Beberapa tahun yang lalu
Dinara sedang menunggu Bara yang ingin bertemu dengan nya. Ara sedang berada di gudang belakang sekolah, tempat biasa yang di pakai oleh anak - anak klub basket biasa berkumpul untuk sekedar menghabiskan waktu beristirahat menjelang sesi latihan di mulai. Gudang tersebut memiliki pemandangan yang cukup nyaman untuk melepas lelah karena banyak pepohonan rindang dan bermacam - macam bunga yang di tanam oleh penduduk di sekitar sekolah.
Sebenarnya Ara ragu untuk menemui Bara sekarang karena jam sekolah sudah berakhir tiga jam yang lalu dan klub anak basket pun kebetulan juga sedang libur latihan, maka dari itu gudang tersebut terlihat sangat sepi dan cukup menakutkan, berbeda jika anak - anak klub basket berkumpul di sini.
Sudah sekitar sepuluh menit Ara menunggu di balik pohon bersama dengan Ana. Ya, Ara meminta Ana untuk menemaninya karena sedari tadi, Ara merasa perasaannya tidak enak, di tambah dengan Bara yang tiba - tiba mengajaknya untuk bertemu membuat dirinya semakin awas.
Ketika sedang berbicara dengan Ana, Ara mendengar suara langkah kaki yang sedang berlari mengarah ke tempatnya saat ini. Karena Ara tidak mau Bara tahu, maka dengan inisiatif, Ara melangkahkan kakinya ke arah Bara setelah mengatakan kepada Ana kalau ia ada urusan sebentar.
Di saat Ana mengiyakan, Ara dengan dengan segera menghampiri Bara yang sudah masuk ke dalam gudang dan sesampainya di sana Ara bisa melihat kalau Bara sedang duduk di sebuah kursi dekat dinding. Dengan langkah pelan, Ara mendekati Bara yang belum sadar akan kedatangannya.
Sesampainya di depan Bara, Ara melihat ada yang berbeda dari Bara namun entah apa Ara juga tidak tahu. Bara yang seakan menyadari kehadiran seseorang membuka matanya dan menangkap siluet perempuan yang sangat ia sukai.
"Bara, kenapa kamu menyuruhku kesini..?
Bara masih menatap lekat perempuan yang masih setia berdiri di hadapannya itu. Disaat sebuah tangan menyentuh pundaknya dengan pelan, Bara langsung menarik Ara dan memeluknya dengan erat, sedangkan Ara yang tiba - tiba saja di peluk Bara langsung kaget dan menjerit pelan.
" Bara, apa yang kamu lakukan? lepaskan aku.."
Ara meronta agar Bara melepaskan pelukannya. Namun naas, bukannya di lepas tetapi Ara dibaringkan di lantai yang penuh dengan debu dan Bara menindihnya dengan mencekal tangan Ara di atas kepala.
"Bara sadar, apa yang mau kamu lakukan? lepaskan aku Bara.." tolong...
Ara menjerit dengan kuat berharap Ana yang sedang menunggunya diluar mendengar jeritannya. Ara terus memberontak dengan kuat agar bisa terlepas dari cengkraman Bara yang semakin kuat menindihnya. Air mata Ara luruh seketika melihat nasibnya saat ini. Tidak ada yang mendengar jeritannya. Sekolah juga sangat sepi mengingat hari sudah semakin senja dan matahari sudah tidak terlihat lagi. Mata Ara memburam dan terisak pelan. Saat sudah pasrah dengan nasibnya melihat Bara yang semakin menjadi. Namun tangisannya terhenti saat beban berat menindih tubuhnya secara tiba - tiba. Ara melihat Ana yang sedang memegang balok kayu yang cukup besar di tangannya. Dengan bantuan Ana, Ara menggeser tubuh berat Bara yang menindihnya kesamping. Dengan cepat Ara bangun dan segera berdiri, menjauh dari Bara yang bisa saja terbangun.
"Apa kau tidak apa- apa Ara? aku mendengar jeritanmu dari luar dan langsung berlari kesini. Melihatmu yang di lecehkan olehnya membuatku mencari senjata untuk memukulnya". Ana memeriksa tubuh Ara dari atas sampai bawah, namun mata Ana menangkap bercak kemerahan yang ada di leher Ara. Ana yang melihatnya melotot dan memukul Bara kembali dengan kayu yang masih ia pegang.
Ara menangkap tangan Ana yang sepertinya ingin memukul Bara kembali.
