Xiao Ara mengintip di balik jendela, setelah melihat wanita tua dan orang-orang itu berjalan menjauh, helaan napas lega terdengar lolos dari bibirnya. Tubuhnya merosot ke lantai yang ternyata hanya berupa tanah.
"Selain acuh, wanita itu tidak memiliki kekhawatiran sedikitpun," gumam Ara pelan.
Jika itu orang lain, mungkin dia sudah memberinya banyak pertanyaan, dan mengusirnya sebelum meninggalkan gubuknya.
Bagaimana bisa dia meninggalkan gubuknya dengan perasaan tenang dengan orang asing di dalamnya? Hah… nenek ini benar-benar sesuatu.
Duduk bersandar di dinding sembari menyeka keringat yang membasahi keningnya dan tanpa sadar, gadis itu tertidur di posisinya. Mungkin karena ia sudah berjalan selama setengah hari.
Langit di sebelah barat mulai menunjukkan rona jingga, semilir angin bertiup pelan, menyeruak masuk ke dalam gubuk melalui pintu dan cela-cela dinding. Dan berhasil memberikan sensasi dingin di leher Ara.
Tidur beberapa jam, gadis itu terperanjak dan membuka matanya segera. Melihat kondisi sekelilingnya, ia segera bangkit dengan wajah panic, namun hal itu hanya berlangsung beberapa menit ketika ingatan terakhir sebelum ia tertidur terpatri di kepalanya.
Xiao Ara meregangkan otot-otot tubuhnya, melangkah keluar dari gubuk, suasana di luar sudah tidak seterang sebelumnya.
Pemandangan langit sudah menunjukkan bahwa saat ini sudah mencapai penghujung hari.
Ara berdehem pelan, tenggorokannya kering. Ia harus bergegas mencari air untuk memuaskan dahaganya sebelum hari benar-benar gelap. Memikirkan bahwa ia harus berjalan ke sungai lagi, ia menghela napas kasar.
Melihat ladang kecil yang di penuhi tanaman yang begitu subur, Ara memutuskan untuk berjalan di sekitar gubuk. Mencari sisa-sisa air yang mungkin digunakan oleh nenek itu untuk menyiram tanamannya.
Senyumnya mengembang, matanya berbinar bersamaan dengan sebuah sumur kecil memasuki pandangannya. Sumur itu berada di tengah-tengah ladang. Segera saja Ara menghampirinya dengan perasaan senang.
"Nenek, maafkan aku. Aku mengambil sedikit air di sumurmu," ucap Xiao Ara sembari mengangkat satu ember penuh air dari dalam sumur. Airnya bergitu jernih dan dingin, tak ada kotoran apapun yang terlihat.
'Lagipula ini hanya air,' pikirnya lalu mengambil satu tegukan besar. Sensasi dingin dan menyegarkan segera mengalir hingga ke seluruh tubuhnya.
Setelah dahaganya terpuaskan, Xiao Ara mencuci beberapa bagian tubuhnya yang terasa lengket.
"Shhh…" Xiao Ara meringis kesakitan. Ia baru menyadari bahwa ternyata punggungnya juga mengalami luka cambuk. Bahkan beberapa bagian pakaian yang dikenakannya nampak koyak di bagian punggungnya, memperlihatkan kulitnya.
Gadis itu berhenti sejenak, bagaimana bisa ia berjalan sejauh ini dengan luka dan pakaian seperti itu? Mungkin karena semua hal yang terjadi di sekitarnya membuat perhatiannya teralihkan dan tidak memperdulikan keadaan dirinya sendiri.
Hingga hari mulai gelap, Xiao Ara meninggalkan sumur itu. Perutnya tiba-tiba berbunyi, ia merasa lapar.
Memegang perutnya, Xiao Ara melemparkan pandangannya ke arah tanaman ubi yang berada tidak jauh darinya, dan detik berikutnya ia menggeleng keras.
"Aku rasa aku baru saja memikirkan untuk menjadi pencuri lagi," lirih Ara, lalu meninggalkan ladang itu. Ia berusaha menahan lapar dan melawan keinginannya untuk mengambil tanaman milik nenek itu lagi.
Melihat ke langit, "Mungkin masih ada waktu," gumamnya lalu masuk ke gubuk, berniat mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk berburu kelinci atau hewan sejenisnya yang bisa mengisi perutnya.
Namun sayang sekali, ia tidak menemukan apapun di sana. Tak ada pisau atau benda tajam lainnya di dalam gubuk. Ia juga sudah sangat lelah, melihat tumpukan kayu bakar yang masih berserakan di depan gubuk, Xiao Ara mendekat.
