Ciuman itu tiba-tiba saja terjadi seperti badai yang datang tanpa perkiraan, dan otaknya kosong, seolah-olah semuanya memang terjadi sebagaimana mestinya.
Dia tak lagi bisa berpikir, otaknya serasa tumpul dan secara naluriah lengannya memeluknya, lebih erat dan lebih erat lagi.
Seolah-olah dia tengah memeluk seluruh dunia ...
Matahari sore hari itu sedikit menyilaukan. Cahaya matahari sore yang dipantulkan melalui celah antara dedaunan pohon pada mereka berdua justru tampak seperti lingkaran cahaya yang menyilaukan.
Tubuh mereka saling menempel erat, dan dia bahkan bisa melihat bulu halus di wajahnya dan mencium aroma samar dari tubuhnya.
"Bunga, aku sudah menyukaimu selama lima tahun terakhir. Selama lima tahun ini aku selalu berada dibelakangmu, mengawasimu dalam diam, ikut bahagia atas kebahagiaanmu, dan ikut merasa sakit hati karena kesedihanmu yang tidak bisa kuringankan. Bunga, maukah kamu mengijinkanku untuk melindungimu mulai saat ini..."
Waktu berhenti, seolah lupa berputar. Kedua mata mereka saling memandang. Ketertarikan mereka terhadap satu sama lain terlihat jelas.
Pria itu memiliki alis yang tebal dan pandangan mata penuh harap, seperti seorang anak kecil yang mengharapkan permen. Dia masih sama seperti bocah yang dulu dikenalnya.
Sudut bibir Bunga terangkat sedikit, memperlihatkan lengkungan yang indah, dan dia berhenti selama tiga detik sebelum kemudian memeluk Arnold dengan erat.
...
Arnold balas memeluk Bunga dengan lembut karena dia mengira wanita itu pasti ketakutan akibat insiden yang baru saja terjadi.
Arnold membantu Bunga untuk duduk di kursi penumpang mobil, dan dengan lembut mengencangkan sabuk pengamannya. Dia melakukannya dengan lembut, seolah-olah dia takut beban yang lebih berat akan membuat wanita itu kembali ketakutan di hadapannya.
"Kamu mau makan apa?" Suara magnetis Arnold sepertinya penuh dengan sihir, karena bisa langsung membuat Bunga merasa nyaman setelah dia mendengarnya.
"Aku agak lelah dan sama sekali tidak punya nafsu makan. Bisakah kau mengantarku pulang saja?" suara Bunga terdengar lemah dan dia terpaksa memintanya melakukan itu.
"Tidak, kamu masih shock barusan. Kalau kamu tidak makan sesuatu, tubuhmu tidak akan bisa menahannya. Kalau begitu, aku tidak akan mengajakmu makan makanan yang berminyak dan gurih. Kita akan pergi ke rumahku dan aku akan membuatkan bubur untukmu. Aku akan mengantarmu pulang nanti."
Bunga tahu bahwa dia tidak akan bisa menghentikan Arnold, dan dia juga tahu bahwa Arnold mengkhawatirkannya dan karenanya dia tidak ingin mengecewakannya.
"Selamat datang, Pak Direktur. Apa yang Anda inginkan untuk makan malam? Saya akan meminta koki menyiapkannya untuk Anda." Seorang pria yang berusia sekitar empat puluh tahun datang menghampirinya sambil tersenyum, ketika mereka tiba di rumah Arnold.
"Itu tidak perlu, aku akan memasak sendiri hari ini." jawab Arnold singkat.
Dia membawa tamunya ke dalam rumah. Demi Bunga, dia akan melakukan sendiri apa saja yang harus dilakukan. Sebelum memasak, dia harus memastikan Bunga bisa merasa nyaman di rumahnya. Arnold mengatur agar Bunga bisa beristirahat di kamar tidur, dan suara musik yang menenangkan terdengar dari rekaman vynil.
Dia memberi Bunga secangkir air putih hangat dan berkata, "Tunggulah sebentar disini, aku akan menyiapkan makanannya. Minumlah air ini dulu dan beristirahatlah sebentar."
Setelah itu, dia langsung melangkah ke dapur, memakai celemek, dan sibuk memasak.
