Chereads / Tere Liye ( untuk kamu ) / Chapter 9 - BAB IX

Chapter 9 - BAB IX

Cukup sulit menyamai langkah besar laki-laki yang tiba-tiba menyeretnya keluar dari cafetaria dan saat ini ia tidak tau kemana laki-laki ini akan membawanya. Pergelangan tangannya sudah terasa perih, melihat bagaimana laki-laki itu menggenggamnya dengan kuat, kulitnya juga bergesekan dengan kemeja sekolah yang ia kenakan.

Hingga saat ini ia belum mengetahui siapa nama laki-laki itu, bahkan sudah terhitung dua kali ia di selamatkan olehnya. Saat ia di kejar oleh preman dan tadi saat ia hampir di siram oleh Bryan.

" Ssshhh." Sungguh ia yakini pergelangnnya mungkin sudah sangat merah, dan tanpa sadar ia meringis menahan perih.

Leon seketika menghentikan langkahnnya secara mendadak dan itu membuat gadis yang saat ini mengikutinya, atau lebih tepatnya ia paksa mengikutinya menabrak punggung lebarnya. Dan membuat gadis itu mengaduh karena terhantuk. Leon membalik badannya tanpa melepaskan genggaman pada lengan gadis itu.

Mungkin hari ini hari tersial untuknya, hampir terkena masalah di hari pertama sekolah, pergelangan tangan yang perih dan sekarang keningnya yang membentur punggung tegap laki-laki itu. " Maaf." Cicit Rane dan melirik takut ke laki-laki di depannya itu sambil mengelus keningnya yang terasa lumayan sakit akibat benturan degan punggung tegap itu.

Dapat Leon lihat dengan sangat jelas, mata berwarna biru yang membuatnya betah menatap mata itu lamat-lamat. Jantungnya kembali berdetak lebih cepat saat mata mereka tanpa sengaja bertemu. Mata almond secerah langit itu begitu menenggelamkannya dalam birunya itu. Tuhan sepertinya sedang sangat bahagia saat menciptakan makhluk satu ini, entah bagaimana semua pahatan terasa sangat pas di wajahnya. Hidung mancung, pipi merona alami, bibir mungil tipis yang ranum hanya di lapisi pelembab bibir sudah dapat membuat Leon tergoda untuk menyentuhnya. Surai indah yang berwarna brunette itu tergerai indah, dan beberapa anak rambut menutupi wajah cantik itu mengikuti angin yang bertiup dan saat ini sungguh Leon sangat tersepona dengan kecantikan alami gadis di hadapannya.

" Bisa kah lepaskan tangan ku?" tanya Rane sedikit takut, karena laki-laki yang sampai detik ini juga belum ia ketahui Namanya itu dan ia hanya menatapnya, itu membuat Rane merasa tidak nyaman. " Itu sudah terasa sangat perih."

Leon sadar dari keterpakuannya, ia sedikit bingung apa yang di maksud gadis itu. Namun, dengan cepat ia paham denga napa yang di maksud gadis itu yang matanya mengarah ke pergelangan tangannya yang saat ini Leon genggam.

Leon sedikit menaikkan blazer gadis itu hingga setangah lengan, lalu membuka kancing kemeja dan dapat ia lihat, kulit gadis itu sudah sangat merah. Karena tanpa sadar ia menggenggam lengan gadis itu dengan sangat erat mungkin besok akan meninggalkan bekas kebiruan.

Leon menatap sekitar, tanpa sadar langkahnya membawa mereka ke lapangan pacuan kuda. Salah satu fasilitas yang di miliki sekolah ini. Leon mengeluarkan poselnya ia mengirim pesan kepada seseorang, lalu ia kembali meletakkan ponselnya di saku celananya.

Leon melakukan semua itu tanpa melepaskan tangan Rane, dan itu juga tidak mereka sadari.

Leon kembali menggenggam tangan Rane dengan lembut, agar ia tidak menyakiti gadis itu lagi. Leon menuntun Rane untuk duduk di kursi taman dengan pohon rindang di atasnya. Tidak ada siapapun disini kecuali mereka dan beberapa kuda yang sedang berlatih dengan pelatihnya di dalam arena.

" Sakit?"

Rane yang sedang meniup pergelangan tangannya untuk meredakan rasa perihnya, menatap laki-laki yang duduk di sampingnya yang juga memperhatikan pergelangannya. " Tidak apa-apa. Besok akan membaik." Pandangan Rane beralih menatap mata yang saat ini masih menatap pergelangan tangannya. " Siapa namamu?"

