Chereads / Tere Liye ( untuk kamu ) / Chapter 8 - BAB VIII

Chapter 8 - BAB VIII

Waktu istirahat adalah waktu yang paling di tunggu-tunggu oleh seluruh murid. Begitupun dengan gadis cantik satu itu, meski ia baru masuk setelah beberapa hari tahun ajaran baru di mulai. Tapi ia cukup senang teman-teman sekelasnya menerimanya dengan baik. Awalnya ia ragu dan sangat gugup saat memperkenalkan diri, tapi semua itu lenyap saat ia tahu ia sekelas dengan seseorang yang sangat ia kenal, yaitu Laura Hale adik dari Lucas Hale.

Bel istirahat pun berbunyi seluruh murid langsung bergegas menuju cafetaria. Tujuan mereka yang utama adalah mengisi ulang tenaga yang sudah mereka habiskan untuk belajar tadi. Dan juga ada niat terselubung lainnya, jadi tidak heran mereka terburu-buru untuk sampai disana terlebih dahulu.

Berbeda dengan Rane dan Laura, ada juga dua teman baru Rane lainnya. Tifanny Amaris gadis cantik dengan rambut blonde dan mata hijaunya, satu lagi Tessa Young gadis cantik khas Asia dengan rambut hitam legam dan mata coklat yang indah. Tessa dan Tifany sudah kenal sejak mereka duduk di bangku Junior High School dan memang sejak itu mereka sudah bersekolah di Blanc Internasional Academy ini.

" Ayo, aku sudah lapar." Ajak Tessa gadis itu hangat dan ceria atau bahkan terkesan konyol. Bagaimana Rane tau karena saat tadi ia memperkenalkan diri Tessa bertanya pertanyaan yang cukup konyol.

Sedangkan Tifany ia terkesan cuek dan tidak mau tahu tapi, jika sudah mengenalnya dengan bai kia ternyata cukup hangat. Rane mengenal mereka dari Laura dan juga tempat duduk mereka berdekatan jadi lebih memudahkan ia berteman akrab dengan mereka.

Semua kelas terdiri dari 20 orang, dengan persentase 50-50 laki-laki dan perempuan. Kelas yang lumayan luas dengan sedikit murid mungkin cukup terlihat berlebihan tapi tidak di sekolah elit ini.

Saat ini mereka berempat berjalan berpasangan menuju cafetaria, saat hampir sampai di pintu masuk Tessa lebih dulu menghentikan langkahnya dan membuat yang lainnya ikut berhenti juga.

" Rane kau harus menjauhi medusa satu itu." tunjuk Tessa dengan dagunya kepada gerombolan gadis yang baru saja memasuki cafetaria.

Rane memperhatikan arah pandang teman barunya itu. sekilas ia melihat tiga orang gadis dengan seragam yang terbilang cukup ketat dan pendek dari yang di haruskan meski sebetulnya memang seragam yang mereka kenakan terbilang pendek. " Siapa mereka?"

" Mereka orang yang mengklaim bahwa mereka berkuasa disini." Kali ini Tifany yang bersuara. " Padahal orang tua mereka hanya menjabat di sekolah ini."

Rane hanya mengangguk mendengar penjelasan dua teman barunya itu. Ia cukup nyaman berteman dengan mereka berdua.

" Ingat jangan mencampuri urusan yang bukan urusan mu Rane." Kali ini Laura mencoba mempringati sahabatnya itu, karena ia sangat mengenal bagaimana sifat Rane.

" Dan satu lagi mereka." Kali ini gerombolan murid laki-laki. " Jangan sekalipun berhadapan dengan mereka. Sebenarnya ada satu kelompok lagi tapi berhubung dua dari mereka sedang tidak masuk, pasti satu orang lagi tidak akan ada juga."

Rane mengerutkan dahinya mendengar penjelasan Tessa, sungguh ia tidak paham dengan penjelasannya. Hanya satu yang ia tahu, untuk tidak berurusan dengan siapapun disini atau dengan cepat ia mendapat masalah.

" Mau sampai kapan kita berdiri disini?" Tifany mulai jengkel, perutnya sudah berdemo minta untuk diisi, bisa saja meninggalkan mereka tapi ia malas mendengar ocehan dari Tessa.

