Besoknya semua yang terjadi tadi malamlangsung menjadi tranding topic anak satu sekolah. Mulai dari membahas betapa serunya acara sampai gosip beberapa orang yang ketahuan langsung punya hubungan sejak tadi malam. Sedangkan kami langsung saja membahas tentang—
"Lo jelasin punya hubungan apa sama kak Atta!" seperti sedang di introgasi layaknya pelaku kejahataan, aku menatap wajah-wajah Sania, Anggi dan Diska yang penuh kecurigaan.
"Bukannya dari awal aku sudah cerita ya."
"Lo kan cerita detailnya ke Sania—" kata Diska yang langsung dipotong oleh Sania.
"Sorry tapi gue lupa ceritanya." Jawab Sania jujur yang membuat ku mau tidak mau harus mengulang cerita dari awal aku bertemu dengan Bratta.
Aku menceritakan segalanya, semua yang aku pikirkan tentang Bratta juga. Hanya butuh waktu setengah jam saja untuk menceritakan kejadian tersebut, namun butuh waktu sebulan lebih untuk menanti kehadirannya.
"Okey, gue gak tau ya kenapa kak Atta bisa ada di komplek pemakaman itu, tapi creepy banget sih. Lo tau kan ada di test psikopat kalau dia itu sengaja bunuh orang supaya bisa ketemu sama lu di kuburan." Kata Anggi ngaur yang langsung mendapat jitakan dari Diska.
"Kak Atta itu normal ya engga kayak lo." Ucap Diska kesal.
"Berduka sendirian," Sania mengulang kalimat Bratta yang aku ceritakan. "Maybe his parents. Emang lo sama sekali gak pernah denger gitu dari kak Asyraf Dis?"
Aku menatap Diska penuh dengan harapan semoga ia tau informasi lebih tentang Bratta. "Jujur ya dari semua temen-temen Asyraf gue gak tau banyak tentang keluarganya kak Atta karena dia emang tertutup banget," aku mengehala nafas. "Tapi setau gue dulu sahabat mereka juga ada yang meninggal setahun lalu."
"Siapa Dis?" tanya ku penasaran.
"Namanya kak Mikhael, dulu gue sempat liat foto mereka waktu masih SMP di kamar Asyraf, cuman semenjak SMA itu foto gak pernah lagi dipajang." Cerita Diska sekilas yang juga membuat ku merasa penasaran dengan hubungan Asyraf dan Bratta.
"Jadi, kak Atta, kak Asyraf dan kak Mikhael temenan dari SMP?" tanya ku lagi.
"Iya mereka sahabatan dari SMP, sampe akhirnya kak Atta ngelanjutin SMA di Singapore dua tahun dan di drop out. Waktu kelas 12 mereka ngumpul lagi tapi kayaknya hubungan Asyraf sama kak Atta gak akur." Jelas Diska.
"Sumpah gue jadi ingat banget waktu kak Asyraf dan kak Atta duel basket waktu kita lagi MOS." Kata Anggi.
"Terus siapa yang menang?"
"Mereka berdua masuk BK karena adu jontos waktu duel itu. Pokoknya famous banget deh dulu di angkatan kita." jawab Sania.
"Satu hal yang harus lo tau deh, lo beruntung banget bisa deket sama kak Atta."
Mendengar kalimat Diska barusan langsung membuat ku mematung seketika. Beruntung? Memangnya kenapa dengan Bratta? Aku akui dia cowok yang penuh misteri, cakep dan tidak terduga, hanya saja ini belum waktu yang tepat bagi ku untuk jatuh cinta, aku hanya merasa kagum saja. Walau rasa kagum itu nantinya dapat tumbuh menjadi cinta.
***
Aku menutup buku sejarah yang tebalnya sampai 400 halaman. Ku lihat jam yang sudah mennjukan pukul 13:50 WIB. Diska melempar sebuah kertas kecil agar aku menoleh ke bangkunya yang berjarak 2 meja di belakang ku.
"Entar malem kerja kelompoknya di rumah gue." iya kerja kelompok pelajaran Sejarah yang dimana anggota kelompoknya selalu aku, Anggi, Sania dan Diska. Alasan kami selalu kerja kelompok di rumah Diska adalah tak lain keluarganya yang begitu welcome menyambut kami, tersedia banyak sekali cemilan dan juga karena Anggi yang mencari kesempatan untuk melihat Asyraf.
Aku mengacungkan jempol tanda setuju. Bel berbunyi tanda sekolah sudah berakhir hari ini. Aku segera menggunakan hoodie putih yang sizenya lebih besar dari badan ku. Saat berjalan mau menuju gerbang sekolahan, Anggi menahan lengan ku.
"Bi! Itu kak Atta bukan sih?" Anggi dengan kebiasaan buruknya langsung menunjuk ke arah parkiran.
