Masyarakat Nort Vale percaya jika saat gerhana bulan penuh tiba tepat saat bulan purnama, akan muncul seorang yang dianugerahi kekuatan suci. Mereka menyebutnya sang pemilik 'Totem Merah'.
Sayangnya itu hanyalah sebuah legenda kuno yang masih mereka yakini lewat kitab Orchid. Dalam kitab Orchid tertulis, jika keturunan Klan Kuno terakhirlah yang mampu membuat Omelas kembali muncul.
Nyatanya itu hanya mitos belaka. Namun, banyak sekali ras yang masih mencoba mencari tahu kepastian akan hal itu tak terkecuali sang pangeran mahkota sendiri.
Ya, sudah dari beberapa menit yang lalu. Felix menatap kosong lembaran kitab Orchid yang terbuka tepat di halaman 251.
Setelah ia membaca lembar sebelumnya di halaman 250 yang menceritakan seputar Omelas dan masa kejayaannya. Ia belum juga menemukan titik terang, mengenai sang pemilik Totem.
Terlihat sekali raut lesu memenuhi wajah tampannya. Felix bahkan menghembuskan napas jengah beberapa kali. Menyugar rambutnya kebelakang lantas menyandarkan punggungnya ke kepala kursi.
Kemarin dia memang sudah menghancurkan cermin yang sering menunjukkan sosok bodoh itu. Tapi, tetap saja suara bisikan-bisikan itu terus menghantuinya.
Felix lelah, selain mengurus berkas kerajaan. Dia juga harus melawan ketakutannya sendiri kalau-kalau sosok itu mulai mengambil alih dirinya.
Felix menoleh ke arah kaca lebar yang sengaja dipasang di ruang rahasianya itu. Lagi-lagi di sana ada sosok yang sama seperti Felix tengah tersenyum sembari memainkan belati kecil.
"Kau ingin membuangku?" kata sosok itu, Felix hanya diam.
Pria itu merasa atmosfer di dalam ruangan mulai berubah. Kemudian samar-samar Felix merasakan seseorang memegang pundaknya pelan dari belakang.
"Jangan bermimpi, karena kita adalah satu."
Bisikan itu mengalun lembut memasuki telinganya.
"Jadi, jangan pernah berpikir untuk melenyapkan atau menghapus ingatan tentangku," ucapannya terjeda. "Jangan lupakan tentang pemilik Totem. Bukankah, kau tak ingin kalah dari adik udikmu itu?"
Teon.
Felix tidak ingin pernah sekalipun kalah darinya. Meski dia harus melakukan segala macam cara apapun. Yang jelas tahta ini adalah miliknya.
Melihat Felix yang mulai terhasut membuat senyum licik tersungging dibibir sosok itu.
"Kau benar, aku tidak boleh kalah dari manusia seperti dia!" balas Felix.
Terlihat tangannya mulai menyentuh permukaan kaca itu lalu sama-sama tersenyum licik.
©©©
"Aku tidak mengerti kenapa pangeran repot-repot memberikan hadiah seperti ini?" ucap Leona.
Gadis itu baru saja kembali ke kediaman Lea setelah puas menggoda Lucas habis-habisan di kebun belakang istana tadi. Tapi, atensinya harus teralihkan ke sebuah buket bunga mawar di atas meja dan sebuah kotak persegi berisi baju.
Di atas kotak itu terselip sebuah surat berwarna merah muda yang bertuliskan namanya. Leona sedikit curiga, jika saja Felix sudah tahu identitas aslinya.
"Menurutmu apa si jambul emas itu akan memberikan sebuket mawar merah untuk seorang lelaki? Huh, kukira dia itu normal," gerutu Leona.
Lea yang mendengarnya hanya tersenyum. Yang benar saja, baru kali ini dia mendengar kakaknya yang seorang putra mahkota di ejek langsung dengan panggilan si jambul emas. Mungkin jika ada pelayan yang mendengar, kepala cantik Leona sudah terpisah dari tubuhnya.
"Ya, Kak Felix normal-sangat normal! Hanya saja..." ucapan Lea terhenti.
Gadis itu segera mendekatkan kepalanya ke arah telinga Leona lalu berbisik.
"Dia terlalu sibuk dan kaku terhadap wanita. Kadang aku juga berpikiran miring, apa iya Kak Felix memendam rasa pada tuan Lucas?"
Bak digelitik, Leona langsung jatuh memegangi perutnya sendiri. Gadis itu tertawa terpingkal-pingkal hingga meneteskan air mata.
"Ona, jangan begitu. Lagipula aku, aku hanya..."
"Hanya apa?" tanya Felix.
