Chereads / SENJA YANG HILANG / Chapter 6 - LIMA

Chapter 6 - LIMA

"Jadi gimana nih, ngedatenya?" tanya Diska sambil memainkan bolpointnya. 

"Dating kok ke kuburan, ke mall kek!" celoteh Anggi yang langsung mendapat jitakan dari Sania. 

"Lo tuh ngomong dijaga dong, difilter! Masa kalah sama rokok." Tegas Sania.

"Iyadeh maaf. Gue kan bercanda doang." Anggi mengeluarkan jurus puppy eyesnya yang sebenarnya tidak mempan pada kami bertiga, tapi ya sudahlah. 

Aku memikirkan kembali segala kejadian yang terjadi hari ini. Membayangkan kembali perlakuan kecilnya kepada ku. Mengingat tiap kalimat yang keluar dari bibir Bratta.

"Kenapa ya orang baik selalu pergi duluan." Kata ku yang ketika kami di perjalanan pulang usai dari pemakaman. 

Jarak yang sempit di atas motor ini membuat ku bisa mendengar sedikit tawa Bratta. "Kalau kamu pergi ke sebuah taman bunga mana yang kamu petik lebih dulu?" 

Aku memikirkan jawaban ku sejenak, "Bunga yang paling cantik." 

"Sama kaya manusia. Mungkin Tuhan panggil dia karena dunia ini terlalu jahat untuknya. Umur gak ada yang tau Bi dan sudah jelas kematian adil buat semua orang." 

Aku tersenyum malu mengingatnya. "Ternyata itu makam kak Mikha." Aku memberi jawaban terhadap pertanyaan kami. 

"Udah gue duga." Kata Diska.

"Gila ya, mereka solid banget. Emang lu gak nanya apa kenapa kak Atta sampe segitunya banget? Kak Asyraf yang di Jakarta emang kek gitu juga Dis?" pikir Sania sambil memainkan pulpennya. 

"Mana gue tau," Jawab Diska. "Udah lah kita selesain dulu deh tugasnya baru ngerumpi lagi." Ajak Diska. Malam itu sudah hampir jam 8 dan kami berempat saling mengerjakan tugas masing-masing supaya cepat selesai. 

Dalam mengerjakan tugas seperti ini sudah jelas Sania selalu ahli dalam bidang mengetik dan mengedit power point tanpa typo satu kata pun. Sedangkan kami bertiga lebih banyak mencari informasi dari buku dan google. 

Mengingat materi yang akan kami presentasi tidak terlalu banyak, cukup setengah jam saja sudah selesai. Waktu yang tersisa di malam itu kami gunakan untuk main dan berniat menonton film horror yang akan asik disaksikan bersama-sama. 

"Nontonnya di tv luar aja ya," Diska memberi saran. "Tapi buat popcorn sama spagetti dulu biar kaya di bioskop." 

"Gas!" Anggi begitu bersemangat. Aku pun setuju mengingat perut ini sudah tidak bisa diajak musyawarah lagi karena kelaparan. 

"Yaudah kalian duluan ke dapur aja, aku mau bersin buku sama laptop dulu." Kata ku secara sukarela karena ini semua barang ku. 

"Okey deh ntar ke dapur aja langsung." 

Segera ku susun satu per satu lembaran yang kami gunakan untuk presentasi, merapikan buku-buku yang ku bawa dari rumah dan laptop ku yang dipakai untuk kerja kelompok dengan alasan materi yang ku miliki cukup lengkap. 

Suhu kamar Diska cukup rendah mengingat perempuan itu selalu dijuluki keturunan suku Eskimo yang tidak terbiasa dengan suhu tinggi. Setelah selesai berberes aku langsung keluar dan berniat menyusul mereka. Ku lihat kala itu Asyraf juga keluar dari kamarnya yang berhdapan dengan kamar Diska. 

Aku berniat mengabaikannya. "Jadi lo ceweknya Bratta sekarang?" dia membahas Bratta seolah hal itu sangat penting untuk diurusi. 

Aku menoleh dan melihat ke arahnya yang secara fisik berbadan tinggi dan gagah. "Kenapa?" bukan jawaban melainkan pertanyaan. 

Dia tertawa sedikit melihat reaksi ku yang mungkin tidak sesuai dengan ekspetasinya. "Kalau lo belum kenal dia gimana, gue secara sukarela bisa kasih tau brengseknya cowo lo itu." dia menaikan sebelah alisnya seolah sedang melakukan negosiasi. 

