Hari ini, bumi Nort Vale basah. Itu membuat beberapa ruko-ruko yang berjejer di sepanjang jalan menuju ibukota tutup lebih cepat daripada biasanya.
Mereka menyakini jika hujan turun, terlebih pada malam hari tidak akan ada orang yang keluar untuk sekadar berbelanja. Kebanyakan, masyarakat memilih bergumul di balik selimut sembari menyantap camilan di depan api unggun.
Paling beberapa prajurit istana yang lewat untuk bertukar shift patroli di perbatasan. Itu juga kalau hujan tidak disertai badai.
Selain, karena jalan yang cukup terjal menuju perbatasan. Prajurit patroli juga harus memutar arah lebih jauh untuk mengecek beberapa tempat terpencil di sudut kota.
Terlihat Leona merapatkan mantelnya. Ya, hari ini setelah pengangkatannya sebagai pengawal pribadi Felix, dia juga memiliki tugas untuk menemani Lucas berjaga di perbatasan. Jadi, mau tak mau gadis itu merelakan ajakan Lea untuk meminum segelas cokelat panas dengan berangkat saat hujan mulai turun.
Meski awalnya ia ingin menolak karena bersikeras menjaga Lea yang belum pulih benar. Tapi, Lucas sudah terlebih dulu menyeret kerah bajunya ke arah rombongan prajurit patroli di depan gerbang.
Jadilah Leona di sini. Berdiri di sebelah Lucas yang sibuk membenarkan tatanan rambutnya yang mulai lepek. Bahkan pria itu tidak malu dengan prajurit patroli yang terlihat melirik ke arahnya.
Dasar Lucas. Pria itu tetap saja tetap santai dan tak tahu etika di manapun dirinya berada.
Huft, Leona mendesah mengelap beberapa tetes air hujan yang menerpa permukaan wajahnya. Entah mengapa udara malam ini jauh lebih dingin dan sangat menusuk tulang.
"Kenapa?" tanya Lucas saat melihat gerak-gerik Leona.
Sudut bibir pria itu tertarik ke atas membuat sebuah lengkungan. "Kau tidak alergi dingin' kan?" tanya Lucas lagi dengan senyum tengilnya.
Leona kembali mendesah. Melirik Lucas sekilas sebelum akhirnya memilih untuk menjauh dari pria berambut merah bata itu.
Dia melangkah ke arah berlawanan dari tempat pria itu berpijak. Menyeret Poci, si kuda cokelat miliknya ke arah pohon besar lalu mengikatnya di sana.
"Tidak," jawab Leona singkat.
Gadis itu memilih sedikit menjaga jarak dengan Lucas. Bukan, Bukan karena Leona kesal. Hanya saja dia tak ada niatan untuk bergurau sekarang. Selain itu, rasa kantuk juga mulai menyerangnya perlahan.
Lucas yang merasa Leona tak menggubrisnya hanya mencebikkan bibir. Menyeret kakinya ke kursi yang berlawanan dengan Leona lalu menatap pria kecil itu diam-diam.
"Tumben sekali dia diam, tidak seperti biasanya," monolog Lucas.
©©©
Malam semakin larut, dan angin yang bertiup di iringi badai membuat Leona memeluk tubuhnya sendiri. Entah sampai kapan ia akan berada di situasi seperti ini, yang jelas ia ingin secepatnya kembali ke istana.
Tanpa mereka sadari dari balik rimbunnya pepohonan ada sebuah siluet yang bersembunyi di kegelapan mengamati mereka. Mungkin jika dilihat dengan sekilas, sosok itu tidak akan ketara karena warnanya yang menyatu dengan gelapnya malam.
Cukup lama sosok itu berdiam diri di atas batang pohon Pinus mengawasi semua gerak-gerik prajurit patroli.
Merasa semuanya lengah, sosok itu kemudian mengambil busur dan anak panahnya yang ia sembunyikan di balik punggungnya. Ia lantas mengarahkan anak panahnya itu kepada Lucas.
Srett ...
Krek ...
Sedikit lagi dia bisa mengenai targetnya, namun serangannya diblokade terlebih dahulu oleh pria kecil berambut putih itu.
Dengan cekatan Leona langsung menoleh dan berlari ke arah tempat duduk Lucas. Tangan kanannya menangkap anak panah yang hanya tinggal satu centi mengenai wajah pria itu. Lantas mematahkannya menjadi dua.
"Anda baik-baik saja?" tanya Leona.
Iris cokelatnya menatap wajah Lucas khawatir. Tangannya pun tanpa Leona sadari sudah mencengkeram bahu Lucas erat. Itu membuat keduanya saling tatap untuk beberapa saat.
"Minggir!" perintah Lucas.
Pria berambut bata itu langsung mengalihkan pandangannya kemana saja asal tak melihat manik indah Leon.
