"Brina!" panggil Bella dari belakang.
Sabrina menengok ke belakang. Tampak Bella yang berlari menghampirinya dengan stiletto berwarna putih. Wanita cantik bermata coklat dan berambut hitam panjang sebahu, sama panjangnya dengan rambut Sabrina.
"Hei, Bell! sapanya ramah seraya menyunggingkan senyum.
"Brina, kelihatannya kamu kurang tidur. Bawah matamu hitam dan bengkak."
"Sedikit. Kemarin aku lembur dan tidak bisa tidur sampai pukul dua pagi," sahut Sabrina.
"Wow! Jahat sekali Pak Firaz menyiksamu, Brin!" tukas Bella. Kedua alisnya terangkat terkejut.
"Ehm ... dia tidak sejahat itu, kok. Aku saja yang suka menunda-nunda pekerjaanku hingga menumpuk," sahut Sabrina tersenyum.
"Oh .... Hei, kamu tahu tidak? Sekretaris Pak Willy—direktur kita tiba-tiba mengundurkan diri. Dia beralasan ingin fokus mengurus rumah tangganya," Bella mulai bergosip.
"Resign?"
"Iya, tapi aku tidak yakin alasannya itu. Kamu sendiri tahu kalau beliau adalah sosok tua yang tidak punya perasaan. Lebih parah daripada Pak Firaz. Menyiksa sekretarisnya hingga pulang tengah malam." Kedua mata Bella melotot ketika menceritakan hal itu seakan itu adalah dongeng yang mengerikan yang sering diceritakan saat malam halloween.
"Hah? Dari mana kamu tahu cerita seperti itu? Itu hanya gosip yang bertebaran di seluruh gedung." Sabrina tidak percaya.
Bella terkekeh. Dia pun tidak mengenal baik dengan sang direktur yang begitu misterius. Mereka yang hanya karyawan rendahan jarang atau bahkan tak pernah bertemu dengan pria itu.
Tidak terasa mereka telah masuk ke dalam lobi. Firaz terlihat sedang mengobrol dengan dua orang resepsionis di depan. Dia memang ramah kepada siapapun. Bahkan bila orang tidak mengenalnya, pasti mereka akan berpikiran bahwa Firaz sedang menggoda mereka dan melakukan tebar pesona ke segala penjuru gedung.
Pandangan Sabrina berkelebat melirik atasannya itu kemudian mendengkus, "Huh! Dasar Firaz. Bagaimana jika Andini mengetahui kelakuannya seperti itu?!"
"Apa kamu bilang, Brin?" Bella menoleh. Sepertinya ia mendengar dengkusan temannya.
"Ah, tidak ada." Sabrina mulai menempelkan name tag miliknya ke mesin pembatas pintu para karyawan.
Firaz menoleh Sabrina yang sudah masuk lebih dulu. "Saya masuk dulu," pamitnya kepada kedua resepsionis itu seraya melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul delapan kurang tiga puluh menit.
Pria gagah itu berjalan cepat hendak menyusul Sabrina yang sudah masuk ke dalam ruangannya. Sedangkan Bella sudah berpisah masuk ke dalam unit keuangan.
"Bina!" panggil Firaz. Seketika wanita itu menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.
Menghela napas panjang, menatap sahabat kecilnya itu berjalan menghampiri.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya formal karena di kantor itu tak ada satu pun orang tahu hubungan pertemanan yang sejak kecil itu sudah terajut. Jika mereka tahu, baik Sabrina maupun Firaz pasti akan merasa sangat tidak nyaman untuk bersikap dan bekerja. Apalagi, Firaz adalah atasannya.
"Hei, ayolah! Di sini sedang tidak ada orang lain selain kamu, Bin. Haruskah kamu bersikap seperti itu kepadaku?" Firaz terlihat keberatan.
"Hei kamu sudah menyepakatinya, bukan? Lagi pula apa yang kamu inginkan, Raz?" Sabrina menatapnya serius.
"Ppfftt!" Firaz menahan tawa.
"Ada yang lucu?" Sabrina menatap wajah bosnya, masih serius.
"Tidak. Ada yang ingin aku bicarakan, Bin. Aku baru saja mendengar kabar kalau kamu akan dipindahkan ke bagian lain," kata Firaz.
"Pindah ke mana? Aku belum mendengar kabar apapun." Wajah Sabrina berkerut.
"Nanti jika surat rotasinya sudah turun, aku akan memberitahumu lebih lanjut. Sebenarnya aku tidak ingin kamu pindah dari bagianku, Bin. Pekerjaanmu cukup bagus walaupun kadang suka menundanya, tapi karena ini permintaan pemilik Cleopatra, aku tidak bisa menolak."
