Chereads / Bukan Salah CEO Pengganti / Chapter 1 - Prolog

Bukan Salah CEO Pengganti

🇮🇩Viviani
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 25k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

Sabrina baru saja menyelesaikan makan paginya. Gerry Caesar Wijaya—adik laki-laki yang masih berusia enam belas tahun berjalan dengan terburu-buru menuruni tangga rumahnya. Dia bangun kesiangan dan hari ini harus pergi ke sekolah.

"Sial! Mengapa Kakak tidak membangunkanku?!" katanya dengan raut wajah kesal.

Sabrina yang masih duduk di meja makan mendongak ke arahnya. Menatap datar wajah laki-laki yang sangat mirip dengan ayahnya itu yang langsung membuatnya sedikit emosi.

"Kamu sudah dewasa dan tahu bagaimana mengurus diri. Jangan manja dan selalu mengandalkan Kakak. Kamu 'kan tahu kalau kita hanya hidup berdua saja sejak Ibu meninggal sebulan yang lalu," sahut Sabrina ikut emosi.

"Dasar sial! Mengapa Mom harus meninggalkan kita secepat ini?! Aku berharap Kakak cepat menikah dan meninggalkan rumah ini saja!" umpatnya seraya meminum segelas susu putih dan meraih sepotong roti sandwich yang sudah Sabrina buat.

"Ck .... Ingat ya, aku walimu! Kamu tidak akan bisa apa-apa tanpaku. Bahkan uang jajan yang kuberikan padamu setiap hari itu adalah hasil kerja kerasku, Gerry!" teriaknya tapi Gerry tidak bergeming. Dia segera memakai sepatu dan membanting pintu ruang tamu dengan keras.

Sabrina bernapas panjang. Menggelengkan kepalanya bingung. Sejak Ibu mereka meninggal, dia harus menjadi tulang punggung sekaligus wali untuk adiknya. Gerry memang remaja manja yang selalu bergantung kepada orang tua. Dia harus banyak belajar untuk mandiri dan mengurus segala kehidupan dan keperluannya sendiri.

Sabrina bangkit dari duduknya. Membereskan gelas dan piring yang kotor lalu membawanya ke dalam wastafel. Sekali lagi Mengembuskan napasnya yang terasa berat. Dia menengadah menahan air matanya yang akan jatuh.

"Tuhan, apakah aku bisa tahan menghadapi ini semua?" tanyanya kepada diri sendiri.

Setelahnya, gadis itu lalu mencuci perabotan kotornya dan bergegas berangkat ke kantor.

Sabrina Putri Wijaya, wanita berusia dua puluh lima tahun harus menelan kenyataan pahit hidupnya yang ditinggal meninggal ibunya satu bulan yang lalu. Sedangkan ayahnya tidak tahu pergi ke mana. Ia hanya ingat pria itu meninggalkannya saat ia berusia lima tahun. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga menyebabkan perceraian di antara kedua orang tuanya.

Perkataan sang adik yang menyuruhnya segera menikah pun tidak digubrisnya karena ia sedikit trauma dengan kata pernikahan. Di balik tekanan yang ia hadapi, dia mempunyai seorang teman kecil seorang laki-laki bernama Firaz Harsa Putra.

Tok-tok-tok!

Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Sabrina bergegas membuka pintu. Seorang lelaki bertubuh tegap dan berwajah tampan berdiri di depannya. Firaz.

"Firaz .... Kukira siapa?" Sabrina merengut.

"Siapa? CEO tampan yang ada dalam novel yang kamu baca?" ledeknya.

"Huh!" ketusnya.

"Kamu tidak berangkat kerja, Bin?" tanya Firaz yang memanggilnya dengan panggilan Bina dibanding Bri atau Brina. Hanya dia yang memanggilnya seperti itu.

"Sebentar lagi."

Firaz kemudian duduk di kursi meja makan, menyomot satu potong sandwich yang masih tersisa dan memakannya.

"Kamu sendiri tidak bekerja hari ini?" tanya Sabrina seraya menyeka tangannya yang basah dengn lap handuk.

"Aku?" Firaz menunjuk kepada dirinya sendiri.

"Kamu pikir siapa lagi?" Sabrina mengambil tas tangannya. "Aku pergi dulu. Kalau kamu tidak bekerja, kamu bisa menjaga rumahku sekarang," tukas Sabrina. Wanita itu segera memakai sepatu high heels-nya dan berjalan keluar rumah.

"Hei, Bin! Kamu sungguh tidak peka sama sekali!" teriak Firaz menyusul langkah Sabrina. Dia mencopot kunci dari rumah kuncinya dan mengunci pintu utama rumah Sabrina.

