Setelah sadar Leona meminta Peter untuk mengantarkannya ke pemandian. Sudah lama sekali ia tidak berendam dengan air yang dingin untuk menjernihkan pikiran.
Awalnya Peter menolak, karena masih syok dengan sadarnya Leona yang begitu tiba-tiba. Peter takut, jika Leona tiba-tiba jatuh pingsan lagi di kolam. Tapi pada akhirnya dia mau mengantarkan Leona ke arah kolam pemandian khusus untuk satu orang di dekat air terjun belakang pohon Ruth.
Pohon Ruth sendiri seperti pohon beringin besar yang bentuknya melengkung dan batangnya membelah air terjun. Batang itulah yang digunakan sebagai jembatan kecil sebelum ke arah kolam pemandian.
"Sampai sini saja," ucap Leona.
Setibanya mereka di ujung jembatan kecil. Peter yang disuruh untuk berhenti di sini, hanya mengangguk lalu pergi.
Pria elf itu masih merasa bersalah pada Leona namun belum bisa menggumamkan kata maaf dan terima kasih padanya.
Beberapa menit setelah kepergian Peter. Leona langsung berjalan menuju batu besar di dekat kolam. Matanya mengamati sesaat keadaan sekitar kalau-kalau ada orang selain dirinya di sana.
Namun itu hanyalah sebuah kekhawatiran saja. Nyatanya di tempat itu tidak ada siapapun kecuali dirinya.
Mengetahui hal itu, Leona langsung tersenyum gembira. Buru-buru ia melepaskan baju berburunya beberapa hari yang lalu beserta kain yang sengaja diikat kencang untuk menutupi dadanya supaya tak menonjol.
"Ah, menyegarkan."
Leona mendesah, merasakan dinginnya air membuai kulitnya yang kucal dan bau asam karena beberapa hari tak absen untuk mandi. Gadis itu memejamkan mata, menikmati kesunyian tempat ini sembari merelaksasikan pikiran.
"Mungkin setelah ini aku harus kembali. Tapi, bagaimana bisa racun itu tak membuatku mati? Apa ini karena Niel?" gumam Leona pelan.
"Ah aku lupa." Leona melirik sebuah tanda
yang terbentuk sehabis melakukan perjanjian dengan Niel.
Bentuknya seperti tanda burung Phoenix dan seekor naga besar yang saling melingkar satu sama lain di pundak sebelah kanan. Mirip tato, hanya saja tanda itu bisa bercahaya secara tiba-tiba jika Leona dalam bahaya.
"Apa tanda ini juga yang menyelamatkanku dari pengaruh Zyfourtic?" monolognya lagi.
Tapi Leona tak ambil pusing. Segera ia menuntaskan mandinya lalu beranjak naik untuk pergi.
Rupanya Peter sudah menunggu dirinya di depan pintu masuk menuju pemandian. Lelaki elf itu duduk di salah satu akar pohon yang mencuat sembari memainkan seruling.
"Wah, apa ini? Kukira kau tak bisa bermain alat musik?" tukas Leona yang membuat Peter tersentak dari tempatnya.
Terlihat sekali ia begitu gugup dan langsung menyembunyikan serulingnya di balik punggungnya.
"T-tidak kok, tadi aku hanya coba-coba saja," ucapnya terbata.
Leona langsung merampas seruling itu lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Boleh kucoba, tidak?" tanyanya.
Peter hanya mengangguk kikuk."Tentu."
Di bawah pohon maple yang mulai berguguran. Leona duduk di atas akar yang mencuat di sebelah Peter. Gadis itu memainkan seruling Peter dengan begitu mahir. Dia memainkan sebuah melodi yang pernah ia dengar saat tak sengaja mencuri dengar dari earphone Karrie sewaktu di sekolah dulu.
'Dari semua kenangan yang tersimpan dalam hatiku. Mengumpulkan semua bersama, membuat jadi utuh. Kulihat dari seberang ruang, dengan jelas aku. Kurasakanmu, setiap ledakan rasa sakit itu.'
Tanpa sadar air mata Leona menetes. Buru-buru gadis itu memalingkan wajah membelakangi Peter. Ia tidak mau lelaki elf itu melihatnya menetaskan air mata walau hanya setetes.
"Ini, aku sudah selesai." Leona mengembalikan seruling itu tanpa menoleh ke arah Peter sekalipun.
Ia malah segera berjalan pergi meninggalkan Peter yang masih membatu di tempatnya.
"Apa tadi dia menangis? Tapi kenapa?" gumam Peter pelan.
