Tepat saat Thomas tertegun mendengar alasan yang diucapkan dari suara misterius di sekitarnya, ia sudah berpindah ke tubuhnya semula. Kini ia tampak sedang duduk di kursi panjang sambil membentangkan koran di depan wajah. Thomas menurunkan koran dari depan wajah dan melihat sekeliling. Ternyata ia berada di keramaian orang yang sedang menebus obat. Mata hitamnya terlihat kosong, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Lalu, ia lipat koran itu dan diletakkan kembali di tempat koran di sebelahnya. Ketika ia hendak berdiri, ia baru merasakan nyeri di kaki kirinya yang memaksanya duduk kembali. Ia pun menggulung sedikit celana hitamnya untuk mendapati pergelangan kaki kirinya yang bengkak dan sedikit kebiruan.
Thomas menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil menghembuskan napas panjang. Entah kenapa ia merasa lemas, seperti ada yang mengendalikan seluruh tubuhnya tanpa ia sadari. Sampai ia teringat kalau Lizzie baru saja berada di dalam tubuhnya.
(Lizz, kau tidak membunuh, Ray, kan?) tanyanya memastikan.
(Tidak. Aku hanya berlari menghindarinya. Maaf topimu hilang di jalan.)
Ia bernapas lega. (Baguslah. Tidak apa. Aku juga tidak terlalu suka pakai topi.)
(Oh ya, tentang kakimu yang terkilir, kau istirahat dulu saja di sana. Nanti lukamu akan sembuh sendiri.)
(Ok.)
Beberapa menit terjadi keheningan lagi. Thomas memilih untuk tidak mengangkat topik tentang lukisan-lukisan dirinya itu setelah tahu alasan Lizzie membuatnya. Jadi, ia hanya duduk bersandar sambil mengingat pertanyaan Kimberly saat itu.
("Apa kau mengenal Lizzie dan Alice?")
"Semoga kau tidak bertemu dengan mereka," gumam Thomas. Ia kembali ke beberapa saat yang lalu dalam perjalanan menuju rumah sakit.
("Alice dan Lizzie?") tanya Thomas sekali lagi. ("Maksudmu, tokoh dalam animasi Alice in Wonderland?")
("Bukan,") timpal Kimberly, ("Alice dan Lizzie, sepupu tiri kita yang sudah tiada.")
("Hmm... aku tidak tahu,") balas Thomas cepat. ("Kau tahu darimana?")
("Papa bercerita banyak tentang mereka. Apa kau ingin dengar? Ini cerita yang menarik!")
Thomas menggeleng cepat. ("Tidak terima kasih. Lebih baik menonton kartun kesukaanku daripada mendengar cerita yang membosankan.")
("Ya sudah terserahmu!") gerutu Kimberly sambil menjitak Thomas.
Thomas hanya menjulurkan lidahnya ke arah Kimberly sebelum kembali menatap layar ponsel. Setidaknya lebih baik Kimberly tidak membicarakannya daripada ia terseret dalam masalah Thomas yang mungkin saja dapat merenggut nyawanya.
Tentunya Lizzie dapat mendengar isi pikiran Thomas saat ini ketika ia mengulang momen tersebut.
(Walaupun sepupu tiri, kita tidak punya hubungan darah. Apakah aku salah untuk mencintaimu?)
(Se-semudah itu kah untuk menyatakan pe-perasaannya pada seseorang?!)
(Memang bagiku semudah itu. Aku bukan pengecut sepertimu yang sampai sekarang tidak mengungkapkan perasaanmu pada Cathrine.) cibirnya.
(Tapi aku tahu dia suka sama Chip!)
(Aku tahu kau suka sama Cathrine, tapi aku masih mengungkapkan perasaanku padamu.)
(Sial.) Thomas mendengus sebal karena tidak menemukan ucapan untuk membalasnya. Dan Lizzie membalasnya dengan kekehan sekilas.
