Chereads / Bukan Salah CEO Pengganti / Chapter 3 - Surat Tugas

Chapter 3 - Surat Tugas

Sore itu sudah masuk jam pulang kantor, Sabrina yang saat itu masih ada pekerjaan hanya bisa memandang iri. Seperti biasa, Firaz memberikan pekerjaan tambahan untuknya. Mau tak mau, Sabrina mengerjakan permintaan bosnya itu.

Tak apalah aku lembur. Firaz juga belum pulang dan masih sibuk di dalam ruangannya, batin wanita itu sambil mengulas sedikit senyum di wajahnya. Bagi Sabrina, ia dapat menjadi kuat dan bisa melalui rintangan apapun jika ada Firaz di sampingnya.

Untungnya waktu cepat berlalu. Sabrina menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan waktu pukul tujuh malam. Wanita itu segera bangkit membereskan barang-barangnya.

Sabrina melangkah keluar ruangan. Tampak jelas seorang pria tua berumur lima puluh tahunan berjalan bersama seorang pria sebayanya mengiringi langkahnya sedang mencatat hal-hal penting di dalam sebuah tablet sesuai dengan ucapan yang terlontar dari bibir pria tua itu. Mereka berjalan menuju departemennya.

Sabrina tidak mengenal pria tua itu, tapi dilihat dari penampilannya, ia seperti orang yang sangat penting. Mereka adalah Frans—direktur utama Cleopatra Corporation dan Belva—direktur Keuangan Cleopatra Corporation.

Sabrina mendelik terkejut. Dia membalik tubuhnya dan masuk ke bawah meja untuk bersembunyi dari mereka yang berjalan menuju ruangan Firaz.

Kenapa juga aku harus sembunyi? Aku 'kan tidak melakukan kesalahan, batinnya.

Dia mengintip dan melihat keduanya masuk ke dalam ruangan Firaz. "Sedang apa mereka di ruangan Firaz?" Dahinya mengernyit bertanya-tanya dalam hati.

Setelah meyakinkan suasana aman, Sabrina bergegas pergi. Belum sempat dia melangkah ke dalam lift, sebuah pesan WA masuk ke dalam ponselnya. Pesan chat dari Firaz.

[Bin, tunggu aku di halte. Kita pulang bersama.]

Sabrina berpikir sembari memainkan bibirnya ke kanan dan kiri. Walau bertetangga, jarang-jarang Firaz menjemput dan mengantarnya seperti hari ini. Sebuah kesempatan untuk menghemat ongkos transportasinya. Dia lalu membalas pesan Firaz.

[Apa kau masih lama? Kulihat tadi ada dua orang lelaki yang masuk ke dalam ruanganmu.]

Tidak sampai lima menit chat itu dibalas.

[Pokoknya tunggu aku di halte.]

Wanita itu mendengus, tapi jemarinya dengan lincah membalas pesan chat dari Firaz.

[Iya, Bos.]

Selang beberapa lama, Sabrina sudah menyamankan duduknya di halte, tempat ia biasa menunggu busnya lewat. Sabrina menatap kosong kendaraan yang berlalu lalang di depannya. Namun, Firaz belum juga terlihat batang hidungnya.

Sabrina melihat jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul Tujuh. Artinya dia sudah menunggu Firaz selama satu jam. Segera, ia menulis sebuah pesan.

[Hei, Pak Bos! Kapan kau akan menjemputku di halte? Aku sudah bosan menunggu.]

[Ah, kau masih menunggu? Aku hampir lupa. Maaf, Bin. Kau bisa pulang lebih dulu. Tak seperti yang kuduga, ternyata meeting ini akan berlangsung lama.]

Membaca pesan Firaz sontak membuat Sabrina terperanjat. Firaz benar-benar telah mengerjainya. Dia menunggunya satu jam dan sekarang malah menyuruhnya pulang sendirian.

"Sialan! Firaz sialan! Seharusnya dia memberitahuku kalau meetingnya akan berlangsung lama. Jadi aku 'kan tidak usah menunggu lagi!" umpatnya kesal. Wanita itu pun membalas pesan Firaz.

[Lain kali aku tidak akan mempercayaimu. Dasar sialan!]

Dengan kesal hati, Sabrina menunggu bus jurusan rumahnya. Sepuluh menit kemudian, busnya pun datang. Wanita itu bergegas masuk ke dalam bus.

Perjalanan menuju rumahnya menghabiskan waktu selama setengah jam. Sabrina berjalan pelan. Masuk ke dalam pintu rumahnya.

Suara musik yang terdengar sangat keras sontak mengagetkan telinganya. Sabrina mendongak lurus ke depan. Gerry dan teman-temannya sedang berpesta ditemani beberapa gadis seumuran mereka. Di atas meja terlihat minum-minuman beralkohol. Ada juga dua orang temannya yang duduk memojok menghisap sabu di mulutnya. Mereka semua tidak ada yang menyadari kalau Sabrina sudah berada di sana memandang sebuah potret kenakalan remaja.