Leon mengernyit bingung, sungguh ia tidak mengerti dengan gadis di sampingnya ini. Dua kali ia menyelamatkannya tapi ia juga belum mengetahui Namanya. Entah memang ia tidak pernah melihat Tv ataupun sosial merdia. Bukannya bermaksud sombong memang ia sangatlah terkenal bahkan hampir di seluruh dunia. " Kau tidak mengenal ku?"

Rane menggeleng. " Aku baru pindah ke Paris. Dan aku juga tidak pernah mengenal dunia luar." Ungkapnya.

Dan itu sedikit membuat Leon terkejut, tapi ia menutupinya dengan cepat bahkan sebelum gadis itu sadar jika ia cukup terkejut dengan fakta gadis itu. " Leonardo Emerick."

" Leon." Ucap Rane lalu ia mengalihkan pendangannya. Cukup memalukan ia tidak mengetahui siapa orang yang menolongnya itu. " Kuda yang gagah."

Leon mengikuti arah pandang gadis itu, kuda berwarna coklat kehitam dengan surai hitam dan terdapat garis putih dari kening hingga ujung hidung kuda dengan jenis Thoroughbred. " Namanya Nevada."

" Dan yang itu…."

Sebelum Leon menyelesaikan kalimatnya Rane sudah dulu menyela. " Maximus." Saat ini mereka tengah menatap kuda hitam yang baru saja memasuki arena pacuan dan bersiap untuk Latihan dengan pelatihnya.

" Kau mengenalnya?" Leon menatap heran gadis di sampingnya yang matanya masih focus menatap Maximus atau yang biasa di panggin Maxim.

" Ahh tidak." Rane sedikit panik mendengar pertanyaan dari Leon ia hampir kelepasan akan sangat aneh jika ia berkata ia baru tiba di paris namun tahu nama salah satu kuda terbaik dari stable disini. " Saudaraku bekerja menjadi salah satu pelatih dan ia selalu bercerita tentang Maximus." Rane harap Leon percaya dengan ucapannya meski terdengar sedikit konyol.

Leon hanya diam tidak menanggapi ucapan Rane. Hingga seseorang datang mendekat ke arah mereka.

>>>

" Tuan."

Leon melihat orang kepercayaannya yang sudah berdiri tidak jauh dari mereka duduk. Rane mengikuti arah pandang Leon, seorang pria dengan jas hitam dan kacamata hitam. Orang yang ia lihat bersama leon tempo hari di kantor sang kakak.

Leon menghampiri orang kepercayaannya itu, yang sudah membawa satu paper bag dan satu plastik. " Terimakasih Felix."

" Apa kau terluka?"

Leon menggeleng, ia melirik Rane dan Felix mengikuti arah pandang tuannya itu. " Aku tidak sengaja menyakiti pergelangnnya."

Felix mengangguk paham. " Ada yang kau perlukan lagi?"

" Tidak, kau bisa kembali."

Leon dan dua orang kepercayaannya memang biasa menggunakan Bahasa santai jika di luar dari konteks pekerjaan. Felix tiga tahun di atasnya sedangkan Petta lebih muda satu tahun dari Felix.

" Baiklah aku permisi." Felix pergi meninggalkan dua makhluk Tuhan itu.

Leon kembali ke kursi taman, ia meletakkan paperbag di antara mereka berdua dan mengeluarkan isinya. " Aku tau kau lapar. Kita melewatkan makanan kita tadi."

Tiga bungkus leon keluarkan dari dalam paper bag. " Ini makanan Khas Korea." Leon membuka satu persatu dari bungkusan itu. " Bibimbap dengan bulgogi." Ia menyerahkannya ke Rane dan di terima dengan senang hati.

Dan Leon membuka bungkusan lainnya yang isinya sama dengan Rane. Dan yang terakhir berisi kue seperti waffle yang berbentuk ikan mas denga nisi redbean. " Ini Bungeoppang." Ia juga tidak lupa mengeluarkan dua air mineral dai dalam paper bag.

" Bukankah seharusnya aku yang membelikan mu makan siang?" sungguh Rane tidak enak ia sudah berhutang budi sebanyak dua kali dan saat ini malah Leon yang membeli makan siang.

" Makanlah, istirahat sebentar lagi akan berakhir." Leon tidak mau ambil pusing, ia menyantap makanannya dengan tenang sambil melihat Nevada dan Maximus berlatih.

