Chereads / SENJA YANG HILANG / Chapter 7 - ENAM

Chapter 7 - ENAM

Aku menatap cermin kamar dengan ukuran setinggi badan ku. Memperlihatkan seragam putih abu-abu dengan rambut tergerai rapi. Terlihat sempurna dengan penampilan ku pagi ini ditambah sebuah cardigan polos bewarna coklat gelap. Tidak lupa aku menyemprotkan sebuah parfum yang begitu manis dan tahan lama. 

Sebuah senyum kembali terukir di wajah ku ketika mendapat pesan dari Bratta. Dia berjanji akan mengantar ku ke sekolah. 

Bratta : Bi aku sudah di depan rumah kamu. 

Aku segera berlari ke luar agar tidak membuatnya lama menunggu. Aku melihat ayah yang sedang minum kopi di depan tv sambil membaca koran. "Ayah, Abi berangkat ke sekolah dulu." 

"Loh, pak Ijum kan belum panasin mobil," Tanya ayah heran. "Lagian ini masih setengah 6 Bi." Mengingat kebiaasaan ku yang selalu berangkat jam setengah 7 karena kesiangan bangun pagi.

"Abi berangkat sama temen udah di jemput." Mendengar jawaban ku yang tergesa-gesa, ayah langsung mengikuti ku ke luar. Bratta sudah duduk di kursi teras dan seketika berdiri ketika melihat ayah yang ada di belakang ku. Aku bisa melihat reaksi kaget dari wajah Bratta.

"Selamat pagi om, saya Atta mau izin antarin Abi ke sekolah." Bratta memberi salam kepada ayah, sungguh improv yang sangat pandai. 

"Kamu pacar Abi?" aku mengehela nafas melihat ayah yang selalu protektif seperti ini, tapi bisa kuwajari. "Kenapa gak pakai seragam? Kamu bolos ya?"

"Atta kebetulan mahasiswa om, alumni SMA nya Abi. Sekarang belum jadi pacar, semoga bisa secepatnya."  

"Kalau begitu om minta nomor kamu ya, karena om sudah memberikan kepercayaan buat kamu antar Abi ke sekolah." Ayah menyodorkan ponselnya kepada Bratta. 

"Yah, Abi bisa telat kalau kaya begini ceritanya." Keluh ku kesal. 

"Biasanya juga telat kamu."

"Ini om nomor Atta, kalau begitu kami pamit ya." kemudian kami beranjak masuk ke dalam mobil Honda Civic hitam kepunyaan Bratta. Aroma pengharum mobil yang tercium maskulin dengan sensasi mint dan suhu AC yang full. 

"Ayah kamu care banget ya Bi." Komentar Bratta ketika kami sudah melakukan perjalanan menuju sekolah. Mendengarnya cukup membuat ku kaget. Jika dibandingkan dengan teman-teman ku, ayah mungkin terlihat sangat sibuk dan cuek. 

"Enggak kok. Ayah sibuk banget, bahkan kalau selesai kerja juga jarang kasih kabar." 

"Harusnya kamu bersyukur Bi, kalau dia udah pulang ke rumah dia masih protektif buat jagain kamu." mendengar kalimat Bratta seolah ada luka yang terasa. 

"Emang orang tua kamu gimana?" tanya ku hati-hati. 

Bratta sempat melirik ke arah lain seolah memikirkan jawaban. "Orang tua?" dia tertawa kecil. "Mungkin orang yang ngebesarin maksud kamu. Tiap hari aku lihat mereka tapi seolah gak dianggep." 

Mendengarnya membuat ku sedikit terkejut. Ingin sekali ku tanyakan beberapa hal, namun mobil Bratta sudah berhenti di sekolah ku. SMA Nusantara. "Pulang nanti kamu tunggu di halte ya." ia mengingatkan ku. 

"Iya Ta. Makasih banyak ya tumpangannya." 

"Sama-sama buat waktunya." Bratta mengatakan itu seolah mengkoreksi kalimat ku. 

Aku tersenyum kecil kemudian meralatnya. "Iya makasih buat waktunya. Dadah Ta." Aku segera turun dan melihat mobil itu melaju ke jalan raya yang dalam beberapa menit sudah tidak bisa ku lihat lagi. 

