Leona terbaring tak berdaya di atas ranjang. Wajahnya pucat dan bibirnya berwarna kebiruan. Hampir seluruh tubuhnya berwarna legam. Mungkin efek dari racun sayatan di lengan yang mulai menyebar.
Peter yang melihat kondisi temannya itu hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri.
Meski sudah ada tabib Bee yang sedang menangani kondisi Leona tapi Peter tetap saja takut.
Bagi Peter ini semua salahnya. Jika saja Leona tak melawan orang itu demi menolong dirinya. Leona pasti tidak akan mengalami hal ini.
Tabib Bee yang melihat Peter begitu frustasi mencoba menenangkannya.
"Kau tidak perlu khawatir, temanmu masih bisa diselamatkan. Mungkin kalau tadi kau terlambat datang kemari. Dia benar-benar tak tertolong," tukas tabib Bee.
Pria gemuk panutan semua bangsa Elf itu terlihat membalut luka gores Leona dengan ramuan tumbuk yang dibuat dari tanaman obat.
"Tabib, aku mohon selamatkan temanku." Peter memohon dengan raut wajah tampak kasihan.
Matanya sembab dan terus mengalir mengeluarkan air mata. Memang, selain penyayang bangsa Elf itu terlalu simpati. Hingga sering dimanfaatkan ras-ras lain yang tak bertanggung jawab seperti manusia.
"Tentu, akan kubantu temanmu sebisaku."
Tak berselang lama setelah tabib mengucapkan hal itu. Obatnya bereaksi yang membuat tubuh Leona bergetar hebat.
Anehnya, tubuh Leona justru menolak obat itu masuk. Jadilah ramuan yang diminumkan padanya itu menyembur keluar dari mulut.
Tabib Bee yang baru melihat kejadian seperti ini begitu kewalahan. Ia mencoba meminumkan obat itu berulang-ulang namun hasilnya tetap saja nihil. Tubuh Leona menolaknya.
"Ada apa tabib? Kenapa tubuh Leon selalu menolak ramuanmu?" tanya Peter kebingungan.
Pria itu juga berusaha membantu sang tabib meminumkan ramuan obat pada Leon. Tapi sama saja, sia-sia.
"Aku sungguh tidak mengerti, kenapa tubuhnya selalu menolak obat yang kuberikan?" monolog tabib Bee.
Dia menghentikan aksinya sesaat lalu mengamati kondisi Leona. Tubuhnya masih saja bergetar hebat. Bahkan kini sampai kejang-kejang. Dari mulutnya keluar busa berwarna putih yang berasal dari ramuan obatnya.
Benar, tubuh pasiennya menolak ramuan yang dia buat. Tapi kenapa? Kenapa tabib Bee merasa ada yang janggal.
"Celaka!"
Kepala Peter langsung tertoleh ke arah sang tabib. "Apa yang celaka?"
Dengan mulut menganga lebar, tabib Bee menjelaskan jika racun yang ada di luka gores lengan kanan Leona itu berasal dari racun paling mematikan di dunia, Zyfourtic.
"Aku tidak mengerti apa itu Zyfourtic?" tanya Peter.
Terlihat tabib Bee menghela napas panjang sebelum menjelaskannya.
"Itu racun yang sudah dibuat lama sekali. Kira-kira 1000 tahun yang lalu saat Klan Kuno menemukan Omelas," jelas sang tabib.
"Hanya saja sampai saat ini belum ada penawar dari racun itu," lanjutnya.
Peter semakin gelisah. Apalagi kejang-kejang Leona semakin menjadi. Peter bahkan bisa mendengar, Leona mengigaukan sesuatu.
"N-Niel..."
©©©
Beberapa hari yang lalu, di dalam gua.
"Kesepakatan yang saling mengikat?" tanya Leona. Matanya sedikit menyipit menatap sang naga penuh curiga.
"Aku tidak mau!" tolak Leona lagi.
Entah mengapa firasatnya tidak enak dengan hal ini. Jadilah, segera ia langkahkan kakinya cepat, menuju mulut gua. Namun, naga itu menutup jalannya dengan memposisikan diri di depan pintu keluar. Membuat Leona menatap sang naga hitam tak suka.
"Cepat menyingkir dari jalanku!" perintah Leona.
Naga itu malah semakin mendekat ke arahnya, hingga membuat tubuh Leona terpojok di dinding.
"Seumur hidup baru kali ini aku memaksa seorang manusia untuk melakukan sebuah kesepakatan," kata si naga .
"Aku berjanji akan selalu patuh dan tunduk pada perintahmu. Maka dari itu, izinkan aku jadi hewan pelindungmu," katanya lagi yang malah di jawab helaan napas panjang Leona.
"Oke. Aku terima permintaanmu, tapi dengan satu syarat."