Bunga berjalan-jalan mengelilingi kamar tidur itu, yang dirancang dengan gaya dekor yang simpel dan bersih. Pencahayaan lembut dan musik yang indah melengkapi semuanya. Ternyata dia masih tidak berubah sama sekali. Dia menyukai kebersihan, lembut dan penuh perhatian seperti bocah besar yang dikenalnya saat dia masih berada di sekolah menengah ...
Mata Bunga tertuju pada lonceng angin di dekat jendela. Lonceng angin itu adalah hadiah ulang tahun yang dibuat sendiri olehnya pada tahun kedua di sekolah menengah atas. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Arnold akan menyimpannya selama bertahun-tahun.
Dia teringat kembali dengan tahun keduanya di sekolah menengah
Angin laut bertiup lembut di wajahnya, dan matahari yang terbenam terpantul di cakrawala laut seperti api yang membara.
Di tepi pantai, Arnold dan Bunga duduk berdampingan, bayangan mereka membentang sangat panjang.
Rambut Arnold yang tebal, matanya yang hitam legam, dan hidungnya yang mancung terlihat lebih lembut di senja hari.
"Hari ini adalah ulang tahunku yang ke 18." Arnold menoleh dan berkata kepada Bunga, "Aku akan menjadi dewasa mulai hari ini."
Bunga mengeluarkan lonceng angin putih dari tasnya. "Ini adalah lonceng angin yang aku buat sendiri. Kuharap ini bisa membuat suara yang indah saat kamu bosan. Dan kuharap suasana hatimu akan selalu baik setiap hari ~"
Arnold mengambil lonceng angin itu, matanya tampak penuh kasih sayang dan cinta. Si gadis bodoh Bunga menyia-nyiakan waktu dan energinya untuk melakukan ini, dan dia tersenyum tanpa sadar ketika dia memikirkannya. Sudut bibirnya sudah sedikit terangkat.
"Apa kau ingat pertama kali kita bertemu?" tanya Bunga pada Arnold. "Aku ingat ketika aku masih di kelas satu. Saat itu, aku mendapatkan peringkat pertama pada ujian tengah semester, dan aku merasa kesal pada teman-teman sekelasku yang meminta kakak kelas untuk mendorongku. Tepat setelah hujan turun, kamu muncul di genangan lumpur dan membantuku mengusir anak-anak jahat itu. Sejak hari itu, kamu sudah sering membantu dan melindungiku, bahkan sampai sekarang aku berada di tahun kedua sekolah menengah. Waktu berlalu begitu cepat. "
"Pertama kali aku melihatmu, aku melihatmu di-bully. Wajahmu yang imut dan rok pinkmu berlumuran lumpur. Amarah membara yang tak bisa dijelaskan tersulut di hatiku. Aku selalu mengira bahwa aku menganggapmu sebagai adikku. Aku melakukan semua itu untuk melindungimu, tapi baru-baru ini aku menyadari perasaanku bahwa aku menyukaimu." Alis lebat dan mata cerah Arnold menatap Bunga dengan penuh kasih sayang.
"Aku…"
Bunga jelas-jelas ketakutan dengan pengakuan yang tiba-tiba itu dan tampak bingung.
"Bunga, boleh aku menciummu?"
Arnold melihat wajah Bunga tersipu, butiran keringat halus terlihat di ujung hidungnya, dan wajahnya yang polos tampak malu-malu.
Tubuh mereka mendekat dan lengan kuat si pria mendekap si wanita dengan nyaman.
Kedua pipi mereka berdekatan, begitu dekat sehingga mereka bisa melihat bulu lembut di wajah satu sama lain, mencium bau harum di tubuh mereka, napas mereka menjadi panas, dan bahasa mereka menjadi berlebihan. Bibir mereka perlahan-lahan disatukan, dan lidah yang dingin menyelinap ke pintu masuknya, dengan rakus meminta giliran dan menjelajahi setiap sudut dengan lembut.
Tubuhnya bergetar seiring perasaan cinta yang didengarnya. Tanpa sadar, bulu matanya sudah lembab, dan ada sebutir air mata di sudut matanya.
Ciuman pertama mereka.
Dia telah menantikan momen ini selama sepuluh tahun. . .
...