Kadang kala, pertemuan berarti tidak mesti dengan pergi ke tempat mewah, liburan, atau bahkan menghabiskan waktu seharian. Mungkin di pagi hari bertemu Bratta selama perjalanan menuju sekolah sudah menjadi semangat bagi ku. Aku tidak menyangka cowok itu rela bangun pagi hanya untuk menemui dan mengantar ku. 

Sejak sampai di depan gerbang aku sudah memasang wajah tersenyum bahagia. Dengan senyum lebar aku berjalan menuju kelas dan melihat sudah ada beberapa teman ku disana. Perlahan aku berusaha melengkapi puzzle yang hilang dalam hidup ku. Aku berusaha menutup semua kesedihan dengan mensyukuri yang ada. 

"Malam ini gimana kalau kita nginep di rumah—" Anggi yang semula memberi ide langsung menatap ke arah Diska yang ada di sebelah ku. 

Merasa seperti diberi kode, Diska langsung menyahut. "Apa lo liat-liat." Katanya pada Anggi. Anggi yang mendapat respon judes dari Diska langsung memanyunkan kedua bibirnya. Alisnya dibuat turun sesuai dengan bentuk matanya sesekali ia mengedipkan matanya sepeprti memelas. 

"Najis lu kek cewe femme aja." Sania merasa geli sendiri melihat tingkah Anggi yang sok berlagak kekanakan. 

"Ayo dong Dis kan malam minggu. Lo gak sedih apa liat gue?" rayu Anggii beralasan kalau ini adalah malam minggu. 

Diska menghela nafas kemudian setuju. "Yaudah malam ini barberque di rumah gue okey?" 

Ini adalah kebiasaan kami untuk melakukan barberque sebulan sekali di malam minggu. Lagi pula aku akan bertemu Bratta pulang sekolah ini jadi tidak ada alasan bagi ku untuk menolak ajakan mereka. 

***

"Jadi nanti malam ke rumah Diska mau dianterin Bi?" kata Bratta setelah aku memberi taunya tentang rencana kami tadi siang. 

Tentu aku tidak ingin merepotkannya hanya karena ingin mengantarkan ku. "Engga usah, aku bisa bareng Sania kok."

"Karna nanti malam enggak ketemu, kamu mau nemenin aku sampe sore?"

"Kemana?"

"Ikut aja deh. Pokoknya kamu pasti seneng, aku berani taruhan." Bratta seolah yakin 100% tanpa pengecualian. Aku hanya tersenyum ingin membuktikannya. 

Motor Bratta mengarah ke suatu tempat yang sama sekali tidak pernah kusinggahi. Tempat itu tidak lain adalah skatepark. Aku sedikit terkejut ketika kami sampai di sana karena ada beberapa anak kecil yang duduk di pinggirnya untuk menyaksikan permainan itu.

"Kita mau nonton orang main skate?" tanya ku tidak percya sampai lupa melepas helm di kepala ku.

Bratta menatap ku geli. Ia melepaskan kaitan pengaman di helm ku lalu berkata, "Yang bener Abi nonton Atta main skate." Koreksinya. 

"Kamu bisa main skate?"

"Aku skater dan mereka teman-teman ku," Bratta menunjuk ke arah beberapa orang yang tengah asik bermain. "Ayo Bi aku kenalin." Ia berjalan lebih dulu beberapa meter di depan ku. 

Beberapa orang yang menyadari kehadiran Bratta langsung berkata "Cewek baru Ta?" lalu mereka memberi salam sebagai ciri khas anak skate. 

"Yang kemaren ketemu di Sency mana bro." Ledek mereka untuk mencairkan suasana. Aku hanya tersenyum malu karena merasa canggung. 

"Ah gue males temenan sama yang suka buka kartu," Sahut Bratta. "By the away kenalin dia Abisha panggil Abi aja." 

"Kalau udah di bawa ke sini berati udah officially dong."