"Pemilik? Maksudnya?"
"Nanti kamu akan mengetahuinya." Firaz terkekeh kemudian dia membalik tubuhnya pergi begitu saja. Meninggalkan tanda tanya besar di benak Sabrina.
"Sial! Firaz!" seru Sabrina.
Sejenak ia terdiam lalu melangkah cepat menyusul Firaz setengah berlari. Ketika langkahnya sampai di depan pintu, para karyawan sedang berada di luar sontak memperhatikan Sabrina yang terlonjak kaget melihat sekelilingnya.
"Ada apa, Brin?" tanya Jane—supervisor marketing dengan wajah mengernyit bingung.
"Ti-tidak, Bu." Seketika wajah Sabrina merah merona. Malu sekali.
"Kamu berlari seperti itu pasti ada sesuatu."
"Saya mencari Pak Firaz. Apa Bu Jane melihatnya?" tanya Sabrina salah tingkah padahal dia menyadari Firaz yang berjalan santai menuju ruangannya. Pria itu menoleh sesaat, mengarahkan pandangannya kepada Sabrina dengan kekehan kecil mengejek.
"Ya." Jane kemudian menengok ke belakang dan menunjuk Firaz yang sudah mengalihkan pandangannya kembali ke depan.
"Terima kasih, Bu." Sabrina cepat-cepat berjalan menyusul Firaz yang sudah masuk ke dalam ruangannya.
Betty—sekretaris Firaz melihatnya curiga. Alisnya naik sebelah melihat Sabrina berdiri di depan pintu ruangan bosnya. Sabrina yang ditatap seperti itu merasa tidak peduli. Dia menarik napas dalam-dalam dan langsung mengetuk pintu ruangan Firaz.
"Masuk!" Suara Firaz terdengar dari dalam.
Sabrina menekan handel pintu, masuk ke dalam ruangan Firaz. "Raz, apa maksudmu tadi?"
"Selama belum ada surat tugasnya, aku belum bisa memberitahumu lebih lanjut," sahut Firaz sambil mengangkat sedikit wajahnya.
Sabrina memanyunkan bibirnya melangkah mendekati Firaz lalu merunduk, mencondongkan tubuhnya menyeberangi meja Firaz hingga wajahnya berada sedekat mungkin dengan pria itu. Kedua tangan wanita itu tiba-tiba terulur hingga ke kedua pipi Firaz. Sabrina mencubitnya geram.
"Hei, teman menyebalkan! Masa informasi rotasi seperti ini harus disembunyikan dariku? Kamu menyebalkan sekali, Firaz!" teriaknya gemas seraya mencubit kedua belah pipi Firaz dengan cubitan penuh tenaga.
"Haish! Sakit, Bin!" Firaz sontak mengaduh kesakitan.
"Aku tidak akan melepasnya kalau kamu tidak mengatakannya!" seru Sabrina.
Tiba-tiba pintu ruangan Firaz terbuka. Betty membukanya. Dia curiga kepada Sabrina dan Firaz. Mendengar kedua orang itu berteriak di dalam ruangan. Ya. Betty memang sengaja menguping mereka, walau tak benar-benar tahu apa yang dikatakan oleh bosnya kepada Sabrina.
Sontak Sabrina menengok, tersentak kaget melihat Betty yang sudah berdiri di depan pintu membelalakkan matanya melihat tingkah keduanya yang sangat akrab. Sabrina buru-buru melepas cubitannya dan berdiri sempurna. Tersenyum paksa di depan Betty.
"Apa yang kamu lakukan, Sabrina? Dia atasanmu. Apa kamu sedang menggodanya?" sindir Betty dengan raut wajah dingin memandang Sabrina yang tiba-tiba terdiam.
"Ehem!" Firaz berdeham, menatap tajam wajah Betty dengan raut wajah tidak suka. Dia lalu berkata, "Betty, apa kau menguping pembicaraan kami tadi?"
Ditanya pertanyaan telak seperti itu, Betty menjadi diam, tidak berani menjawab. Wajahnya menunduk. Dia memang salah karena masuk tanpa mengetuk pintu. Hal itu didorong oleh keingintahuan wanita itu. Betty sudah lama curiga kedua orang di depannya mempunyai hubungan yang lebih dari hubungan profesional.
"Selalu saja! Jika sudah merasa bersalah akan diam dan tidak berani menjawab. Saya tidak ingin berdebat. Kembali ke tempatmu. Dan kamu Sabrina, saya akan memberitahukan kabar selanjutnya nanti. Silakan melanjutkan pekerjaanmu," ucap Firaz penuh wibawa.
"Baik, Pak" Sabrina pun membalik badannya pergi dari ruangan itu. Disusul oleh Betty yang kembali ke mejanya.