Leona duduk di ujung ranjang. Hatinya gelisah sekaligus bingung. Entah kenapa ketika dia memejamkan mata dan mengingat melodi itu sekelebat bayangan seorang pria muncul di dalam pikirannya.
Bisa dibilang akhir-akhir ini dia baru saja merasakannya. Mungkin sejak tersadar dari pingsan. Ia selalu melihat bayangan seorang pria yang tengah tertunduk tak jauh darinya. Pakaiannya compang-camping dan begitu tak terurus. Kondisinya begitu memprihatinkan. Hanya saja saat Leona berusaha mendekat lalu mengulurkan tangan untuk membantunya bangkit berdiri. Bayangan pria itu tiba-tiba lenyap.
"Sebenarnya siapa dia? Kenapa akhir-akhir ini pikiranku selalu gelisah karenanya?" monolog Leona. Namun secepatnya gadis itu memukul kepalanya sedikit keras supaya tersadar kembali.
"Fokus Na, tujuanmu itu cuma Omelas bukan yang lain!" ingatnya, lantas bangkit berdiri untuk berkemas.
©©©
Di sebuah ruangan yang begitu minim cahaya. Terlihat Felix tengah duduk di atas kursi bercorak keemasan dengan kaki terangkat satu.
Di hadapannya ada sebuah cermin berbentuk oval yang memantulkan bayangan dirinya sendiri. Terlihat dalam cermin Felix tengah tersenyum sembari memainkan sebuah belati kecil berwarna silver dengan hiasan permata berwarna biru laut pada ujungnya.
Entah apa yang sedang dia pikirkan nyatanya, bayangan pada cermin itu seolah mengajaknya bicara.
"Kapan kau bawakan dia kehadapanku? Kau tahu, kan aku sudah tak sabar menunggu?" kata pantulan dirinya di cermin.
Felix hanya menyandarkan punggungnya ke badan kursi sembari menyesap segelas anggur merah di tangan kanannya. Tak tertarik dengan pembahasan ini.
Melihat Felix yang tak menggubrisnya dan malah menikmati anggur itu, pantulan potret dirinya di cermin itu berucap lagi.
"Felix, kuharap kau masih mendengarkanku. Jika kau mulai membelot, kau tahu sendiri kan akibatnya?" katanya mengancam.
Felix menatap pantulan dirinya sendiri lamat-lamat. Rambut berwarna emas yang sedikit bergelombang terlihat begitu kontras dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Dagunya sedikit runcing dan hidungnya begitu mancung membuat siapapun akan langsung terpesona saat melihat parasnya. Hanya saja warna mata mereka berbeda. Itulah yang membuat Felix langsung mengepalkan tangannya lantas meninju cermin itu dengan keras sampai hancur berserakan di atas lantai.
Ya, dia enggan sekali melihat sosok itu. Sosok dirinya yang lain, yang sengaja ia sembunyikan selama ini.
"Cih, sial!" maki Felix kesal.
Ia melihat punggung tangannya yang berdarah sesaat, lalu melempar gelas anggurnya keras ke sudut ruangan. Raut wajahnya mengeras dan tangannya terkepal erat.
Jujur Felix lelah, lelah karena mau-mau saja menjadi kaki tangan dan menuruti segala perintah kekanakan sosok lain dirinya.
"Totem merah? Dia pikir legenda kuno itu masih ada, apa? Sungguh merepotkan!" kesalnya.
Felix lalu menjatuhkan dirinya kembali ke kursi seraya mengusap wajahnya kasar. Menghela napas sesaat lalu berteriak.
"Brengsek!"
Lea yang kebetulan sedang berjalan-jalan di arena kediaman Felix hanya bisa terdiam. Gadis itu sudah terbiasa mendengar teriakan sekaligus makian sang kakak bila melewati ruangan kecil di dekat taman. Tentunya itu ruangan yang hanya boleh dimasuki Felix seorang dan hanya bisa diketahui keluarga kerajaan saja.
Entah, apa yang disembunyikan kakaknya di ruangan kecil berbentuk persegi yang pintunya terbuat dari kayu pohon mahoni. Lea sungguh tak tahu dan sebisa mungkin tak mau ikut campur.
Cklek ...
Terdengar pintu ruangan itu terbuka, lalu tak berselang lama keluarlah Felix dari sana. Tak sengaja iris biru laut mereka bertemu namun Lea langsung menundukkan pandangan pura-pura tak tahu dengan apa yang terjadi.
Berbeda dengan Lea yang langsung memalingkan wajah. Felix justru tak peduli dan langsung berjalan pergi tanpa menyapa adik semata wayangnya itu.