"Gimana nih Bi yang minta kepastian malah anak-anak." Kini Bratta yang malah menggoda ku. Sungguh aku merasa malu jika sampai diusik oleh teman-teman Bratta, mungkin kalian bisa membayangkannya. Merasa salah tingkah tapi takut ketangkap basah.

"Apaansih Ta." Kata ku yang memberi jawaban untuk menetralkan tapi ternyata tidak berpengaruh sama sekali.

"Pengalihan isu dia man." Adu Bratta kepada temannya. 

"Yaudah kalau gitu sekalian buat skandalnya sama gue biar sukses pengalihannya." 

"Sorry-sorry hubungan kita gak ada celah, jadi gak usah ngarep, gak usah nunggu, langsung mundur aja. Pintu keluar sebelah sana." 

"Sialan lu Ta, gak semua orang nyambung sama jokes kita." katanya. "Oh iya kenalin gue Kevin." Dia menyalami ku dan ku sambut ramah. 

"Itu Anwar, yang make celana abu-abu namanya Rico dan yang di sana namanya Gio. Oh iya, kamu duduk aja disitu biar enggak kena panas." Bratta mengantar ku ke arah tempat duduk yang terbuat dari semen. Disana cukup naung karena dekat dengan pohon yang cukup lebat. Aku duduk dan melihat beberapa anak kecil yang sedang asik bermain.

"Kalau kamu bosan tinggal kek gini." Bratta memperagakan gerakan menyiul dengan kedua jemari yang dimasukannya ke dalam mulut seperti memanggil. 

"Terus." Kata ku menunggu lanjutannya. 

"Ya aku bakal samperin kamu. Semoga gak bosan di sini ya Abisha." Ia mengacak-acak rambut ku kemudian bergabung dengan beberapa temannya.  

Aku menatap mereka satu per satu. Semua sangat mahir dalam melakukan beberapa trick. Sesekali jatuh dan ketika ku lihat saja mampu membuat sendi lutut ku nyeri. Sesekali aku tertawa melihat Bratta ketika sedang bersama dengan teman-temannya. Ia jadi tertawa lepas dan betah bagiku untuk memandangnya. 

"Kakak namanya siapa?" seseorang berbicara kepada ku. Dia perempuan yang mungkin usianya 7 tahun dengan tinggi 120cm. 

"Nama kakak Abi, kalau kamu siapa?" tanya ku juga padanya. 

"Aku Caca. Kakak baru pulang sekolah ya?" dia melihat ke arah badan ku yang masih menggunakan seragam lengkap. "Caca udah lama enggak sekolah lagi." Katanya tiba-tiba.

"Caca kenapa ga masuk sekolah lagi?" dia kemudian ikut duduk di sebelah ku. Aku menatap matanya dalam-dalam seolah ada luka yang dalam di balik itu. 

"Soalnya Caca harus bantuin ayah jualan," mendengarnya membuat ku seolah merasa ada duri yang ikut menancap. Dia melanjutkan kalimatnya. "Kata ayah, kalau uangnya udah ada Caca bisa sekolah lagi." Hampir saja air mata ku jatuh setelah mendengarnya. 

Aku segera menghapusnya sebelum ia melihat. "Caca jualan apa?" kata ku berusaha untuk mengajaknya ngobrol. 

"Caca jualan kripik kak." Dia menunjukan keranjangnya yang masih penuh dengan beberapa bungkus keripik singkong. Melihat jualannya yang masih banyak langsung membuat ku nyaris tidak bisa menahan air mata lagi. 

Jika kuingat di usia 7 tahun aku menghabiskan waktu dengan Bunda untuk liburan ke luar negeri. Memikirkan ingin membeli tablet baru, main ke Disney Land dan menonton film di bioskop. Berbeda nasib dengan Caca yang tiap harinya menghabiskan waktu dengan berjualan sampai tidak bisa masuk sekolah. Di satu sisi aku merasa sadar bertapa berharga dan berntungnya aku. 

"Caca, kaka boleh meluk kamu?" tanpa menunggu jawabannya aku langsung mendekapnya. 

"Kakak kenapa?"

Aku berusaha menahan air mata tapi gagal. Segera kuusap air mata ku dan berbicara padanya. "Kakak lemes banget Ca, pulang sekolah belum makan,"kata ku berpura-pura mencari alasan. "Boleh gak kakak beli keripik kamu?" aku melepas pelukan ku. 

