Dari segi penampilan, bentuk tubuh, dan bahkan auranya yang tenang dan acuh tak acuh, Satya bisa dibilang memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk menjadi pria idaman.
Satya kini menghadapi si pria pengganggu dan teman-temannya yang ada di sisi berlawanan, sama sekali tidak seperti seorang pengawal pribadi, lebih seperti seorang pejabat dengan pangkat tinggi. Dia kini sedang tersenyum tipis, diam-diam melemparkan ejekan pada sekelompok pria itu. Citra memandang Satya sekilas, tapi tiba-tiba merasa aneh saat ini, dan jantungnya sedikit berdebar.
Salah satu anggota dari kelompok itu yang merasa kesal ingin langsung mendatangi Satya, tetapi segera ditahan oleh orang di sebelahnya. Meskipun dia merendahkan suaranya, Citra masih bisa mendengarnya dengan jelas. Pria itu berkata, "Jangan gegabah. Kamu tahu orang ini sangat kuat. Kalau kita terburu-buru, kita semua bisa habis tak bersisa. Kita pikirkan strateginya dulu."
Pada akhirnya, si pria pengganggu yang berdiri paling depan di antara sekelompok pria itu meludah ke tanah, "Citra, lebih baik kamu bersiap karena cepat atau lambat ayahmu harus melepas jabatannya dan kamu mungkin akan jatuh ke tanganku."
Sudut bibir merah Citra tertarik ke atas. Dengan senyuman dingin, dia berkata, "Bahkan jika itu semua terjadi, kamu akan tetap menjadi pengganggu yang hanya bisa menindas wanita."
Si pria pengganggu yang mendengar perkataan Citra merasa sangat kesal. Dia menoleh ke arah teman-temannya di belakang, lalu ke Satya, dan mereka segera pergi.
Setelah mereka pergi, Citra menunduk dan melihat pergelangan tangannya yang dipegang erat oleh jari-jari Satya. Tepat saat dia akan berbicara, Satya sudah melepaskan dan menarik tangannya. Suara rendah dan samar terdengar dari mulut Satya, "Maaf, nona."
Citra mundur dua langkah dan menjauh darinya. Karena mantelnya telah dia berikan pada Suci, sekarang hanya tersisa kaos tipis yang melekat di tubuhnya. Dia bahkan jauh lebih kurus dibandingkan pria jangkung di sebelahnya itu. Dia mendongak dan menatapnya dengan curiga, "Mengapa kamu di sini? Apakah kamu mengikutiku?"
Satya menjelaskan bahwa Citra yang memintanya untuk datang dan menjemputnya nanti. Dia berpikir apakah dia datang terlalu cepat?
Melihat wajah tampan di depannya, Citra teringat dengan kejadian malam itu saat dirinya berada di bawah pengaruh obat. Dia langsung menjadi tidak nyaman, dan pikirannya melayang tak terkendali.
Satya sangat mengenal Citra. Pria ini selalu khawatir jika terjadi apa-apa dengan gadis ini. Jadi, setiap Satya diminta untuk menjemputnya, maka dia akan selalu datang jauh lebih awal.
Jika dipikir-pikir, Satya pertama kali datang ke rumah keluarga Citra, Keluarga Matasak, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Setelah itu, dia menjadi pengawal pribadi Citra selama sekitar dua atau tiga tahun. Dalam rentang waktu yang tidak sebentar itu, pria ini belum pernah sama sekali menyentuh Citra, padahal dia adalah orang yang selalu ada di sisinya.
Dengan kecantikan selevel Citra, tidak mengherankan jika Satya yang selalu mengikutinya sepanjang hari akhirnya juga menyimpan rasa suka pada gadis itu. Tapi apa yang bisa dia lakukan jika dia benar-benar menyukainya? Jadi selama ini Satya memilih untuk memendam perasaannya terhadap Citra dan berpura-pura tidak tahu agar rasa sukanya perlahan sirna.
Satya menundukkan kepalanya sedikit. Dia bahkan tidak menyadari drama seperti apa yang telah terjadi di dalam hatinya selama beberapa detik ini. Dia hanya menjawab dengan tenang dan dingin seperti biasa, "Saya datang ke sini untuk menangani sesuatu, tapi saya kebetulan melihat Anda sedang diganggu."
Citra menatap Satya dengan tatapan curiga. Pria itu masih bersikap acuh tak acuh, "Baiklah kalau begitu, saya akan menangani urusan saya dulu. Anda bisa pergi menemui teman Anda, dan saya akan menjemput Anda nanti." Citra hendak mengangguk dan tiba-tiba merasa sedikit kedinginan. Citra memeluk bahunya, "Satya, aku agak kedinginan."
Satya melirik ke arah Citra sejenak, dan berkata, "Aku akan meminta manajer bar ini untuk menyalakan pemanas ruangan."