"Nenek, aku membantumu menyusun kayu bakar ini, tapi sebagai imbalannya berikan ubi di ladangmu," gumam Ara sembari menyusun kayu bakar itu.
Ia terlihat sedikit bersemangat ketika memikirkan bahwa ia memiliki sesuatu untuk ditukar dengan ubi tersebut. Seolah-olah semua hal yang dikatakannya sudah disetujui oleh nenek itu.
"Lagipula, siapa suruh kau tidak mengusirku dari sini?" gumamnya terus menerus.
Cahaya matahari sudah meredup. Ara beranjak memasuki ladang dan kemudian memilah tanaman yang akan diambilnya secara acak, kemudian merapikannya lagi seolah-olah tidak pernah terjadi apapun sebelumnya.
Mengambil beberapa potong kayu bakar yang telah di susunnya, Ara membuat api unggun di depan gubuk. Ya untuk hal ini, besok ia akan bangun pagi dan mencari kayu bakar untuk mengganti kayu bakar yang telah ia gunakan.
Malam ini, Ara memutuskan untuk tinggal di gubuk tua itu. Setidaknya di tempat itu akan lebih aman daripada di tempat lainnya.
Duduk di depan api unggung yang menyala terang, Ara membakar ubi yang telah di ambilnya. Bayangan api berkobar di pupil matanya. Hanya dalam sekejap, aroma ubi bakar menggelitik indra penciumannya.
Di tempat lain.
Ketika Yue Ahn dan Feng Ming tidak menemukan keberadaan Xiao Ara, mereka memutuskan untuk kembali ke camp di tepi sungai. Para prajurit yang ikut bersama mereka juga melakukan hal yang sama.
Suasana di camp terlihat sedikit sepi.
Beberapa prajurit terlihat mengumpulkan mayat-mayat dan menumpuknya menjadi satu lalu membakarnya.
"Tuan muda…" prajurit yang Yue Ahn dan Feng Ming segera mendekat dan membungkuk memberi hormat.
"Dimana yang lain?" tanya Yue Ahn sembari mengedarkan pandangannya ke area camp di sekitarnya.
"Kemarin, Yang Mulia Putra Mahkota dan Tuan Muda lainnya menuju ke sebuah perkampungan yang berada di sebelah selatan, dekat dengan perbatasan Tuan," jawab salah seorang prajurit. Feng Ming dan Yue Ahn saling melirik.
"Tuan Muda Xue Yen baru berangkat ke sana beberapa saat yang lalu, Tuan. Mungkin ia belum terlalu jauh dari sini," ucap prajurit itu lagi.
"Xue Yen?" "Benar, Tuan Muda. Ia membawa seorang perusuh bersamanya." "Huh?"
"Salah satu dari perusuh yang menyerang camp pada malam kemarin ditemukan masih hidup, Tuan. Dan Tuan Muda Xue Yen membawanya bersamanya, menyusul Yang Mulia dan yang lainnya," ucap prajurit itu lagi menjelaskan.
Yue Ahn dan Feng Ming saling melirik lagi, keduanya mengangguk bersamaan.
***
Rumah Kepala Desa.
Malam semakin gelap, udara yang berhembus terasa semakin dingin seiring dengan berjalannya waktu. Sebagai perkampungan yang berada di tengah-tengah hutan, suhu udara di malam hari terasa lebih dingin dibandingkan dengan tempat lainnya.
Nenek Chiyo sudah memberikan perawatan kepada para tamu kepala desa. Wanita tua itu tidak berbicara banyak hingga ia pamit untuk pulang ke rumahnya dan akan kembali lagi besok untuk memeriksa kondisi dua pria tersebut.
Meskipun Nenek Chiyo penasaran dengan para pria tersebut, wanita tua itu tidak bertanya apapun mengenai mereka.
Melihat prajurit yang berjaga di sekitar rumah kepala desa dan cara kepala desa memperlakukan mereka, itu sudah memberikan gambaran yang cukup jelas kepadanya bahwa para pria itu bukanlah rakyat biasa seperti yang tergambar pada pakaian yang mereka kenakan.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, suasana di sekitar sudah sangat sepi. Beberapa obor dan lampion yang menerangi rumah terlihat sudah padam, menandakan bahwa pemiliknya sudah terlelap.
Berjalan sendirian di tengah malam, langkah Nenek Chiyo tidak melambat sedikitpun. Sebagai satusatunya tabib yang ada di desa tersebut. Hal seperti ini sudah biasa baginya.