Bisa ku lihat matanya berbinar-binar hanya karena aku membeli dagangannya. Mengapa anak seusianya bisa semudah itu tersenyum? Aku jadi menyesali masa kecil ku yang terlalu banyak mengeluh sampai lupa bersyukur pada Tuhan. 

Ku beli seluruh dagangannya dan ku ajak beberapa anak-anak disana untuk menikmati keripik singkong tersebut. Rasanya tidak seburuk yang ku pikirkan. Melihat mereka yang berkumpul disana menyadarkan ku bahwa kebahagian tidak perlu dicari melainkan diciptakan. Tidak disediakan namun disadari bahwa hanya dengan hal kecil seperti bersyukur kita bisa tersenyum. 

Bratta menghampiri ku. Ia duduk di sebelah ku. "Sudah senengnya?" kata Bratta yang masih yakin pada kalimatnya tadi. Dia benar dan aku sudah membuktikannya, aku merasa senang ada di tempat ini. 

"Makasih ya sudah ajak aku kesini," Jawab ku. "Kalau aku belum ke sini mungkin aku belum bisa ngerasain senang."

"Belum ngerasain karena kamu belum bersyukur kan? Aku seneng kalau kamu ngerasa nyaman di sini," kata Bratta yang terdengar ngos-ngosan karena sejak tadi main tanpa istirahat. Aku bisa melihat keringatnya yang bercucuran. "Bentar ya aku ambil baju di jok." 

Terus ku amati sosoknya yang berjalan ke arah parkiran. Ia membuka jok motornya dan melepas bajunya disana. Aku cukup terkejut. Tau kenapa? Karena bisa ku lihat punggung dan dadanya dengan tatto yang cukup jelas terlihat dari kejauhan. 

Bratta berjalan ke arah ku kemudian mengibaskan kaos putih yang masih baru itu untuk mengeringkan badannya. "Itu tatto apa?" tanya ku padanya. 

Dia menatap tubuhnya sendiri. "Yang mana?"

"Semuanya." 

"Ini tatto pertama aku, gambar kompas," dia menunjukkan gambar mata angin dengan secarik kertas yang ada di lengan kirinya. "Ini yang kedua tatto serigala, hutan dan mawar." Tatto itu cukup besar di punggungnya. 

"Kalau yang itu?" aku melihat ke arah bagian dadanya yang juga diisi beberapa tatto.

"Skate or die." Bukan itu yang kumaksud. Namun aku melihat gambar yang cukup mencolok. Sebuah bibir perempuan yang menghisap rokok dengan tulisan— 

"Adelle?" aku mengangkat kedua alis ku penuh tanda tanya. 

"Dia mantan aku setahun yang lalu." Aku sedikit terkejut dan seolah bingung harus berkata apa. Melihat reaksi ku yang seperti ini Bratta kembali berbicara. "Kita jangan bahas itu ya." 

Aku  jadi menyesal menanyakannya. Tentu bisa kalian bayangkan perasaan ku, ketika kalian merasa penasaran terhadap sesuatu namun seolah ia menolak menjelaskan kebenarannya. Penasaran ku terus menghantui. Apa mungkin dia orang yang Asyraf maksud? 

Sampai kapan pun Bratta gak bisa lupain orang yang dia cinta. 

Pikiran ku terus berkelana. Tidak bisa ku kendalikan pertanyaan yang tidap menit selalu muncul. Aku menatap ke arah orang yang berlalu lalang dengan pikiran kosong. Mata ku memperlihatkan sedikit kekecewaan sampai aku lupa sudah berlalu setengah jam aku seperti itu. 

Bratta kembali menghampiri ku dan itu yang langsung menyadarkan ku dari lamunan. "Balik yuk udah sore." Aaku masih diam dan mengikuti tubuh tingginya yang berjalan di hadapan ku. 

Sore itu, senja tidak menarik karena ada hati yang tergores halus tanpa ku sadari. Itu pertama kalinya aku menaruh cemburu kepada Bratta.