(Aku tidak terlalu peduli kau menyukaiku balik apa tidak, karena yang terpenting untuk saat ini bukan itu. Kita di sini untuk membunuh Nataline, bukan mengungkapkan perasaan satu sama lain.)
•••
Thomas berjalan menyusuri koridor dan berencana untuk kembali ke depan ruangan 108 untuk menemui Kimberly. Sebelum tiba di depan ruangan tersebut, ia sudah melihat adiknya itu sedang duduk di kursi taman bersama pria paruh baya.
"Papa, Thomas sudah datang," bisik Kimberly pada pria tua itu.
"Di mana?"
Kimberly menunjuk ke arah jam dua dan berkata, "dia di sana, sedang berjalan ke sini."
"Tidak ada siapa-siapa di sana, sayang," kata Daryl sambil menyipitkan mata. "Apa kau mulai mempunyai indra keenam?"
Kimberly menggeleng. "Tidak. Coba Papa pakai kacamata dan ingat-ingat Thomas seperti apa."
Daryl merogoh kacamatanya di dalam saku dan langsung mengenakannya.
"Thomas ada di depanmu sekarang," kata Kimberly.
Daryl hampir saja tersungkur ke belakang karena melihat kehadiran Thomas di depannya.
"Papa sudah melihatku?" tanya Thomas pada Kimberly untuk memastikan.
"Iya!" seru Kimberly.
Thomas sumringah senang sambil melihat ke arah Daryl. "Papa!" Saat Thomas ingin memeluknya, tiba-tiba saja Daryl berdiri dan menghindar.
"Ada apa? Ini benar-benar Thomas, Papa," kata Kimberly.
"Tapi... tapi kan Thomas sudah mati." Daryl nampak curiga. "Apa mungkin ini anakmu, Kim? Atau orang lain yang mirip Thomas?"
"Bukan! Ini memang Thomas. Ayolah, Tom! Ucapkan sesuatu!" seru Kimberly pada Thomas yang tampak murung itu.
"Sudahlah Kim. Papa tidak mungkin percaya aku ada di sini," lirihnya sambil duduk di kursi taman dan bertopang dagu.
Daryl mensejajarkan diri dengan Thomas untuk melihat wajahnya lebih jelas. "Buktikan kalau kau memang Thomas."
"Caranya?" Anak laki-laki itu menatapnya bingung.
"Hmm..." Daryl berpikir sejenak. "Ulang tahun ke berapa, Kimberly pertama kali dibelikan kelinci?"
"Ke-9!" jawabnya pasti.
"Kapan Kimberly terlihat lebih tua?"
"Waktu rambutnya pendek!"
"Betul! Ternyata kau memang Thomas!" seru Dary sebelum ia memeluknya.
(Ehh... Kenapa pertanyaannya tentang aku semua?) heran Kimberly dalam hati. Dan ia juga tidak menyangka kalau Thomas masih menganggapnya tua jika memiliki rambut pendek. (Untung aku tidak memendekkan rambutku,) batinnya sambil memilih sedikit rambutnya yang dikuncir satu. Meskipun begitu, ia ikut tersenyum melihat papanya dapat menyadari keberadaan Thomas.
"Ya Tuhan! Bagaimana kau bisa di sini?" tanya Daryl sambil mengeratkan pelukannya untuk melepas kerinduan yang ada.
"Aku juga tidak tahu, Pa," jawab Thomas.
Daryl melepas pelukannya dan menggenggam kedua pundak Thomas. "Wow, kau dingin sekali. Habis dari kutub?"
Thomas menggeleng sambil tertawa miris. "Tidak, Pa."
"Aku senang sekali bisa bertemu lagi denganmu, Thomas. Walau tubuhmu masih sama seperti yang dulu, aku tidak peduli," girang Daryl. Bisa terlihat dari kedua matanya yang mulai berkaca-kaca kalau Daryl sangat merindukannya.
Perkataan itu hampir sama dengan apa yang diucapkan Kimberly. Mereka berdua tidak peduli dengan wujud Thomas itu, yang ia pedulikan adalah bisa bertemu dengannya lagi.
