sekali lagi, jangan terlalu mengkhawatrikanku karena aku takut kamu tidak fokus dengan pekerjaanmu nanti." Suaranya memelan dan lirih.

"Baiklah. Aku anggap kamu baik-baik saja. Tapi aku ingatkan lagi, telpon aku kalau kamu kenapa-kenapa." Sam akhirnya mengalah.

"Thank you," sahut Kimberly senang. "Jadi, kapan kamu akan pergi ke kantormu untuk bahas kasus itu?"

"Sebenarnya sebentar lagi aku harus jalan," jawab Sam sambil melihat waktu di jam tangannya.

"Apa yang kamu tunggu? Kamu harus jalan sekarang sebelum terlambat!" seru Kimberly sambil menarik tangannya menuju mobil sedan putih yang terparkir di garasi.

"Tapi Kim--"

"Tidak ada tapi-tapian. Aku sudah bisa jaga diri, Sam!"

Dengan terpaksa, Sam pun masuk ke dalam mobilnya dan lebih menuruti perintah Kimberly. "Telpon aku kalau ada bahaya," kata Sam sebelum ia mengecup pipi Kimberly.

"Iya, sayang," balas Kimberly yang tampak enggan menjawab perintah yang diulang-ulang itu. Kedua pipinya merona merah karena malu.

Kemudian, mobil sedan putih itu pun melaju meninggalkan halaman rumah.

Beberapa menit setelahnya, saat Kimberly akan masuk ke dalam rumahnya kembali sambil menggendong Choco, tiba-tiba saja sebuah mobil Beatle hijau yang tampak familiar itu datang dan berhenti di seberang rumahnya. Kimberly mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam rumah karena ia kenal sekali dua orang yang baru saja keluar dari mobil itu. Ia pun bergegas menghampiri mereka dan tidak peduli kalau suhu udara di luar semakin menurun.

"Chip! Cathrine!!"

Panggilan itu membuat mereka menoleh ke sumber suara.

"Hai Kimberly," sapa Cathrine saat ia sudah sampai di hadapan mereka.

"Hai Cathrine," balas Kimberly. "Astaga Chip! Apa yang sebenarnya terjadi?" Ia tampak khawatir dengan keadaan kawannya yang jauh dari kata baik itu.

"Ceritanya panjang, Kim," jawab Chip. "Itu akan aku jelaskan nanti. Soalnya ada yang lebih penting dari itu."

"Apa?"

"Ini tentang Thomas," jawab Cathrine.

"Thomas? Oohh kalian ingin mengunjungi makamnya? Boleh saja. Tapi besok ya! Aku juga sudah lama tidak ke makamnya." Kimberly tampak semangat setelah menerka apa yang Cathrine maksud itu.

"Bukan, Kimberly. Ini tentang Thomas yang berreinkarnasi itu," timpal Cathrine sambil menggeleng cepat.

"Maksudnya apa?" Kimberly sedikit memiringkan kepala karena tidak mengerti.

Chip dari tadi diam saja sambil memperhatikan kelinci hitam yang menggeliat minta dilepaskan itu.

"Sialan kau, Chip! ALICE!!"

Suara rutukan itu tentunya berasal dari Lizzie yang bisa melihat keberadaan Chip dan juga Alice--yang akhirnya menampakkan wujudnya di depan Lizzie--tak jauh di sebelah Cathrine.

"Lebih baik kita bicarakan ini di dalam saja," usul Chip.

"Kalau begitu, ayo masuk rumahku saja. Aku masih ada persediaan kue jahe untuk menghangatkan badan," tawar Kimberly. "Tapi janji untuk memberitahukan apa yang kalian maksud itu."

"Iya," jawab Cathrine. Chip hanya menganggukan kepala sebelum mereka masuk ke dalam rumah Kimberly yang ada di seberangnya.