Tessa, Rane dan Laura saling pandang, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan menuju cafetaria tidak ingin membuat TIfany semakin kesal. Sudah sangat ramai keadaan cafetaria. Semua makanan yang tersedia di setiap sudut gratis karena itu masuk dalam biaya yang harus di keluarkan setiap tahunnya oleh orang tua murid. Jadi tidak mengherankan betapa megah dan elitnya sekolah di sini.

Rane dan Laura memilih makanan Jepang, sedangkan Tifany memilih makanan Italia dan Tessa memilih makanan CIna negara asalnya. Hampir seluruh makanan dari berbagai macam negara terdapat disini, seperti sedang berada di festival makanan dunia. Bedanya ini ada setiap hari.

Setelah mengambil makanannya Rane dan Laura berjalan mencari keberadaan dua temannya itu. Hingga Rane melihat Tessa melambaikan tangan kepadanya, lalu mereka berjalan menghampiri Tifany dan Tessa yang sudah mulai menyantap makanan mereka.

Mereka makan dengan damai dan tenang, berbeda dengan keadaan cafetaria yang ramai dengan suara orang yang berbicara ataupun bercanda dengan teman mereka masing-masing.

Banyak juga yang mencoba mencuri pandang menatap Rane, terlebih mereka murid laki-laki. Dan itu membuat Rane tidak nyaman dalam duduknya.

" Kau harus terbiasa Rane, mungkin hingga dua hari kedepan kamu akan menjadi pusat perhatian mereka." Tessa menyadari ketidak nyamanan dari teman barunya itu. " Atau mungkin selama kamu bersekolah disini."

" Jangan hiraukan ucapan Tessa." Tifany mencoba untuk membuat Rane nyaman, meski begitu tetap tidak mempan. " Atau kau ingin aku membantumu menusuk mata mereka? Dengan senang hati aku melakukannya." Inilah salah satu sifat Tifany yang disukai Tessa dan Laura. Ia tidak takut dengan siapapun, ia bukan psikopat tapi memang begitulah sifatnya. Mungkin karena ia tumbuh bersama dua saudara laki-lakinya yang menjadikannya sedikit lebih berani.

Laura dan Tessa hanya terkekeh mendengar ucapan Tifany itu. Mereka kembali menyantap makan siang masing-masing dengan di selingi obrolan ringan. Hingga suara benda jatuh yang membuat seluruh orang yang berada di cafetaria memusatkan perhatian mereka.

Sungguh hari yang sial untuk seorang murid laki-laki berkacamata dengan tubuh sedikit gempal yang tidak mengaja menabrak murid laki-laki lainnya dan membuat seragam itu terkena sedikit kotoran.

" Kau." Ucap laki-laki yang di tabrak emosinya sudah sampai di ubun-ubun kepalanya " Kapan kau tidak mencari masalah dengan ku?" tatapan yang siap membunuh itu menghunus tajam, membuat laki-laki yang tidak sengaja menabrak itu gemetar ketakutan.

" Poor Ronald." Tanpa sadar Tessa bergumam.

Mulai terdengar bisik-bisik yang menanyakan apa yang akan laki-laki yang di tabrak dengan segaja itu.

" Itu Bryan Allard salah satu orang yang di takuti dari sekian banyak orang yang berkuasa, dua orang di sampingnya Ethan Dalton dan Simon Walter." Jelas Laura lebih tepatnya kepada Rane.

" Ma,,,, Maafkan aku Bryan." Ucap Ronald dengan suara gemetarnya. Ia teman satu kelas Rane.

" Apa kau bilang? Maaf?" suara Bryan membuat Rane kembali focus dengan kejadian yang menjadi pusat perhatian semua orang saat ini. Mereka semua menantikan adegan selanjutnya di tempat duduk mereka masing-masing.

" Kau bisa membeli seragam ini?" tanya Bryan dengan nada yang meledek ia juga mendorong Ronald hingga jatuh tersungkur. " Kau harusnya bersyukur dapat bersekolah disini dengan uang yang di berikan KELUARGA KU !" Ucap Bryan dengan menekankan kata terakhir.