"Nggi jangan tunjuk-tunjuk dong! lo mau kita balik dari sini dipukulin?" Tegur Sania yang suka kesal dengan reflekes Anggi. Aku melihat ke arah parkiran yang memperlihatkan seorang laki-laki yang sedang duduk di atas motor putih.
"Vespa Matic passwordnya!" ujar Diska lalu tertawa mengejek ku.
"Papanya yang beliin, anaknya yang make, ceweknya yang pamer." Kompak mereka bertiga meledek ku karena Bratta datang ke sekolahan dengan Vespanya yang berwarna hitam.
"Starterpack fakboi banget gak tuh Bi," Kata Sania yang menilai dari setelan outfit Bratta dengan hoodie hitam yang dipadukan dengan celana ripjeans dan sepatu Conversenya. "Buruan samperin gih, lo gak tau aja cewek di angkatan kita pada fans berat kak Atta."
"Gue balik duluan ya, entar malem jam 7 kan." aku memastikan janji lagi, kemudian segera pergi menghampiri Bratta.
Baru berjalan ke arahnya saja aku sudah melihat beberapa siswi perempuan yang sejak tadi memanggil namanya atau sekedar senyum menyapa. "Hai." Sapa ku juga tidak mau kalah.
"Vespa matic passwordnya." Kata Bratta yang sama persis dengan ucapan Diska.
"Papanya yang beliin, anaknya yang make, ceweknya yang pamer." Aku mencoba mengatakan hal serupa.
Ku lihat reaksi Bratta yang tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. Salah? "Terus apa yang bener?" tanya ku.
"Motor Atta boncengnya Abi! Yaudah yuk naik udah valid passwordnya." Dia lalu memberikan ku sebuah helm yang sama dengan helm miliknya.
"Berarti Atta enggak boleh bonceng cewek yang namanya bukan Abi ya?"
"Iya karena gak ada Abi yang lain." mendengarnya membuat ku tertawa kecil. Kadang kala aku melihat sisi lain dari soerang Bratta yang bisa misterius, puitis dan beriskap manis seperti ini.
Motor Bratta keluar dari gedung sekolah yang dimana menarik perhatian dari anak-anak yang melihat kami, ditambah dengan helm tanpa kaca ini terang-terangan memperlihat pengemudi dan aku yang duduk di belakangnya.
"Kita mau kemana Ta?" aku melihat jalan yang sudah sering ku lewati tiap pulang sekolah ini.
"Hari ini temenin aku ziarah ya Bi." Aku jadi teringat pada pembicaran kami tadi siang tentang makam siapa yang tempo lalu dihampiri Bratta. Apa itu adalah orang tuanya, keluarga, atau justru sahabatnya yang setau ku bernama Mikhael. Lagi pula, aku juga belum sempat ke makam bunda 2 hari ini.
"Atta." Panggil ku sedikit berteriak.
"Iya Bi kenapa?"
"Kamu sering juga ya ziarah ke sana?"
"Setiap ke Jakarta aku sempatin ke sana terus." Jawabnya. Sepanjang perjalanan menuju komplek pemakaman itu tidak ada pembicaraan dari kami. Aku juga terus terang menikmati sejuknya udara ketika mengendarai motor.
Aku membuntuti Bratta yang jalan beberapa langkah lebih dulu dari ku. Perlahan semua makam kami lewati sampai akhirnya berhenti di sebuah makam dengan nisan yang aku baca namanya Mikhael Kollan. Jadi dia sahabat yang Diska maksud.
Aku melihat Bratta yang berdoa sejak tadi, cukup lama tapi ketika selesai dia langsung berbicara kepada ku. "Namanya Mikha, sahabat aku." Aku melihat dari nisan tersebut bahwa mungkin Mikhael meninggal ketika usianya masih 18 tahun.
"Dia meninggal kenapa?"
"Kanker. Semua teman-temannya termasuk pacarnya enggak nyangka kalau dia bakal lebih dulu ninggalin kami," aku melihat wajah Bratta yang benar-benar menyimpan kesedihan saat menceritakan tentang Mikhael.
"Dia punya pacar? Terus gimana?"
"Iya dia punya pacar namanya Rena, tapi sekarang lagi kuliah di Hongkong. Mikha ini orang paling baik yang pernah aku temuin selama 19 tahun hidup aku Bi. Jadi aku gak yakin Rena bakalan mudah untuk dapat pengganti Mikha."
"Kadang kala dia pergi bukan untuk digantikan." Aku memberikan ucapan yang sama seperti yang Bratta bilang pada ku di surat itu. Kalimat yang aku rasa benar adanya bahwa kita tidak perlu berusah payah dalam melupakan seseorang, karena ia punya tempatnya masing dalam hidup kita.