Sang naga mendongakkan kepalanya, menatap Leona lamat-lamat. "Syarat apa?"
"Tetaplah di sini dan datanglah hanya saat aku benar-benar membutuhkanmu," tukas Leona.
Gadis itu teringat dengan burung kecil berwarna merah keemasan yang mengikutinya kemanapun dan dimanapun ia berada sewaktu di Axteas dulu. Bukan, bukannya ia tidak suka. Hanya saja ia tidak mau mengambil resiko dengan membawa sang naga ikut serta ke Nort Vale.
Selain sang naga makhluk langka, semua orang juga sangat menginginkan keabadiannya.
"Baik, aku terima persyaratan itu."
Barulah setelah itu mereka melakukan ritual. Ritualnya sendiri adalah dengan mengucapkan sebuah janji untuk saling menjaga satu sama lain dan melakukan percampuran darah.
Awalnya Leona menolak syarat yang terakhir, yakni percampuran darah. Namun ia terlambat saat sang naga sudah menggores tangannya terlebih dahulu lalu menunduk guna menunggu darah yang mengalir dari tangan Leona jatuh pada dahinya yang terluka.
Seberkas cahaya berwarna merah kehitaman mulai menguar mengelilingi dirinya dan si naga. Entah mengapa Leona merasa tubuhnya sedikit terasa ringan dan mengambang di udara.
"Aku, Niel. Keturunan naga hitam terakhir, raja dari segala raja naga di dunia menjadikan Leon Lewis sebagai junjunganku untuk kini, esok dan selama-lamanya," ucap Niel sang naga hitam.
Leona langsung menutup matanya rapat-rapat lalu membalas ucapan Niel dengan lantang.
"Aku Leon Lewis. Menerima Niel, keturunan naga hitam terakhir, raja dari segala raja naga di dunia sebagai hewan pelindungku untuk kini, esok dan selama-lamanya."
Tak berselang lama dari itu, cahaya merah kehitaman yang mengelilingi Leona dan Niel mulai menghilang.
"Setelah ini, semua panca inderamu akan jauh lebih peka dari sebelumnya. Satu hal lagi, kekuatan yang aku miliki juga bisa kau gunakan sewaktu-waktu. Termasuk keabadian yang kumiliki."
©©©
"N-Niel..." gumam Leona.
"Siapa Niel? Apa mungkin dia teman Leon?" monolog Peter.
Saat ini dia sedang menunggui Leona sendiri setelah kepergian tabib Bee untuk mencari obat penawar Zyfourtic.
Untungnya kejang-kejang Leona sudah berhenti sejak beberapa menit yang lalu, tetapi dia masih saja menggumamkan nama Niel berulang-ulang.
"Aku sungguh tidak tahu Niel itu siapa, yang jelas aku ingin supaya kau cepat sadar, Leon."
Peter mengambil posisi duduk di sebelah Leona yang masih terbaring tak sadarkan diri itu. Ia mengambil sebuah buku untuk di baca agar tidak terlalu bosan menunggu.
Sesaat kemudian munculah tabib Bee lagi dari balik pintu. Pria gendut itu sedikit tergesa-gesa membawa ramuan obat penawar di tangannya.
"Kau minggir sebentar dari sini!" perintah tabib Bee.
Tidak ada raut ketenangan tadi, sebaliknya justru ekspresi takut dan penuh kekhawatiran tampak jelas di wajahnya.
"Aku tidak bisa menjamin ramuan ini akan berhasil, hanya saja aku akan tetap mencoba memberikannya pada temanmu." Alis Peter menaut.
Jika tabib Bee sendiri tidak yakin dengan obat penawar itu, kenapa dia masih saja ingin meminumkannya pada Leon? Bukankah ini terlalu beresiko?
"Tunggu! Apa kau ingin menjadikan temanku sebagai kelinci percobaan?" tanya Peter ketus.
Ia segera melempar jauh-jauh ramuan obat penawar tadi hingga tumpah tak bersisa di tanah.
"Apa yang kau lakukan?" tanya tabib Bee ikut tersulut emosi.
"Menghentikan apa yang seharusnya aku hentikan. Lagipula, kau masih bis-"
"Peter, apa yang terjadi?" panggil Leona yang membuat semuanya menoleh kebelakang detik itu juga.
Terlihat di ranjang itu, Leona sudah bisa bangkit dan memposisikan tubuhnya untuk duduk menyandar pada kepala ranjang.
"K-kau bagaimana mungkin bisa selamat dari Zyfourtic?" tanya tabib Bee kaget.
Ia segera mendorong tubuh Peter menyingkir dari samping Leona yang masih terbengong di tempatnya berdiri itu.
Tersenyum tipis, Leona hanya menjawab. "Kebetulan."