Sungguh Rane tidak bisa melihat seseorang di tindas hanya karena masalah status atau bahkan harta kekayaan. Rane berjalan mendekati pusat perhatian semua orang. " Kenapa kau sangat bangga dengan kekayaan yang belum kau hasilkan sendiri ?"

Laura tak menyadari jika Rane tidak ada di dekatnya dan menganga melihat Rane sudah ikut menjadi pusat perhatian. Dengan panik Laura mencari keberadaan seseorang namun nihil, orang yang di carinya tidak ada. Laura berdoa dalam hati semoga ada yang menyelamatkan Rane.

>>>

Sejak awal ia memasuki Cafetaria ia sudah menjadi pusat perhatian terutama para murid perempuan. Banyak yang menatap kagum bahkan mencoba menggoda murid laki-laki satu itu yang terkenal sangat dingin.

Ia berjalan menuju salah satu stan yang menyediakan makanan Italia. Sepertinnya ia akan makan fetucini saja siang ini, tidak ada yang membuatnya nafsu untuk memakan hidangan lain.

Ia berjalan menuju meja yang memang sudah biasa ia duduki bersama sahabatnya, atau sudah ia klaim. Karena tidak ada yang berani duduk di meja ini tanpa seiizin salah satu dari mereka.

Perlakuan untuknya memang sedikit berbeda jika murid lain harus mengantri untuk mendapatkan makanannya. Tidak dengannya, ia hanya perlu memesan dan kembali duduk makananpun akan di antar ke mejanya. Siapa lagi jika buka sang pangeran sekolah Leonardo Emerick Heaton.

Makanan miliknya tiba, ia menatap tidak minat pada makanan itu tapi ia harus tetap memakannya. Karena tadi pagi ia tidak mengisi perutnya dan saat ini perutnya sudah sangat lapar. Ia makan dengan tenang meski ia terus saja di tatap terang-terangnga oleh mereka yang mengagumi wajah tampannya.

Garis rahang yang tegas, hidung mancung, bibir ranum tipis yang sangat menggoda. Tubuh yang proporsional bak seorang model dengan tubuh atletisnya. Jagan lupakan mata abu-abu gelap yang mampu membuat siapa saja tenggelam dalam tatapannya. Rambut hitam legam yang sedikit berantakan membuat siapa saja ingin mengelus surai lembut itu. membuat siapa saja pasti akan menaruh minat kepadanya, termasuk gadis yang saat ini jalan mendekati meja Leon.

Gadis dengan seragam yang cukup seksi, walau sebenarnya seragam yang seharusnya sudah terbilang pendek. Wajah penuh dengan riasa, sepatu heels yang terlihat mahal.

" Leon, Kenapa kamu baru masuk. Aku merindukan mu." Gadis itu duduk disisi Leon dan berglayut manja di lengan sebelas kiri Leon, ia mencoba menempelkan dadanya untuk menarik perhatian sang empunya lengan.

Sedangkan Dua gadis lainnya duduk bersebrangan, mereka teman dari gadis yang duduk di sebelah Leon. Gadis itu bernama Gabriel Thidel dan dua temannya Helena Keve dan Victoria Webber.

Leon tidak menanggapi ucapan gadis itu, sebenarnya ia sangat rishi. Leon mencoba membebaskan lengannya dari gadis itu dengan paksa. " Jangan ganggu aku."

Ucapan dingin Leon membuat Gabriel menatap kesal kearah orang-orang yang menjadikannya tontonan. Dan mereka yang mendapat tatapan dari Gabriel langsung mengalihkan pandangan dari gadis itu. Mereka tidak mau menjadi bulan-bulanan anak kepala sekolah itu.

" Pergi."

Dengan berat hati Gabriel meninggalkan meja Leon dengan menghentak-hentakkan kakinya diikuti dua temannya. Gabriel pasti akan langsung pergi jika Leon sudah mengeluarkan aura berkuasanya. Dingin dan Kejam itulah Leon yang di takuti oleh seluruh murid di sekolah. Meski dulu ia menjadi junior pun tidak ada yang berani mendekatinya atau bahkan mencari masalah dengannya. Terlebih dua sahabat Leon yang juga memiliki power di sekolah.