" Bagaimana kalau setelah pulang sekolah aku mentraktir kamu ?"

" Terserah." Leon malas berdebat, ia yakin tidak akan selesai dengan cepat jika harus berdebat dengan wanita. Karena menurutnya wanita sama saja tidak akan menyerah jika keinginannya belum tercapai.

Rane tersenyum senang, tidak sulit ternyata mengajak laki-laki di sampingnya ini. Awalnya ia pikir akan sangat sulit, mengingat sifat yang Leon miliki tidak berbeda jauh dari orang itu. Rane menatap Leon lamat-lamat, sungguh Indah ukiran yang Tuhan ciptakan di wajah milik laki-laki itu. Ia akui Leon lebih tampan di bandingkan tiga laki-laki itu. Tuhan sedang tersenyum saat menciptakannya.

" Puas menatap wajah tampan ku?"

Rane terkesip mendengar pertanyaan Leon ia langsung mengalihkan pandangannya menatap Maximus, sungguh ia sangat malu ketahuan menatap terang-terangan orang yang baru saja ia kenal. Wajah Rane sudah memerah, di tambah kulitnya yang putih bersih membuatnya terlihat sangat jelas. Rane langsung melajutkan makannya yang tertunda karena mengamati wajah tampan Leon.

Leon diam-diam sedikit melengkungkan senyumnya melihat Rane salah tingkah. Dan dengan cepat juga ia menyembunyikan dengan wajah datarnya. Entah mengapa ia senang melihat gadis itu salah tingkah.

>>>

Bel tanda masuk berbunyi, Leon dan Rane sudah berada di dalam lift. Pintu lift terbuka di lantai 3, Rane bergegas untuk keluar lift ia tidak ingin berlama-lama dengan laki-laki itu.

" Tunggu." Leon menahan siku Rane saat hendak keluar dari dalam lift.

Rane menatap Leon yang nampak seperti mengambil sesuatu dari dalam saku celananya. " Ini, obati pergelangan tangan mu."

Rane menerima obat yang di sodorkan Leon, lalu tersenyum. " Terimakasih. Aku akan menunggu mu di lobi, kau tidak lupa kan ?" Rane menahan tombol lift agar tetap terbuka.

" Mungkin lain waktu."

" Why?" sebenarnya Rane sedikit kecewa tidak dapat membalas kebaikan Leon secepatnya.

" Aku memiliki urusan mendadak." Entah mengapa ia memberitahu alasan karena menunda ajakan gadis itu.

" Baiklah. Terimakasih untuk makan siang dan obatnya." Rane tersenyum manis yang menampilkan kedua lesung pipinya. Bersamaan dengan pintu lift yang akan menutup.

Sedangkan Leon di dalam lift kembali memegang jantungnya yang berdetak liar. ' ingatkan aku untuk memeriksakan ini.' Ucap leon dalam hati.

Sedangkan seseorang menatap benci mereka dari kejauhan tanpa mereka sadari. Atau lebih tepatnya untuk sang gadis. Bendera perang antara mereka bedua sudah berkibar.

>>>

Seperti anak sekolah lainnya, murid BIA juga sangat menunggu jam puang sekolah. Apa lagi seharian mereka sudah di tempa banyak pelajaran sekolah yang membuat kepala mereka pusing. Saat bel berbunyi semua bergegas untuk kembali ke rumah ada juga yang kembali ke asrama atau dorm yang memang di sediakan oleh pihak yayasan.

Biasanya yang tinggal di dorm adalah mereka yang berasal dari luar Pari, atau mereka yang mendapatkan beasiswa. Seperti Laura, Tifany dan Tessa mereka juga menjadi teman satu kamar. Asrama yang disediakan bagaikan hotel bintang lima, jadi tidak heran jika mereka semua sangat betah tinggal disana.

Rane sebenarnya sangat ingin tinggal di dorm, sepertinya sangat mengasyikkan dapat berkumpul dan bercengkrama dengan teman-teman yang lainnya. Terlebih cerita seru yang tadi sempat di ceritakan oleh mereka bertiga. Untung saja saat tadi ia memasuki kelas ketiga temannya tidak bertanya yang aneh-aneh, hanya saja saat memasuki kelas banyak mata yang memandangnya sinis terlebih murid perempuan.

" Kau bisa mampir jika kau mau Rane." ajak Tessa, saat ini mereka semua sedang membereskan barang masing-masing.