Ruang tamu itu disulap menjadi sebuah klub malam oleh Gerry. Sabrina yang tidak pernah macam-macam selama hidupnya sontak terperangah, napasnya tertahan begitu sesak. Serasa ingin mati saat itu juga.

Sabrina melihat adiknya yang sedang duduk di sofa, mencium seorang gadis sambil meremas bokongnya. Di sampingnya ada sebotol minuman beralkohol yang masih tersegel. Sabrina tidak pernah menyangka kalau Gerry akan seliar ini. Atau kah memang dia sudah liar sejak lama tapi Sabrina tidak tahu dan tidak memedulikannya?

Bagaimana bisa para pelajar itu membeli minuman dan narkoba? batinnya.

Sabrina menarik dan mengembuskan napasnya berat. Wanita itu mencoba untuk tenang. Salah satu teman Gerry melihat ke arah Sabrina. Dia menunjuk ke arah Kakak Gerry itu sangat terkejut.

"Gerry! Lihat Kakakmu sudah pulang!" teriaknya karena musik sudah menggelegar terdengar hingga memenuhi semua sisi ruang tamu.

Gerry seketika menarik bibirnya dari cumbuan sang gadis. Menengok ke belakang dengan mata membelalak terkejut. Dia segera menghampiri sang Kakak dengan berani.

"Hei, Kak Bina! Tumben pulangnya cepat? Biasanya tengah malam," katanya dengan nada suara mengayun akibat mabuk. Napas berbau alkohol yang keluar dari mulut Gerry tercium sangat kuat. Sontak Wanita itu menarik telinga Gerry hendak membawanya masuk ke dalam kamar mandi. Semua yang berada di sana melihat teman mereka dijewer karena kesalahan yang diperbuatnya.

"Apa lihat-lihat?! Bubar! Pestanya sudah bubar!" usirnya dengan raut wajah marah. Kedua bola matanya hampir saja keluar akibat tingkah para pelajar yang tak tahu diri itu.

Mendengar perkataan Gerry, Sabrina terperangah, teman-teman Gerry bergegas menghentikan acara mereka. Segera membereskan barang-barang mereka dan bergegas pergi dari rumah itu. Setelahnya Sabrina benar-benar memarahi Gerry habis-habisan.

***

Keesokan harinya ....

Dering telepon terus terdengar di atas meja Sabrina. Sang empu meja sedang tidak ada di tempat. Dia sedang berada di dalam toilet.

Tidak lama, Sabrina keluar dari toilet. Ponselnya bergetar, Firaz meneleponnya. Segera, wanita itu menjawab panggilan telepon itu.

"Kenapa, Raz?" tanya Sabrina santai.

"Dari mana? Aku meneleponmu tidak ada yang mengangkat." Suara bernada protes terdengar dari mulut Firaz. Sabrina menggeleng lalu berdecak.

"Ada perlu apa, Pak?"

"Datang ke ruanganku dan kau akan mengetahuinya.

"Ya." Jawaban singkat itu sekaligus menyudahi pembicaraan mereka. Sabrina berjalan menuju ruangan Firaz. Betty tidak terlihat di balik mejanya. Tanpa rasa segan, Sabrina masuk ke dalam ruang Firaz yang tidak terkunci.

Pria tampan bermata coklat itu sontak menoleh ke arah Sabrina. Dia mengambil sebuah map dari dekatnya dan diberikannya kepada sahabatnya itu.

"Apa itu?" Sabrina berjalan mendekat, bertanya dengan wajah bingung.

"Kamu bisa membukanya, Bin. Itu surat keputusan manajemen mengenai rotasi departemen yang akan kamu jalani mulai besok," sahut Firaz.

"Jadi secepat ini?" Matanya membelalak. Meraih map berwarna biru itu dari atas meja dan membacanya dengan seksama.

"Ya. Surat ini baru saja turun pagi ini," jawab Firaz dengan raut wajah datar. Sebenarnya dia sedikit kecewa karena Sabrina benar-benar dipindahkan menjadi sekretaris direktur utama.

"Sekretaris? Apa kamu tidak salah, Raz? Aku bukan lulusan pendidikan sekretaris. Atas dasar apa mereka memindahkanku?" tanya Sabrina bingung. Firaz hanya bisa mengedikkan bahunya. Dia pun tidak tahu mengapa manajemen memilih wanita di hadapannya menjadi seorang sekretaris. "Jawab Raz!"

"Percuma kamu bertanya. Aku pun tidak mempunyai jawabannya, Bin!" Firaz melipat kedua tangannya di atas dada.

"Tapi kamu bosku. Seharusnya kamu tahu alasannya, Firaz," ucap Sabrina gemas.

Firaz hanya menyunggingkan senyum kecut di wajahnya mendengar perkataan Sabrina. Tidak lama kemudian, pembicaraan mereka harus terhenti. Firaz dipanggil untuk meeting siang itu.