Citra terdiam. Ini baru awal musim hujan, tentu saja tidak ada yang akan bersedia menyalakan pemanas. Terlebih, tempat dia berada saat ini adalah sebuah bar. Mana ada orang yang ingin merasa panas di bar? Dia berkata tidak senang, "Kalau kamu minta pemanas ruangan dinyalakan, yang lain akan kepanasan."
Satya mengerutkan kening. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Aku akan menelepon seseorang agar mengantarkan pakaian untuk Anda."
"Tapi aku kedinginan sekarang," jawab Citra tidak sabaran. Satya akhirnya menyadari bahwa mata wanita itu tertuju padanya. Dia memalingkan muka, melepas jaket hitam tipis di tubuhnya, dan memakaikannya pada tubuh kurus Citra.
Citra mengizinkan Satya untuk memakaikannya jaket miliknya. Ketika dia mengangkat wajahnya, dia tidak sengaja melihat dagu Satya yang tampak tajam dan maskulin. Mata pria itu juga terlihat dingin dan konsentrasi. Hanya saja, mungkin jarak mereka terlalu dekat, Citra kesulitan bernapas, dan dia dengan cepat menarik kembali pandangannya.
"Kamu memberikan jaketmu padaku. Apakah kamu tidak kedinginan?" tanua Citra memastikan. Suara pria itu rendah dan terdengar tidak peduli seperti sebelumnya, "Aku baik-baik saja, nona."
"Baiklah, jika kamu merasa dingin, masuklah ke dalam bar ini dan beli apa saja, aku yang akan membayarnya," ucap Citra dengan yakin. Satya tidak menjawabnya. Setelah memakaikan jaketnya pada Citra, dia menarik tangannya dan berkata dengan ringan, "Saya akan menyelesaikan urusan saya dulu." Usai mengatakan itu, dia berbalik dan pergi. Punggungnya terlihat lebar dan gagah dari kejauhan.
Citra melihat sosok Satya yang semakin menjauh dan merasa murung. Dia berpikir bahwa selama sekitar tiga tahun bersamanya, dia sama sekali tidak merasa dekat ataupun mengenal Satya. Dia menundukkan kepalanya dan mencium jaket di tubuhnya. Aroma tubuh Satya menguar. Harum.
____
Saat tangan Citra membuka pintu menuju ruangan yang sudah dipesan oleh teman-temannya, ternyata mereka sudah menunggunya di sana. Salah satu teman Citra tengah bermain dengan kacamata hitamnya. Dia bersandar pada kusen pintu, berusaha memancarkan pesonanya. Ketika dia melihat Citra datang, dia langsung berseru, "Ya ampun, Citra! Aku tahu kamu sedang jatuh cinta, tapi apa butuh waktu selama ini untuk datang ke sini?"
Belum selesai mengejek Citra yang datang terlambat, temannya itu segera membahas penampilan Citra, "Hei, penampilan baru apa ini? Apakah gaunmu itu kebesaran, huh? Atau apakah dunia mode sekarang sudah berubah? Kenapa kamu memakai jaket untuk menutupi gaunmu?"
Teman Citra yang lain menghampiri Citra untuk melihat lebih dekat, "Oh, tidak. Ini adalah pakaian pria, Citra, kenapa kamu begitu gila hingga kamu mengenakan pakaian Miko? Apa kamu ingin menunjukkan kalau kalian berdua sedang dimabuk asmara?"
Citra masuk dan menutup pintu di belakangnya tanpa menanggapi perkataan teman-temannya tadi. Dia melirik ke arah speaker dan menemukan tempat kosong. Dia duduk sendiri, mengulurkan tangannya untuk mengambil segelas anggur, dan meminum semuanya dalam satu tegukan. Kemudian, dia meletakkan gelas kosong itu kembali ke meja di dekatnya.
Pada akhirnya, dia berkata dengan ringan kepada teman-temannya yang tampak penasaran, "Aku baru saja melihat seorang bajingan menindas seorang wanita di lobi. Aku kasihan pada wanita itu dan membiarkannya memakai pakaianku. Jaket ini adalah milik pengawalku, Satya. Aku memakainya karena kedinginan."
Setelah Citra mengatakan itu, suara lembut perempuan yang pemalu tiba-tiba mendekat, "Citra…" Citra mendongak dan bertanya, "Hah? Ada apa?"
Ternyata perempuan itu adalah seorang gadis seusianya yang tidak mengenalnya. Itu dia! Citra mengamati gadis yang terlihat seperti seorang putri dari keluarga kaya yang berperilaku baik ini. Jika dia tidak salah ingat, gadis ini bernama Juwita.
Juwita menjawab pertanyaan Citra, "Katamu… Jaket itu milik Satya? Benarkah itu?" Citra menanggapinya dengan sedikit curiga, "Kalau ini milik Satya memang kenapa?"
Tak disangka, Juwita menjawab, "K-kamu sudah mengenalnya berapa lama? Aku… Aku ingin tanya apakah dia punya pacar sekarang?