"Gue gak perlu lo buat kenal dia karena setiap orang selalu brengsek dicerita orang lain." aku segera berbalik ingin meninggalkan tempat itu tapi Asyraf masih saja berbicara. 

"Lo itu cuman mainannya, karena sampai kapan pun Bratta gak bisa lupain orang yang dia cinta."

Semua  kalimat itu terdengar jelas tapi aku tidak berniat berbalik. Aku takut kalau harus mendengar cerita buruk tentang Bratta dari orang lain. Aku tidak mau membuat prespektif buruk kepadanya tanpa tau kejalasannya. Kadang kala, ada hal yang semakin dicari tau justru makin melukai. Bukan menutup mata pada kebanaran, tapi biarkan kenyataan memperlihatkan dirinya sendiri. 

***

Sepulang sekolah aku sudah berjanji akan bertemu lagi dengan Bratta. Ku tunggu ia di halte sekolah ku, melihat ketiga teman ku sudah pulang dengan kendaraan masing-masing. Halte yang cukup ramai disinggahi banyak orang. Lalu lalang kendaraan umum yang lewat disana sebagai tempat untuk berhenti. 

Lucu ya, ini tempat ramai yang disinggahi namun tak sungguh orang menetap disana. Bukan salah tempatnya, namun orang yang menjadikan tempat itu dengan tujuan sebagai  rumah atau tempat persinggahan. Memang nyaman duduk disana tapi pada akhirnya aku juga sadar kaki ku akan beranjak keluar dari sana. 

"Kalau lagi sendiri emang suka sedih gitu ya mukanya Bi?" aku tersadar dari lamunan ku dan melihat sosok Bratta yang sudah ada dihadapanku. Masih diatas motornya tapi kalimatnya yang berbicara pada ku membuat kami menjadi pusat perhatian. 

"Sorry aku ngelamun." Aku mendekat kearahnya.

"Kalau sama aku, gak sedih lagi?" ia memberi helmnya lalu tersenyum berniat menggoda ku. 

Aku tertawa kecil dan naik ke atas motornya. "Apaansih Ta, gombol mulu." 

Kami menyusuri jalanan kota di Jakarta. Menikmati angin yang kala itu memainkan perasaannya dan menyentuh ujung rambut ku yang tergerai. Ini adalah kebiasaan baru yang kusukai selain menikmati coklat panas dan mendengar rintik hujan yaitu keliling kota bersama Bratta. 

"Kita mau kemana Ta?" tanya ku sedikit berteriak. 

"Ke tempat dimana aku ngerasa senang." Ia melirik ku sekilas melalui spion bundarnya. 

Dimana? Tempat karoke? Cafe? Mall? Ah ada banyak hal yang belum ku ketahui tentangnya namun ia sukses membuat ku selalu bertanya-tanya tentang apa yang ia suka, apa yang ia kagumi, dan apa yang biasa ia lakukan.  

Aku menatap jalanan yang ramai dengan orang-orang. Hari ini Jakarta tidak seterik lalu, menurut perkiraan cuaca suhu di Jakarta saat ini 22°celcius berawan. Aku menatap awan yang terus tertinggal di belakang kami. Cahaya kuning matahari yang mulai meredup dan angin kota yang sejuk. Ku tatap punggung tegap Bratta yang aroma vanillanya tercium harum. 

Hampir setengah jam kemi menyusuri jalan namun terasa seperti memutari kota saja tanpa tau tujuan kemana. "Ta, kita kok belum sampai?" 

"Kamu belum ngerti ya Bi maksud aku apa?" dia malah memberi ku pertanyaan.

"Apa?"

"Nyatanya ada banyak tempat yang kita lewati tapi aku gak milih untuk singgah karena aku sadar belum nemuin tempat yang aku suka." Mendengarnya seolah memainkan perasaan kagum ku. 

"Kita masih muda Ta dalam pencarian jati diri. Kadang kala ada hal yang dimana kamu gak perlu cari 'hal itu'. Cukup kamu lewatin dan nantinya kamu bakal sadar kalau hal yang sudah kamu lalui di hari kemarin cukup membuat kamu ternyum saat mengingatnya." 

"Thanks Bi kamu bener. Kalau gitu kamu harus cepat terbiasa ya buat ridding gini." 

"Berati bakalan jadi rutinitas?"

"Secepatnya Jadi prioritas."