Kegaduhan yang beberapa saat terjadi saja tidak Leon hiraukan ia malas untuk ikut campur masalah orang lain. Apalagi masalah orang yang tidak ia kenal. Ia hanya menyaksikan saja dari tempat duduknya. Ia sudah terbiasa melihat adegan bully membully seperti saat ini. Siapapun tidak ada yang suka jika ketenangannya terusik, apapun alasannya. Dan ia adalah tipe orang yang seperti itu. Tidak ada yang mau mencari masalah dengannya, jika tidak ingin kehidupan mereka terancam. Terdengar kejam, tapi seperti itulah jalan hidup yang Leon pilih. Mereka yang berkuasa yang akan duduk di puncak kehidupan, saat ini itulah pandangan hidup menurutnya.

Hingga Leon memfokuskan penglihatannya kepada seorang gadis yang berjalan mendekati pusat perhatian semua orang. Gadis yang Leon kenal setidaknya. Gadis yang sama yang ia selamatkan tempo hari dan gadis yang menerobos lift yang terdapat dirinya di dalamnya. Gadis yang duduk bersama salah satu orang terdekatnya tadi, ia melihat seklias saat memesan makanan.

" Kenapa kau sangat bangga dengan kekayaan yang belum kau hasilkan sendiri ?" ucapan gadis itu berhasil membangun emosi lawan bicaranya. Leon sangat tahu siapa mereka Bryan dan kumpulannya yang selalu membuat onar atau membully orang.

" Mau jadi pahlawan kesiangan?" Bryan yang emosinya sudah tidak dapat di kendalikan lagi mengambil air mineral milik Simon dan bersiap menumpahkan isinya di kepala gadis itu. Ia menatap gadis itu dengan smirk di wajahnya yang cukup menyeramkan.

Tanpa Leon sadari ia sudah melangkah mendekati pusat perhatian dan mencegah Bryan memindahkan isi air mineral kepada gadis itu. " Hentikan." Nada Leon terlampau dingin dan itu dapat membuat ciut lawan bicaranya.

" Jangan campuri urusan ku." Bryan tidak ingin kelihatan ketakutan ia mencoba bertahan.

Meski semua orang tahu, tidak ada yang berani mencari masalah dengan seorang Leon. " Jangan membuatku mengulanginya."

Rane melihat ada sedikit sirat dari orang yang tadi hampir menyiramnya. Untung saja ada yang menolongnya jadi ia bisa selamat. Meski ia belum tau jelas siapa yang menolongnya itu.

Bryan tidak ingin memancing amarah Leon, dengan berat hati ia mengurungkan niatnya untuk memberi pelajaran kepada orang yang mengganggu kesenangannya itu. Bryan dan dua temannya lebih memilih meninggalkan Leon dan cafetaria.

" Bangun." Perintah Leon kepada laki-laki korban bully Bryan yang tidak ia tahu siapa namanya.

" Te,,, Terimakasih." Setelah mengucapkan terimakasih Ronald langsung pergi. Ia tidak mau lebih lama lgi menjadi pusat perhatian.

Leon berbalik menghadap gadis yang barusan ia selamatkan. Atau hanya ia yang menaggapnya seperti itu.

Semua yang terjadi tadi tidak luput dari perhatian semua orang, dan saat ini ia kembali menjadi perhatian semua orang. Dan pasti akan ada berita yang tidak-tidak.

Sebelum gadis di depannya itu ingin menyampaikan sesuatu Leon sudah lebih dulu menarik lengan gadis itu dan membawanya pergi dari sana.

Laura yang juga menyaksikan semua itu, setidaknya dapat bernafas lega. Ada orang yang menyelamatkan sahabatnya. Dapat ia lihat beberapa murid perempuan terbengong melihat apa yang di lakukan oleh salah satu pangeran sekolah.

Ada juga yang mulai bergosip, dan ada juga yang menatap benci kepergian dua orang itu. Dalam hati Laura berucap. ' Hidup damai ku, akan berakhir saat ini juga'

Siapa lagi yang menatap benci jika bukan orang yang sudah mengejar-ngejar Leon dari ia memasuki sekolah ini, yang tanpa sengaja Laura lihat. Ia harus berkerja keras sepertinya untuk menjaga Rane mulai saat ini terlebih dari gadis medusa itu.

***