" Mungkin lain waktu, aku belum izin dengan kakakku." Rane selesai terlebih dahulu, ada beberapa buku yang masih menumpuk di meja niatnya ia akan menaruhnya di loker miliknya.

" Baiklah, kami menunggu kedatangan mu." Tessa sudah berdiri menggendong tasnya. " Ayo." Ajaknya saat melihat semua temannya sudah selesai berberes lalu melangkah keluar kelas.

" Kalian duluan saja, aku akan menemani Rane sampai di lobi." Ucap Laura, ia tidak tega jika harus membiarkan Rane pergi ke lobi sendirian. Ia juga takut jika Rane bertemu dengan medusa itu, karena ia sangat jelas melihat jika medusa itu sangat membenci Rane.

Gabriel Thidel, salah satu murid perempuan yang cukup di takuti oleh para murid lainnya. Ia anak dari kepala sekolah BIA, hanya karena anak kepala sekolah ia bisa melakukan apapun sesukanya. Jadi hampir semua murid malas untuk berurusan dengannya dan karena itu mereka menyebutnya medua.

" Tidak perlu, kau kembali saja dengan Tifany dan Tessa." Tolak Rane halus, karena memang arah jalan mereka berbeda.

Laura menggeleng. " Ada yang ingin ku katakana padamu."

" Baiklah sampai jumpa di kamar." Ucap Tifany kepada Laura. " Sampai jumpa besok Rane." Tifany pergi terlebih dahulu, mereka berpisah di depan pintu kelas.

" Anak itu kebiasaan." Tessa jengkel dengan Tifany yang main meinggalkannya saja. " Sampai jumpa Rane." Tessa melambaikan tangannya ke arah Rane. lalu berteriak sambil mengejar Tifany yang mulai menjauh.

" Ayo." Laura menggandeng lengan Rane, mereka melangkah menuju loker. Sampai di depan loker dengan nama Rane mereka berhenti. " Kau tunggu sebentar ya aku ingin ke kamar mandi." Laura sudah tidak dapat menahannya lagi.

Tanpa menunggu persetujuan dari Rane, Laura sudah lebih dulu menghilang. Rane hanya bisa terkekeh melihat kelakuan sahabatnya itu. Suasana di lorong sudah sangat sepi hanya beberapa orang yang nampak berjalan di lorong menuju escalator untuk sampai di lobi. Ada 4 orang petugas kebersihan yang sedang membersihkan ruang kelas.

Tanpa Rane sadari seseorang sudah berdiri di samping pintu lokernya, ia tidak dapat melihatnya karena terhalang pintu loker yang ia buka. Dan saat menutupnya baru dapat terlihat siapa orang itu. Gabriel Thidel.

Rane sedikit terkejut di buatnya, ia sempat mundur beberapa langkah, Gabriel tidak sendirian ia bersama dua temannya yang lain yang berdiri sedikit di belakang Gabriel.

" Kau murid baru? Aku tidak pernahh melihat mu." Tanyanya sinis.

Rane diam tidak menjawab, ia tahu siapa orang di hadapannya saat ini.

Gabriel memutar bola matanya malas, ia tidak akan tertipu dengan wajah polos gadis itu. " Ini peringatan pertama dan terakhir untuk mu." Gabriel maju untuk lebih dekat dengan Rane dan membisikkan sesuatu di telinganya. " JAUHI LEON, IA MILIKKU !!" ucap Gabriel dengan penekanan di setiap katanya.

Setelah itu ia pergi meinggalkan Rane dengan dua anak buahnya. Tepat setelah itu Laura datang menghampiri Rane. " Apa yang dia katakan?" tanya Laura, ia melihat Gabriel saat keluar dari toilet dan ia bergegas menghampiri Rane. Meski terlambat karena Gabriel sudah pergi.

" Tidak penting." Ucap Rane santai. Siapa juga yang ingin mendekati Leon, tujuannya pindah kesini untuk lebih mendekati seseorang dan yang pasti orang itu bukan yang di maksud Gabriel.

" Kau yakin tidak apa-apa."

Rane hanya memperlihatkan senyumnya. " Ayo, Marvel dan Anson pasti sudah meunggu ku."

Benar saja, baru ia menyelesaikan kalimatnya dua bodyguardnya itu sudah terlihat di ujung lorong. Laura dan Rane berjalan menghampiri Marvel dan Anson, mereka berjalan bersama menuju lobi. Kecuali Laura, Rane memaksa Laura untuk kembali ke dorm karena sudah semakin sore, dan dengan berat hati Laura mengiyakannya.

***

20/10/2020