Sejak kapan detak jantungnya tak terkontrol seperti ini? Sadar Lucas, Leon itu sejenis denganmu! batinnya menjerit.
Melihat kericuhan tadi, beberapa prajurit langsung menghampiri keduanya.
"Maafkan kami tuan. Gara-gara kami begitu ceroboh anda hampir saja dalam bahaya," ujar salah seorang prajurit.
Dia membungkuk di depan Lucas dengan wajah pucat pasi.
"Aku memaafkannya. Tapi, aku tidak mau tahu tangkap dan bawa penyusup tadi kehadapanku, hidup atau mati!" perintah Lucas kemudian.
Semua prajurit mengangguk hormat lantas mulai berlari memasuki hutan. Leona yang masih berada di samping Lucas hanya diam. Gadis itu sedikit bingung harus berbuat apa, tapi jika dia hanya duduk menunggu di sini itu tidak akan menghasilkan apapun. Jadilah dia berdiri, lalu berjalan menuju Poci yang sengaja diikat tadi.
"Kau mau kemana?" tanya Lucas.
Pria itu ikut berdiri memperhatikan gerak-gerik Leona. Yang sepertinya akan ikut ambil adil dalam situasi ini.
"Menurutmu?" tanya Leona balik.
Lucas mengusap wajahnya kasar. Dia tahu, pasti pria kecil ini tidak akan tinggal diam dan kembali ceroboh dengan mencari penyusup barusan.
"Jangan pergi!" katanya.
Leona hanya terkekeh. "Kenapa?"
"Kau baru saja kembali setelah tersesat dan sekarang ingin menghilang lagi? Kalau kali ini kau tak kembali bagaimana?"
Entah mengapa ucapan Lucas sekarang terdengar begitu menyesakkan. Meskipun pria itu sangat membenci Leona, tapi pria kecil itu, satu-satunya orang yang bisa membuat hidupnya berwarna beberapa hari belakang ini.
Bisa dibilang Lucas takut. Takut orang yang membuat harinya kembali menghangat tiba-tiba pergi.
"Ck, apa anda baru saja mengkhawatirkan saya?" Leona tersenyum miring. "Jenderal Lucas yang terhormat, misi adalah misi dan sebagai orang yang profesional mau tidak mau, harus menghadapi halangan itu. Bagaimanamana pun situasi dan kondisinya, meskipun nyawa sebagai taruhan."
Lucas terdiam. Tiba-tiba mulutnya kehilangan fungsi untuk membuka suara.
"Jadi, jangan halangi saya! Jika anda ingin murid anda ini sukses maka biarkan dia mulai menapaki langkahnya. Bukankah seseorang yang kuat, ialah seseorang yang terbiasa hidup susah?" kata Leona lagi.
Melihat Lucas yang diam tak bisa menjawab membuat Leona tersenyum samar. Dia menepuk bahu Lucas pelan sebelum menaiki kuda cokelatnya.
"Saya berjanji akan membawanya, tapi mungkin tidak dalam waktu yang singkat. Eum, festival bulan. Kita bisa bertemu saat itu di jembatan layang dekat pohon maple."
"Ta-tapi itu..."
Hiyat ...
Pla ...
Pla ...
Pla ...
Leona sudah terlebih dahulu pergi meninggalkan Lucas. Menembus gelapnya malam dan hilang di telan rimbunnya pepohonan.
"Festival bulan itu masih sebulan lagi," ucap Lucas lesu.
©©©
"Sial!" ucap seseorang dengan jubah hitamnya.
Ia terpaksa kembali lagi ke negaranya dengan tangan kosong lagi, dan lagi.
Harusnya tadi dia tidak usah ragu-ragu memanah Lucas. Tapi, dia tak menduga jika pria kecil di sebelah jenderal dari Nort Vale punya kepekaan luar biasa.
Siapa tadi?
"Ah, Leon!" ujar pria itu.
Dia harus mengingat wajahnya. Lalu membereskan bocah tengik itu lain waktu.
"Tuan pasti tidak akan senang dengan ini," katanya lagi.
"Apa?" tanya seseorang, yang berhasil membuat sosok berjubah hitam itu terdiam seribu bahasa.
Entah mengapa tubuhnya mematung di tempat dan matanya tak bisa untuk tidak membelalak saat berhadapan dengannya.
"Ten!"
Suara berat itu seperti nyanyian kematian di telinga Ten. Begitu rendah, sekaligus dingin sampai membuat ngilu sendinya.
"Y-ya, tuan?" sahut Ten setenang mungkin.
Sosok yang dipanggil 'tuan' itu menyunggingkan senyumnya. Penuh arti sekaligus bahaya di dalamnya.
"Bukankah kau tahu, aku paling tidak suka dengan orang yang menyembunyikan sesuatu?"
Glek!
Ten menelan salivanya susah.