"Ana hentikan",, cegah Ara. Apa kau tidak melihat Bara sudah tidak berdaya seperti ini? kenapa kau tega memukulnya lagi?
Ana menatap Ara yang terlihat keheranan dengan kelakuannya. Apa Ara tidak sadar dengan dirinya? batin Ana.
"Apa kau tidak tahu kalau laki - laki bajingan ini memberimu tanda di bagian leher?" Tanya Ana
Refleks Ara menutup lehernya yang tadi semat di hisap Bara. "Sudahlah, kau sudah memberinya pelajaran tadi. Ayo pulang.." Ajak Ara sambil berjalan keluar gudang meniggalkan Ana di belakangnya.
°°°°°
SEKARANG
Ara menceritakan semuanya kepada Abrar tanpa kurang satupun. Sedangkan Abrar terlihat menahan amarah karena wajah nya yang memerah setelah mendengar ceritanya barusan.
Ara hanya memandang Abrar yang berdiri dari duduknya, berjalan menuju dapur. Ara mengira kalau Abrar akan mengambil minum, namun telinganya mendengar suara yang keras dari arah dapur.
Ara bergegas berdiri dan menghampiri asal bunyi. Sesampainya di sana, mata Ara membola melihat Abrar yang memukul dinding dengan tangannya hingga berdarah.
Ara langsung berlari menghampiri Abrar dan memegang kuat tangannya agar tidak memukul kembali dinding tersebut.
"Kak, sudah jangan seperti ini..."
Air mata Ara turun tanpa disuruh. Sesekali Ara menahan isakan saat mengamati tangan Abrar yang berdarah. Ada perasaan menyesal saat Ara menceritakan hal tersebut, namun hal itu merupakan keputusan yang terbaik untuk hubungan mereka ke depan karena Ara tidak ingin ada rahasia di antara mereka..
Abrar berhenti saat mendengar isakan dari bibir Ara. Tubuhnya langsung merengkuh erat tubuh kekasihnya agar berhenti menangis.
"Sayang, sudah jangan menangis. Maafin kakak yang sudah buat Ara takut. Kakak janji tidak akan mengulanginya lagi.."Pujuk Abrar.
Ara memeluk erat tubuh Abrar. Enggan untuk melepaskan. Sedangkan Abrar terus memeluk erat tubuh Ara yang sesekali tergugu akibat menahan tangisnya.
"Kakak jangan seperti itu, Ara takut. Kalau tau jadinya seperti ini Ara tidak akan pernah mau cerita. Biar saja Ara pendam sendiri bb tanpa melibatkan orang lain.."
Abrar melepas pelukannya dan menatap Ara yang juga menatapnya. "Ara, kakak sangat bersyukur karena Ara mengatakan hal itu, namun kakak marah dengan diri kakak sendiri dan menyesal-" Abrar menghentikan omongan nya.
"Menyesal..?" Kata Ara. "Apa kakak menyesal karena mengenal Ara dan menganggap diri Ara kotor karena pernah di sentuh Bara..? Lanjut Ara sambil menyeka air matanya yang kembali keluar. Sesak, itu yang dirasakan Ara saat ini.
"No..no..no.., bukan itu. Jangan salah paham Ara. " Abrar langsung menjelaskan. panik dan kalut saat melihat air mata Ara yang kembali keluar akibat perkataannya barusan.
"Maksud kakak, kakak menyesal kenapa tidak bertemu duluan dengan Ara sebelum Ara kenal dengan Bara, dan kakak menyesal sudah membuat takut Ara dengan sikap kakak yang seperti ini..".
Abrar memegang pundak Ara erat. "Dengar kan kakak bicara sekarang.."
Ara mengangguk, diam.
"Besok kita akan ke Belanda. Disana kita akan melangsungkan pernikahan secara tertutup hanya keluarga kita saja yang tahu. Untuk urusan keluarga, kakak yang akan mengurus semuanya , Ara tidak usah Khawatir.."
"Kuliah Ara bagaimana kak...?" Tanya Ara sambil menghela Abrar untuk kembali duduk di ruang tamu.
Setelah mereka duduk, Abrar menggenggam erat tangan Ara. "Seumur hidup kakak, kakak tidak pernah merasakan hal ini, hanya dengan Ara. Apa Ara mau tahu sesuatu..? tanya Abrar. Tapi janji jangan tertawa
Ara hanya mengangguk, tidak menjawab.
"Sebenarnya, Ara adalah cinta pertama kakak..."
"