"Ah ya, habis ini kalian mau langsung pulang?" tanya Daryl.
"Aku ingin mengajak Thomas bertemu dengan Mama," jawab Kimberly.
"Tunggu. Apa itu tidak apa-apa kalau bersama Thomas?" kata Daryl memastikan.
"It's allright, Pa," balasnya. "Mungkin saja Mama bisa sembuh setelah melihat Thomas."
Walau agak ragu, Daryl tetap membiarkannya mengajak Thomas menemui istrinya. "Hmm... Baiklah."
"Habis ini Papa mau ke mana?" tanya Kimberly balik.
"Papa ingin menguburkan Alice dulu." Daryl langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Jawaban yang seharusnya tidak ia lontarkan di depan Kimberly.
"APA?" kaget Kimberly. "Di mana Papa menemukannya?"
"Sekitar dua hari kemarin, Papa sempat berkunjung ke rumah tua itu untuk mengambil barang yang sudah lama Papa simpan. Tiba-tiba saja Papa menemukan tulang-belulang koridor lantai dua." Mau tidak mau ia harus menjelaskannya kalau tidak ingin diteror Kimberly karena rasa penasarannya yang tinggi.
"Papa tahu dari mana itu punya Alice?"
"Papa tahu itu Alice dari pakaiannya."
"Dari pakaian saja tidak cukup! Kalau ternyata itu tulang-belulang orang lain, bagaimana? Lagian kenapa rumah itu masih berdiri, sih, Pa? Papa juga suka diam-diam datang ke sana sendirian tanpa memberitahuku. Aku khawatir rumah itu dijadikan tempat kriminal."
"Itu—"
"Tunggu. Aku hubungi Sam untuk mencaritahu itu tulang siapa," timpal Kimberly sambil mengambil ponselnya dan segera menghubungi Sam. "Terus aku juga akan minta tolong dia mengeluarkan barang-barang yang masih berguna dari sana. Nanti setelah pernikahanku, rumah itu segera dirubuhkan."
"Tidak perlu, Kimberly. Dia pasti sedang bekerja sekarang," cegah Daryl.
"Hey, Sam. Bisa bantu aku?"
Kimberly tidak mempedulikan cegahan papanya itu dan mengambil jarak darinya untuk menjelaskan apa yang terjadi pada Sam.
Daryl hanya bisa mendesah melihat kelakuan putri asuhnya yang sedang menjawab panggilan itu.
"Apa Kimberly sangat keras kepala selama ini?" bisik Thomas.
Daryl mengangguk. "Ya. Sejak kepergianmu, dia mulai sangat keras kepala hampir sama sepertimu," jelasnya. "Kukira keras kepalanya sedikit berkurang saat bertemu denganmu lagi, tapi ternyata sama saja," Daryl melipat tangan dan tertawa sekilas.
"Kau bisa? Oke, makasih sayang. Nanti beritahu aku dan Papa itu tulang siapa dan kenapa bisa ada di sana ya." Kimberly menutup ponselnya setelah memberikan kecupan ke layar ponsel tanpa rasa malu. "Besok Sam akan mengirimkan tim untuk menyelidikinya."
"Astaga, Kim," erang Daryl melihat tingkahnya itu.
Kimberly menangkup satu tangan Daryl dan berkata, "sekarang Papa pulang saja dan istirahat ya. Jangan ke sana lagi karena Sam sudah mengurusnya. Nanti aku juga ikut membantu."
Daryl mendesah. "Terserahmu, Kim."
Kimberly tersenyum lebar dan memeluknya sekilas untuk berpamitan. "Ok! Ayo kita jenguk Mama!" seru Kimberly sambil menarik tangan Thomas.
"Hey, Thomas," panggil Daryl.
Thomas berhenti dan memandang Daryl yang duduk di kursi taman. "Iya?"
"Jangan cemas saat bertemu dengan Mamamu, ok?"