Langkah Sabrina tergesa-gesa. Dia sudah telat berangkat bekerja pagi ini. Terlihat mobil sedan Firaz terparkir di depan halaman rumah wanita itu tapi Sabrina tidak peduli dan terus melangkah menjauh dari rumah peninggalan sang Ibu.

Firaz masuk ke dalam mobilnya. Segera memakai seatbelt dan mengejar langkah Sabrina yang tergesa-gesa sampai akhirnya dia bisa menyeimbangkan langkah wanita itu.

Firaz menurunkan kaca mobilnya sambil masih menekan sedikit gas mobil. Kepalanya menoleh ke arah Sabrina dari samping kanan.

"Bin, masuklah! Aku sengaja datang untuk menjemputmu," katanya.

Sabrina menoleh sebentar tapi segera mengalihkan pandangannya lagi ke depan. "Kamu tidak menjemput pacarmu saja?" katanya.

"Andini masih pergi liburan dengan keluarganya di Singapura. Masuklah Bin! Sudah lama kita tidak berangkat bersama."

Sabrina berdecak, kemudian mengalah dan masuk ke dalam mobil Firaz. Firaz dan Sabrina memang satu kantor. Hanya nasibnya saja yang sedikit berbeda. Firaz adalah seorang manajer marketing, sedangkan Sabrina hanya seorang karyawan biasa di bagian yang sama. Ya, Firaz adalah atasannya.

Mereka berteman sejak kecil dengan letak rumah yang tidak terlalu jauh darinya. Firaz sangat mengenal Sabrina, tapi di kantor mereka menyembunyikan hubungan pertemanan dan hanya ingin menunjukkan hubungan profesional.

Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Firaz sesekali melirik Sabrina. Wanita itu terlihat sedang berpikir. Entah apa yang mampir dalam benaknya saat ini. Firaz yang melihat Sabrina segera menegurnya.

"Bin, kamu tidak apa-apa?"

"Hah?!" Wajah Sabrina sontak menoleh ke arah Firaz yang masih fokus menyetir kendaraannya.

"Iya, kamu tidak apa-apa? Kelihatannya sedang berpikir serius sekali?"

"Aku bingung. Hidup berdua saja dengan adikku yang sulit diatur. Kami selalu bertengkar tiap pagi," keluhnya.

"Bukankah hal itu akan menambah keakraban di antara kalian?" sahut Firaz.

"Tidak. Hubungan kami makin menjauh. Aku rasa dia membenciku karena selalu memintaku untuk segera menikah agar suamiku nanti bisa membawaku bersamanya dan dia bisa bebas hidup sendiri."

"Ha-ha-ha. Mana ada lelaki yang mau menikahimu? Sudah berapa lama sejak kamu putus dengan kekasihmu? Setahun? dua tahun? Ah tidak. Aku rasa sudah lima tahun kamu tidak mempunyai kekasih," sahut Firaz terkekeh.

"Jangan meledekku! Menjadi jomblo itu pilihan, bukan sebuah aib. Bukan karena kamu punya pacar lantas kamu bisa mengataiku, Raz. Hah! kamu sungguh menyebalkan. Menyesal aku masuk ke dalam mobilmu!" Sabrina melipat kedua tangannya kesal. Bibir mungilnya sontak memanyun.

"Ya-ya-ya. Maaf, Bin. Kamu mau aku kenalkan dengan tem—?"

"Nope." Sabrina sontak meregas tawaran Firaz.

"Ya sudah. Nikmatilah masa jomblomu kalau begitu," Firaz mencibir dengan gayanya yang meledek.

Mendengar kalimat terakhir Firaz membuat Sabrina sontak memukul bahunya kesal. Tidak puas dengan memukul, dia mencubit lengannya hingga Firaz mengaduh kesakitan.

Begitulah mereka setiap bertemu. Selalu ada pertengkaran kecil yang mewarnainya. Firaz Harsa Putra—sahabat sejak kecil yang selalu ada saat ia butuhkan.

Setengah jam kemudian, mobil Firaz hampir memasuki gerbang Cleopatra Corporation, tempat mereka mengais rezeki. Namun, Sabrina sudah meminta Firaz untuk menghentikan mobilnya sekitar seratus meter jarak dari gedung kantor itu. Dia tidak ingin para karyawan melihatnya pergi bersama atasannya.

"Raz, aku turun, ya."

"Ya," sahut Firaz singkat. Dia kemudian meneruskan perjalanannya menuju pelataran parkir gedung Cleopatra Corporation.

Sabrina berjalan sendiri menuju gedung kantor. Suasana pagi cukup ramai. Bukan hanya dia yang berjalan menuju kantor itu. Beberapa orang juga terlihat melakukannya, termasuk Bella—teman kantor Sabrina.