Rupanya pria itu sudah sedari tadi berdiri di depan pintu kamar Lea. Awalnya dia ingin menemui Leon langsung, tapi para pengawal di kediaman Lea bilang, jika malam tiba Leon akan pergi ke kamar Lea terlebih dahulu.
"Kakak!" ucap Lea kaget.
Gadis itu dan Leona buru-buru bangkit dan memberi hormat pada Felix. Jangan lupakan cengiran bodoh mereka berdua seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Felix yang sempat mendengar pokok pembicaraan mereka hanya mendengus sebal. Menghela napas sesaat lalu menatap Leon tepat.
"Kenapa kau belum bersiap?" katanya, alis Leona terangkat satu.
"Memang, bersiap untuk apa pangeran?" tanya Leona polos.
Sekali lagi Felix menghela napas berat kemudian menunjuk ke arah kotak persegi di atas meja.
"Kuharap kau tak lupa, ada pesta penyambutan sekaligus pengangkatanmu sebagai pengawal pribadiku malam ini," terang Felix.
Leona dan Lea terperangah. Keduanya saling adu pandang ingin melayangkan protes keras tapi intrupsi dari tangan Felix yang di angkat ke atas menghentikan hal itu.
"Tidak ada penolakan!" ucapnya tegas sembari membalikkan badannya akan pergi.
Namun dilangkah ketiga, Felix menolehkan sedikit kepalanya. "Satu hal lagi, aku tidak suka menunggu."
©©©
Acara penyambutan dan pengangkatan Leona sebagai pengawal pribadi Felix rupanya dilakukan di dalam ruang pertemuan khusus. Ruangan itu berukuran cukup sedang dengan dekorasi interior yang sungguh elegan. Dari penataan lampu-lampu klasik berwarna cokelat yang sengaja di gantung tinggi. Juga perpaduan warna cat tembok yang begitu indah dipandang, membuat ruangan ini begitu besar dan luas.
Leona sempat tertegun di depan pintu masuk. Dirinya merasa seperti tengah memasuki acara-acara khusus kelas atas. Yang, ya kalian tahu kan, Leona hanya seorang gadis desa yang miskin.
"Bagaimana?" tanya Lea.
Gadis itu ingin tahu pendapat Leona tentang pesta penyambutan ini. Pasalnya dia yang mengatur segala dekorasi ruangan.
"Indah, aku bahkan tak pernah membayangkan bisa menghadiri pesta seperti ini." Leona menyunggingkan senyum saat menjawabnya.
Hal itu berhasil membuat Lea terdiam beberapa saat.
Senyum itu begitu cerah apalagi dengan penampilan seperti ini membuat Leona terlihat seperti seorang pria tampan yang cantik. Mungkin, jika Lea tidak tahu jika identitas asli Leona seorang wanita dia bisa jatuh hati.
Untungnya akal sehatnya langsung kembali saat Leona melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya. Buru-buru Lea memutus kontak mata, lalu menunduk ke bawah.
"Anda baik-baik saja, tuan Putri?" tanya Leona khawatir.
Dia bahkan memegangi pundak Lea, takut jika gadis itu tiba-tiba pingsan karena wajahnya terlihat pucat.
"Haha, aku baik-baik saja kok. Um, tadi aku hanya merasa sedikit pusing," bohong Lea.
"Kalau begitu pegang tangan saya. Mungkin lebih baik jika kita masuk bersama," tawar Leona.
Tangannya sudah terulur menyambut tangan Lea yang kemudian langsung dibalas. Mereka berdua akhirnya masuk bersama dan menjadi sorotan beberapa bangsawan, tak terkecuali Anastasia. Gadis itu merengut sebal di tempatnya duduk saat melihat Leon dan Lea baru saja memasuki ruang pertemuan.
Tangannya terkepal erat meremas ujung gaunnya sendiri.
"Cih!" decihnya kesal.
Anastasia langsung berdiri dari kursinya lalu berjalan pergi ke arah balkon istana. Ya, dia muak melihat Lea berdiri di sebelah Leon. Apalagi keduanya menjadi pusat perhatian semua orang.
Dadanya terasa begitu sesak dan Anastasia benci melihat keakraban mereka berdua. Harusnya dia yang ada di samping Leon bukan Lea.
"Awas saja kau Lea! Tak akan kubiarkan Leon jatuh dalam pelukanmu," ucap Anastasia.
Manik violetnya menatap lurus ke arah hamparan bunga tulip kuning yang di tanam di kebun kerajaan. Entah apa yang dia pikirkan, namun seutas senyum licik tiba-tiba tercipta di sudut bibirnya.
"Ya, mungkin sedikit pelajaran bisa membuat seekor lebah sadar untuk segera menjauh dari bunga yang di jaga seekor kumbang."